The Confession

811 56 19
                                    

Pagi itu, dengan gontai, Chanyeol memasuki kelas. Tak ada senyuman menghiasi wajahnya. Raut muka cerianya menghilang, tergantikan raut muka penuh kesedihan. Sang Dewa tampak lesu dan tanpa semangat. Sesampainya di bangku, ia duduk dan menatap ke arah kursi di sebelahnya. Tak ada tanda-tanda Kris datang.

Chanyeol memegang couple bracelet di tangan kanannya. Matanya masih saja belum beralih dari bangku kosong Kris. Pemuda itu sekarang pasti sangat membenci dirinya. Perasaan menyakitkan itu kembali muncul dan membuat dada sang Dewa sesak. Hatinya terasa sakit bak teriris. Sungguh, mengapa perasaan itu tak mau hilang? Perasaan apa itu sebenarnya?

Beberapa menit memandangi bangku kosong Kris, Chanyeol menghela napas panjang. Matanya kini beralih ke arah pintu—berharap sosok pemuda bersurai pirang akan muncul dan menghujaninya dengan kata-kata kasar atau umpatan seperti biasa. Itu jauh lebih baik daripada seperti ini.

Sang Dewa menutup mata dengan tangannya. Secara tiba-tiba, cuaca di luar berubah. Tanpa aba-aba, hujan turun derasnya. Langit seolah ikut menangis karena melihat Chanyeol sesedih itu.

Pemuda bersurai hitam itu membuka mata, tapi hujan masih tak mau berhenti. Luka di hati sang Dewa masih terlalu dalam dan menyakitkan. Ingin rasanya ia terus menangis, sekalipun ia telah melakukannya di atas tebing sepanjang malam—ditemani hujan deras.

Bel masuk berbunyi. Mr. Kim memasuki kelas. Dibukanya daftar presensi dan guru matematika itu mulai memanggil nama siswanya satu per satu.

Chanyeol masih terpaku dengan tempat duduk kosong Kris. Rupanya, si jenius kelas itu memang tak berangkat. Terlalu sibuk memikirkan Kris, Chanyeol tak mendengar Mr. Kim yang berulangkali memanggil namanya.

"Park Chanyeol—"

"Park Chanyeol—"

"PARK CHANYEOL!"

Seruan terakhir sukses menyadarkan sang Dewa. Dengan raut muka sedih, Chanyeol mengangkat tangan kanannya. "Saya hadir, Mr. Kim. Maaf, saya tidak mendengar Anda," jawab Chanyeol lirih.

Sang guru hanya mendengus kesal. Ingin rasanya ia memarahi bocah itu. Namun, melihat raut muka murung Chanyeol—tak seperti biasanya—, mendadak ia jadi tak tega. Jadi, ia memilih melanjutkan memanggil nama lainnya.

Sampai akhirnya, sampailah pada nama Kris.

"Kris Wu—"

Tak ada jawaban.

"Kris Wu—"

Lagi-lagi, nihil.

"KRIS WU!" Mr. Kim berteriak sembari memandang bangku kosong di samping Chanyeol. Keningnya berkerut. "Ada yang tahu di mana Kris Wu?" tanyanya pada siswa di kelas.

Tak ada yang menjawab. Para siswa hanya sibuk berbisik—bertanya-tanya di mana Kris. Sungguh, itu sedikit aneh. Tak biasanya Kris tak masuk kelas tanpa izin, apalagi di kelas Mr. Kim. Akhirnya, mereka pun hanya menggelengkan kepala—tanda mereka tak tahu.

Merasa semakin aneh, Mr. Kim kembali mengarahkan mata elangnya ke arah Chanyeol. Siswanya itu tampak sedang memandangi bangku kosong Kris. "Park Chanyeol! Kau tahu di mana Kris Wu?"

Sang Dewa menggeleng pelan.

Mendapat jawaban itu, Mr. Kim pun menyerah untuk mengetahui keberadaan Kris. Ia segera memanggil nama selanjutnya dan memulai pelajaran.

Chanyeol tak memerhatikan pelajaran hari itu. Ia hanya terus memegang couple bracelet di tangan kanannya sambil menatap bangku kosong Kris. Di kepalanya, hanya ada Kris. Apa pemuda bersurai itu baik-baik saja? Kris, sebenarnya, kau di mana?

~ . ~
-------

~ . ~

Tubuh jangkung itu tersembunyi di balik selimut. Semalaman, Kris tak bisa tidur. Semua kejadian kemarin terus memenuhi kepalanya. Ditambah lagi, berbagai hal yang dilakukannya bersama Chanyeol melintas dan berputar-putar—membuat Kris semakin pusing. Rasanya, kepala pemuda bersurai pirang itu mau pecah memikirkan semua hal tentang Chanyeol.

God who Falls in Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang