V. Ilusi

2.7K 190 79
                                    

Malam ini tidak ada hal yang berbeda. Ada begitu banyak jiwa-jiwa yang tertidur, menciptakan suasana malam yang sama sunyinya. Tapi langit tidak sedang menghias malam dengan bulan atau bintang. Ia kelam tanpa cela. Memberi kekosongan berbeda dari kertas putih.

Awalnya, jiwa Luvena pun tertidur dengan tenang. Ia bernapas dengan teratur, irama jantungnya pun sama. Selang beberapa menit, raganya bergerak menyamping hingga bagian telapak kakinya tersingkap dari selimut. Gadis itu tetap tertidur lelap, tak sadar dengan perbuatannya sendiri.

Saat tiba saatnya ia bergerak kembali dalam tidur, kesadarannya mulai datang. Luvena dapat merasakan permukaan seprai sampai akhirnya ia membuka mata. Luvena menatap langit-langit kamar dengan linglung. Ia baru merasakan dingin di kedua telapak kaki saat ia menggerakkan kakinya sedikit.

Luvena mendesah pelan. Tangannya mulai meraba-raba permukaan meja di sampingnya, mencari sesuatu. Tak lama kemudian, ekspresi wajahnya berubah. Keningnya mengernyit bingung, membuatnya bangkit dan menoleh ke arah meja itu.

Tidak ada ponsel.

Saat itulah ia sadar bahwa kamar ini, bukanlah kamarnya. Ini hanyalah kamar sementaranya, salah satu kamar di kediaman Everard. Semuanya terasa asing. Bahkan sinar kuning yang berasal dari sebuah lentera sihir benar-benar membuat Luvena tidak nyaman.

Luvena memeluk perutnya dengan ringan. Perutnya tidak bersuara tapi ia tahu, bahwa ia perlu makan dan minum. Sebelumnya, Mona memang sudah memberinya makan malam dan beberapa pakaian. Tapi Luvena masih merasa perlu makan atau setidaknya segelas air saat ini.

Lantas ia pun turun dari kasur dan mengambil lentera. Sebelum keluar kamar, Luvena melihat jam yang menunjukkan pukul dua pagi.

Pukul dua pagi.

Dini hari seperti ini apakah akan ada orang yang bangun?

Luvena menjulurkan kepalanya di balik pintu. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Koridor ini begitu gelap. Hanya ada beberapa lentera sihir yang berpendar di beberapa titik. Sebenarnya, Luvena sedikit ragu untuk keluar. Ia belum mengenali area rumah ini. Tapi perutnya tidak bisa diajak berkompromi. Perutnya perlu setidaknya segelas air.

Maka dari itu ia pun membulatkan tekad dan keluar dari kamar. Luvena menjulurkan lenteranya ke kanan dan ke kiri. Ia berpikir sejenak untuk memilih jalan mana yang akan ditempuhnya. Ia dan Mona tadi datang dari arah kanan. Tapi Mona membawakan makanan dan pakaian dari arah kiri. Kalau begitu, dapat disimpulkan bahwa kirilah jalan yang tepat.

Luvena pun berjalan menyusuri koridor gelap itu. Beberapa ornamen terlihat menghiasi koridor. Seperti permadani, lukisan, atau bahkan meja-meja dengan vas berisi bunga. Setiap vas selalu memiliki bunga yang segar. Sepertinya Josephine atau Mona rajin mengganti setiap isi vas-vas itu. Wangi-wanginya begitu harum. Luvena merasa lebih baik setelah menghirupnya dalam-dalam.

Pada akhirnya, Luvena pun sampai di ujung koridor yang ternyata adalah sepasang tangga kembar melingkar. Tangga yang satunya menghubungkan lantai bawah dengan daerah lantai dua satunya lagi. Sepasang tangga itu memiliki warna gading, senada dengan warna lantai yang berwarna putih.

Luvena sedikit terkejut. Ia tidak menyangka jika rumah ini begitu luas. Sambil melangkah turun, Luvena memerhatikan lampu gantung yang memantulkan beberapa cahaya. Ia mengalihkan pandangan saat mendengar suara dari arah kanan.

Penasaran, Luvena pun mengacungkan lentera ke area kanan. Kosong. Tidak ada apa-apa di sana. Tapi ia sudah bertekad untuk menemukan dapur, tempat di mana makanan dan minuman berada. Jadi menurut Luvena tidak ada salahnya untuk mencari di area kanan bukan?

"Halo? Apa ada orang di sana?" ucap Luvena dengan sedikit takut. Ia mengarahkan lentera ke beberapa ruangan, tapi nihil. Ia tidak menemukan siapapun. Bahkan ruang dapur belum ia temukan sedari tadi.

Hanya tersisa satu ruangan di bagian ini. Luvena hanya bisa berharap bahwa itu dapur. Dan benar saja, ruangan itu adalah dapur!

Dengan perasaan lega bercampur senang, Luvena cepat-cepat memasukinya. Ia mengambil gelas dari rak atas lalu menuangkan air dari ketel yang berada di kompor. Luvena pun meneguknya dengan cepat. Setelah itu, ia menaruh gelas di meja dan tersenyum puas. Sepertinya sudah cukup, ia tidak mau mencoba mencari makanan lagi.

Namun saat Luvena hendak meninggalkan dapur, suara geraman membuatnya mematung. Ia menoleh ke belakang dengan rasa penasaran.

Suara geraman dari mana malam-malam begini?

Luvena mendekati jendela besar di dekat meja makan yang letaknya bersebelahan dengan dapur. Ia mengusap kaca, membersihkannya sedikit dari debu yang menghalangi pandangan. Saat ia berusaha melihat keluar, ekspresi wajahnya berubah drastis.

Luvena bahkan terdiam membeku untuk beberapa saat. Tubuhnya bergetar begitu sadar bahwa geraman itu berasal dari sepasang chimera yang mengejarnya tiga hari yang lalu. Tapi bukan itu yang paling membuatnya kaget. Yang paling mengagetkan adalah ...

Mona ada bersama mereka!

Rasa takut langsung menyergap Luvena. Ia bergetar ketakutan, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mona terlihat begitu asyik membelai kedua chimera itu, membuat Luvena bergidik ngeri. Luvena menjauhkan wajah saat Mona melihat ke arahnya.

Apa ia melihatku?

Dengan takut, Luvena memberanikan diri untuk kembali mendekatkan wajahnya ke kaca. Tapi apa yang dilihat membuatnya menahan napas secara tak sadar.

Mona berdiri di sana dengan tatapan tajamnya. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas, menciptakan senyuman miring yang ganjil.

Dia ... melihat Luvena....

∆∆∆
















APRIL MOP!

Serius amat bacanya~ hehehe / ditimpuk

Ndaaaa ini bukan lanjutan Beaster yang sesungguhnya huehehe. Ini dibuat untuk keperluan salah satu tanggal kesukaanku, 1 April.

Ada yang inget prank 1 Aprilku tahun lalu kah? :v

Yha untuk lanjutan benernya, secepatnya yaa~ hihi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Beast HunterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang