Aroma teh yang menusuk membuat raut wajahnya sedikit mengerut. Ia melihat ke sekitar dengan kesadaran yang baru terkumpul. Sebelum pikirannya penuh dengan tanda tanya, Luvena menghirup aroma teh dalam-dalam. Aroma itu membuat rasa pusing di kepalanya berkurang sedikit.
Luvena mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk. Ia mulai memerhatikan sekitarnya dengan fokus. Luvena memiringkan kepalanya saat melihat mantel merah mudanya tergantung dengan keadaan robek di bagian punggung. Sesaat ia terdiam dan membiarkan berbagai memori menghantam telak dirinya.
"Kau sedikit berdarah...."
Refleks tangannya meraba kepala setelah mengingat penggalan kalimat itu. Luvena dapat merasakan perban menempel di sana. Dan lagi-lagi ... peristiwa itu jelas bukan mimpi. Tepat di tengah rasa bingungnya, suara pintu mengayun terbuka terdengar.
"Ah, kau sudah bangun ternyata. Mau teh?"
Luvena hanya bisa diam tanpa menghiraukan tawaran dari seseorang yang baru saja masuk itu, seorang gadis seumurannya. Gadis itu masih diam di tempatnya dan mulai menyunggingkan senyum ramah. Walau Luvena suka dengan caranya tersenyum, tapi ada bagian dirinya yang kecewa bahwa bukan si hoodie itu yang datang. Luvena langsung menggeleng, bukankah seharusnya ia mengkhawatirkan Ibunya dan Anne?
"Em ... tidak, terima kasih. Siapa kau?" ucap Luvena akhirnya. Ia merespon dengan tenang. Dirinya sendiri terkejut dengan ketidakadaannya rasa canggung yang biasa datang.
Gadis di hadapannya itu menaruh baki berisi teko dan cangkir teh ke meja di sampingnya. Lalu ia pun berjalan mendekati Luvena, "Namaku Mona Westle. Aku yang merawatmu selama dua hari ini. Apa kepalamu masih sakit?"
Luvena menggeleng, "Tidak. Aku baik-baik saja."
Luvena yakin sekali bahwa Mona memiliki sifat periang. Sinar di wajahnya tak pernah redup meskipun ia sedang berbicara dengan orang yang belum dikenalnya. Mona tersenyum sekali lagi, "Oh syukurlah kalau begitu. Lalu hm ... bagaimana denganmu?"
"Ah ... namaku Luvena Daroll. Kau bisa memanggilku Luvena," jawabnya dengan sedikit kikuk. Luvena sebenarnya belum begitu memercayai Mona, tapi ia tetap saja memberitahukan namanya. "Jadi ... di mana ini?"
"Ini adalah salah satu kamar di rumah keluarga Everard. Ah benar juga, Josephine berpesan untuk mengantarmu ke ruangannya saat kau bangun. Aku harap kau tidak keberatan untuk menemuinya sekarang," jelas Mona.
Luvena menimbang-nimbang sejenak. Ia masih belum bisa memercayai siapa pun. Tapi jika si hoodie itu membawanya ke mari, Luvena harus bisa memercayai Mona untuk saat ini. Akhirnya gadis itu mengangguk pelan, "Baiklah. Tapi pertama, siapa itu Josephine?"
∆∆∆
"Seperti yang telah kukatakan, keluarga Everad adalah pemilik rumah ini. Josephine Everard adalah kepala keluarga untuk sementara ... hingga suaminya kembali. Ia pasti ingin membicarakan tentang peristiwa yang kau alami dua hari yang lalu."
Mereka sedang berjalan di koridor. Luvena mendengarkan seraya mengekor Mona di belakang. Di sepanjang koridor, ada begitu banyak lukisan serta permadani di dindingnya. Luvena menebak bahwa Everard adalah keluarga yang cukup kaya hingga dapat menghias setiap sudut koridor.
"Lalu bagaimana dengan si hoodie? Maksudku kau tahu ... orang yang telah menyelamatkanku. Apa dia tinggal di sini?" tanya Luvena dengan penasaran tanpa melihat ke arah Mona. Matanya sibuk memperhatikan sekitar koridor.
Mona melirik Luvena sejenak sebelum kembali melihat ke arah depan lagi, "Maksudmu Adrine?"
Fokus Luvena kembali beralih. Kini ia mulai tertarik untuk memerhatikan gadis itu. Mona sedikit lebih mungil darinya. Berbeda dengannya yang memiliki rambut sepunggung, Mona terlihat segar dengan rambut sebahunya. Parasnya begitu mulus, Luvena menganggap kecantikannya selevel dengan Neena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beast Hunter
FantasyCover by: @Ariski Luvena Daroll tidak pernah berpikir aneh mengenai mati listrik mendadak pada malam itu. Ia tetap pulang di tengah kegelapan malam tanpa tahu ada yang mengincarnya. Tapi, peristiwa itu malah mengantarnya masuk ke dalam lingkungan pa...