(PoV Luca -> Kakak)
Aku menatap mereka yang sedang berkumpul di ruang keluarga, menatap raut bahagia mereka semua. Tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Aku tidak menyukai kebahagiaan di raut wajah mereka yang disebabkan olehnya. Ya... dia adikku... tepatnya adik kembarku. Kami berdua lahir ditanggal dan hari yang sama. Adikku lahir beberapa menit setelah kelahiranku, itu yang orang tuaku katakan padaku. Kami lahir sebagai anak lelaki yang sehat. Memiliki wajah yang sama dan berbagai hal lainnya yang hampir sama. Kami juga memiliki nama yang hampir sama Luca dan Lucy. Kami selalu berbagi dan mempunyai berbagai hal yang sama. Tapi semua itu hanya sementara. Pada akhirnya semuanya berpaling pada adikku. Adikku lebih unggul dari pada diriku dan orangtuaku lebih menyayanginya.
Perbedaan semakin terlihat seiring berlalu waktu, umur kami mulai beranjak remaja. Sifat kami pun mulai terlihat berbeda. Aku lebih suka berdiam diri, menyendiri, dan selalu memperhatikan adikku dalam diam. Sedangkan adikku dia ceria, pandai bersosialisasi, ebih unggul dariku dalam berbagai hal, seakan semua keberuntungan yang ada didunia ini adalah miliknya. Ya... adikku memiliki segalanya dan aku tidak. Aku iri padanya dan sangat membencinya. Ya... itu sebabnya aku sangat membenci adikku...
Seperti malam ini Adikku... Lucy, mendapat perhatian dari kedua orangtuaku karena nilai ujian matematikanya yang hampir mencapai angka sempurna '99' nilainya. Sedangkan aku hanya mendapat nilai '88' , menurutku itu nilai yang cukup bagus tetapi itu tidak cukup untuk menarik perhatian kedua orangtuaku. Aku hanya bisa menatap mereka saja, mereka seakan menganggapku tak ada. Apa mereka sama sekali tidak menganggapku keluarga mereka? Setidaknya tataplah aku walau hanya sebentar saja, bukankah aku adalah bagian keluarga juga?! Setidaknya ajaklah aku bergabung, jangan abaikan aku seperti ini!!!
"Kak... kenapa diam saja... Ayo sini..." Ucap Lucy sambil tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali. Lalu menyeretku bergabung dengan mereka orangtuaku.
"Ayah... Ibu ucapkan selamat juga pada Kakak. Nilai Kakak juga bagus, iya kan Kak?" Ucap Lucy sekali lagi sambil menyuruhkku menyerahkan hasil ujianku pada Ayah dan Ibu. Membiarkan mereka melihat hasil ujianku.
"Seharusnya kamu bisa lebih baik dari Adikmu, Kak..." Ucap Ayah membuatku menundukkan kepalaku.
"Belajarlah dari adikmu... dia selalu lebih baik dari kamu... mungkin jika belajar darinya kamu bisa jadi lebih baik lagi." Ucap Ibu membuatku semakin terpuruk. Akupun mengambil kertas ujian yang berada di tangan Ibu dan langsung beranjak pergi meninggalkan mereka.
"Kak... mau kemana?" ucap Lucy memperlihatkan wajah khawatirnya padaku. Cih! Aku tidak perlu rasa simpatimu itu!
"Kekamar... belajar..." Ucapku singkat dan segera meninggalkan mereka yang berada diruang keluarga. Akupun berjalan menuju kamarku yang tidak jauh dari ruang keluarga. Kamarku juga bersebelahan dengan kamar adikku. Aahhh... bahkan kamarku juga harus bersebelahan dengannya...
Ya... Bagi orangtuaku aku belum cukup baik atau mungkin hanya Lucy saja yang terbaik dimata orangtuaku. Lalu bagi mereka aku ini apa? Aku ini hanya seorang Kakak yang direndahkan didepan Adiknya oleh orangtuanya sendiri. Kenapa adikku selalu mendapat perhatian kedua orangtuaku sedangkan aku tidak? Aku ini juga anak mereka tapi kenapa?
Aaahhh... rasanya sangat melelahkan mendengar kedua orangtuaku terus-menerus membandingkanku dengan adikku sendiri. Lebih tepatnya Adik kembarku sendiri. Kenapa orangtua ku selalu membandingkanku dengan adikku sendiri? Aku... aku ini seorang Kakak! Walaupun kami lahir hanya berbeda beberapa menit saja. Tapi aku adalah Kakaknya... Kakaknya... Kakak yang terlihat lebih rendah dari Adiknya. Entah orangtuaku mengerti atau tidak tapi aku merasa direndahkan karena perlakuan mereka padaku. Seorang Kakak yang lebih rendah dari Adiknya.... Hahaha!! Aku... aku malu... malu pada diriku sendiri yang tidak bisa menjadi panutan untuk Adikku, juga merasa iri dan benci pada adikku... Kakak macam apa aku ini??? Tapi... meski aku tau betapa memalukan apa yang aku rasakan ini... aku tidak bisa berhenti untuk iri dan benci padanya. Bagaimana aku bisa berhenti iri dan benci padanya jika Adikku memiliki semuanya?
