ARIANA

121 37 40
                                    

Tak tahan lagi aku mendengarnya

"Udah! Cukup lo ngatain gue. Cukup! Mulai sekarang lo jauh-jauh dari gue! Ternyata lo ga ada bedanya!"

Seruanku membuatnya terdiam. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan, entah marah, bingung, bahkan putus asa. Setelah puas menatapku seakan ingin berbicara lewat matanya, dia pun mengambil ranselnya di ranjangu lalu pergi tanpa sepatah kata.

"Troy!" teriakku sambil berlari mengejarnya.

"Troy! Kok lo pergi gitu aja? Gue belum selesai ngomong,"

TIba-tiba dia yang sudah duduk menyalakan motornya menatapku.

"Lo yang suruh gue pergi. Ya udah, gue pergi."

Setelah mengatakan itu, Troy menghilang dari hadapanku. Ya ampun, aku tak percaya. Ada apa dengannya? Merajuk? Udah gede juga. Sumpah, Troy nyebelin banget!

"Ariana, mama mau ngomong sama kamu." Tiba-tiba suara mama mengagetkanku

"Mama mau ngomong apa lagi? Aku capek mau tidur."

Aku berjalan cepat masuk ke dalam rumah dan ingin segera menghempaskan tubuhku ke kasur. Tetapi mama menahan lenganku.

"Ri, mama sungguh-sungguh minta tolong sama kamu. Tolong, Ri," mata mama berkaca-kaca sambil tetap memegang lenganku.

"Dia bukan siapa-siapa, ma. Kenapa aku harus tolong dia? Kenapa aku harus berkorban demi dia, ma?"

"Ri, dia saudara kamu,"

"Saudara? Aku sama dia mungkin sedarah tapi aku gak pernah anggap dia saudara!" bentakku sehingga membuat mama melepaskan lenganku.

"Lagian, dia bikin keluarga kita hancur. Kenapa mama peduli banget sama dia? Kenapa mama suruh aku korbanin apa yang aku mau?" tanyaku dengan suara yang lebih tenang.

"Ri, kenapa kamu ngomong begitu? Dia udah tinggal sama kita 3 tahun. Kamu harusnya udah bisa menerima semua ini. Mama kira kamu sudah dewasa."

"Jadi mama bilang aku kayak anak kecil? Ma, itu tabungan aku! Aku gak pernah minta macam-macam sama mama, aku ga pernah bikin ulah, aku selalu dengerin perintah mama. Mama bilang aku gak dewasa?!"

"Ri, mama minta maaf kalo mama belum bisa bikin RIri senang. Mama ga bisa beliin yang RIri mau. Mama minta maaf, Ri."

"Mama, aku ga marah sama mama. Aku ngerti keadaan kita, ma. Aku ga butuh dibeliin macam-macam,"

Kemudian mama perlahan melepaskan pelukannya, lalu menatapku dengan matanya yang merah menahan tangis.

"Ri, bantuin kak Diego ya." Aku hanya menunduk. Masih saja mama memohon hal yang sama.

"Papa udah di surga. Mama sayang sama papa. Papa sayang sama kita, termasuk kak Diego. Mama sayang kamu. Mama sayang sama kak Diego juga, karena dia anak papa kamu. Mama ga mungkin membenci orang yang papa kamu sayang. Bagaimanapun, dia sudah menjadi bagian keluarga kita, Ri," mama kembali memelukku dan mengelus-ngelus punggungku.

"Dan keluarga gak mungkin gak saling peduli, gak mungkin meninggalkan,"

Aku pun mulai menangis dengan keras. Ya, aku harus berkorban. Aku harus rela. Aku tak akan bertemu seseorang yang sudah kunanti-nanti untuk melihat wajahnya hanya dengan jarak centimeter. Aku menyerah. Mungkin aku memang hanya bisa bermimpi.

19 Desember 2016

EscapeWhere stories live. Discover now