MAXIME

75 30 37
                                    


Aku Maxime. Singkatnya, Max. Ini pertama kalinya aku datang ke Jakarta sejak pindah ke Los Angeles 6 tahun lalu. Dan ini juga pertama kalinya aku mendengar teriakkan histeris dengan bahasa Indonesia.

"Max!! Ganteng banget!!!"

"Woy minggir! Max punya gue! Max liat sini dong!! Max!!!"

"Max!!! Aaaaaahhh!! Max!!!!"

"Max!! Gue rela lo apain aja!!!!! Max!!"

"Maaf, ya permisi. Permisi, tolong beri jalan. Yang mau foto nanti ya ada waktunya. Permisi, semua,"

Aku tertawa kecil.

"It's useless, bro," bisikku di telinganya

"Permisi, semua, tolong ya. Permisi,"

Tetap saja dia dengan sopan ingin menyingkirkan orang-orang gila itu dari hadapanku. Ya, orang gila. Semua orang yang berteriak-teriak namaku, membawa poster-posterku, bahkan kertas dengan tulisan kata-kata norak untukku, mereka semua orang gila. Orang lain menyebut mereka fans. Aku menyebut mereka orang gila.

"Crazy people," gumamku pelan, namun ternyata bisa didengarnya.

"Sst, don't be so rude," bisiknya padaku sambil setengah mendorong orang yang berusaha menggapaiku di sisi kiri. Ya, dia di sisi kiriku, dan laki-laki bertubuh kekar dengan jas di sisi kananku, serta seorang wanita yang juga bertubuh tegap berjalan di depanku. 

Depan, samping, dan belakang yang lupa kusebutkan, seorang pria kekar bertopi dengan masker menutupi mulut dan hidungnya sehingga wajahnya tak bisa terlihat jelas. Sekali lagi, depan, samping, belakang. Namun tetap saja tak bisa menghentikan orang-orang gila ini untuk menggangguku. Ada yang sempat mencubit lenganku, bahkan betisku yang terbuka karena aku menggunakan celana jeans longgar selutut.

"Go away!" aku setengah berteriak.

"Hey, tutup mulut," tegur orang di belakangku.

Aku pun menutup mulut. Percuma, teriakan mereka meredam suaraku, dan mereka tetap akan menjadi orang-orang gila yang katanya mencintaiku.

Setelah penderitaan melewati para orang gila tersebut, kami berhasil naik mobil, dan sampai ke hotel.

"Finally, free!" ucapku asal sambil bersandar di sofa yang empuk, membuatku ingin memjamkan mata.

"Lo harus jaga omongan lo kalo lagi sama fans," suara bass seseorang yang mengenalku lebih dari siapapun membuatku membuka mata.

"Ya, ya. Maybe it's the hundred times you said that."

"Ya, ya. Dan gue serius. Mereka itu fans lo, lo ga akan bisa tanpa mereka,"

"What do you mean? Bisa lah. Gue kan terkenal karena bakat, karena usaha. Mereka Cuma orang gila yang kurang kerjaan,"

"Tanpa mereka buat apa lo berbakat, buat apa lo usaha. Mereka orang-orang yang menghargai karya lo,"

Kulihat dia mulai menyulut api di rokok yang sedari tadi dia mainkan di tangannya. Artinya saatnya aku pergi.

"Ya, ya. Terserah," kataku sambil bangkit berdiri dan mengambil jaket. Aku memandang ke atas meja yang berantakan untuk mencari sesuatu.

"Oh, sip! Pergi bentar, ya!"

"Jangan jauh-jauh! Ntar nyasar rasain lo,"

"Hahaha. Ga lah. Gue masih hafal, kok. Relax aja bro. Bye!"

Dengan bersemangat aku turun ke lantai tempat parkir menggunakan lift. Beberapa orang ada bersamaku dalam lift. Tentu saja aku mengguanakan topi dan masker agar tidak ada orang gila yang akan menggangguku. Ketika sampai di tempat parkIr aku tak butuh waktu lama untuk menemukan motor yang disiapkan untukku. 


"Great, let's go baby!"


EscapeWhere stories live. Discover now