Kurasa sesuatu yang hangat mulai mengalir di pipiku. Aku menangis?? Untuk apa aku menangis? Apa gunanya aku menangis jika semua perhatian hanya ada untuk dia saja? Aaaahhh... rasanya sangat melelahkan... rasanya... aku... aaahhh... kenapa air ini terus menetes? Kenapa tidak bisa kuberhentikan? Kenapa?
"Kakak..." Panggil adikku membuatku terdiam sejenak membiarkannya hanya menatap punggungku. Aku tidak akan membiarkannya melihatku menangis.
"Kakak... jangan sedih... aku akan selalu ada untuk Kakak." Ucapnya lagi tanpa menunggu jawabanku dia... Lucy memelukku erat dari belakang, aku tidak menyukainya... pelukan ini membuatku tidak nyaman. Tapi... aku tidak bisa menggerakkan tubuhku.... Kenapa?
"Lu... lepas..." ucapku tapi meskipun begitu tubuhku sama sekali tidak bergerak dari pelukannya seakan tubuhku memiliki pikiran sendiri.
"Sebentar lagi kak..." Ucap Lucy.
"Kak... mereka mungkin tidak mengerti... tapi aku mengerti apa yang kamu rasakan Kak. Jadi biarkan aku menenangkan Kakak." Ucapnya sambil menyusupkan kepalanya di belakang leherku dan semakin memelukku erat. Seolah mengatakan bahwa dia sangat mengerti aku. Tapi apa dia tahu apa yang kurasakan? Rasa iriku? Rasa benciku? Apa dia mengerti aku iri dan benci padanya?
"Kamu mengerti apa? Kamu bahkan tidak merasakan apa yang kurasakan... bagaimana kamu mengerti apa yang aku rasakan?" Ucapku melepaskan pelukannya sambil membalikan badan dan menatap wajahnya.
"Kakak?" Ucapnya terlihat sedikit kaget ketika kutatap matanya. Perlahan Lucy... mengulurkan tangannya dan mengusap pipiku dengan lembut. Aku bingung dengan sikapnya. Sebenarnya ada apa dengannya?
"Dengar kak... aku memang mengerti apa yang Kakak rasakan karena kita saling terhubung... sejak dulu sampai sekarang Kak... jadi bisa dibilang aku bisa merasakan apapun yang Kakak rasakan. Ketika Kakak sakit aku juga merasa sakit, ketika kakak terluka aku pun ikut terluka. Kakak bahagia aku pun bahagia." Ucap Lucy sambil terus menatapku.
"... Baiklah... mungkin benar kamu juga bisa merasakan apa yang kurasakan... aku akan kekamarku dan jangan ikuti aku. Aku ingin sediri. " Ucapku lalu berbalik arah dan menuju kekamarku meninggalkan adikku sendiri ditempatnya berdiri tadi.
Sesampainya di kamar aku pun langsung membaringkan tubuhku yang terasa lelah tanpa sebab. Mungkin lelah pikiran itu bisa berpengaruh pada fisik juga... Apa saat aku merasa lelah seperti ini dia juga merasakannya? Apa benar jika aku sakit dia juga merasakan sakit? Apa jika aku terluka dia juga akan terluka? Apa benar yang dia katakan itu?
Kupejamkan mataku tetapi entah kenapa aku mulai mengingat kembali kata-katanya tadi. Membuat mataku yang akan terpejam selalu terbuka. Sampai aku menyadari kata-kata yang dia katakan bisa membuatku melampiaskan rasa benciku padanya. Ya... Dia akan merasakan apa yang aku rasakan... bukankah itu yang dia katakan tadi? Mungkin itu bisa membuatku merasa lega dan rasa benciku tersalur padanya... ya... itu adalah jalannya... mungkin dengan begitu dia akan mengerti juga rasa sakitku. Kulihat meja belajar yang berada disampingku. Aku pun beranjak dari tempat tidurku menuju meja belajar. Sesampainya disana aku melihat benda itu... benda yang bisa menyalurkan semua rasa benciku padanya. Kuraih benda itu perlahan tapi pasti kuarahkan pada tanganku dan setelah itu... kehangatan mulai mengalir ditanganku...ya... dengan cara seperti ini... aku bisa membencinya tanpa harus melukainya secara langsung...
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins Telephaty [END]
Short StoryAuthor : Cream Code Name : 15 Event : WAY - Twist -