Karenamu, Aku Dipaksa Untuk Belajar Ikhlas

11 1 0
                                    

Aku tahu, ada kata dasar yang di mana manusia sering enggan berjodoh dengannya. Hilang.

Aku tahu, ada kata berimbuh yang di mana manusia sulit berdampingan dengannya. Mengikhlaskan.

Ada 52 minggu yang aku lewati berulang-ulang, minggu dengan ribuan ambisi yang memanah, hingga minggu dengan ribuan ambisi yang gugur jatuh sebelum dilesatkan dari busur doa dan keringat.

Merasakan terpaan sinar matahari dari 149.600.000 km jauh jaraknya ke tempat pijak, masih sama, dengan suhu yang hangat dan panas menyengat. Tapi tenang, itu tidak lantas mengusutkan rajutan mimpi-mimpiku.

Entah sudah berapa detak jarum jam yang memutar dan lepas, berganti, begitu berulang sampai hari ini, dan menyemogakan seterusnya. Aku baru sadar, ada yang kurang lengkap. Apa? Orang tuaku dan sepaket kasih sayangnya yang tidak bisa terukur? Saudara? Teman-teman? Pendidikan? Ah! Sudah lengkap, kok. Rasanya. Sampai akhirnya tanpa sadar ada yang bertemu denganku, dan aku juga kebetulan menemukannya.

Halo! Akhirnya aku mengenalmu.

Aku yakin kamu bukan sejenis refreshener yang mampu menyegarkan mata yang berkantuk, badan yang tertimpa lelah, atau pikiran yang disambangi kalut. Maksudku, tapi kamu bisa mengatasi itu.

Jika sebelumnya aku mengenal warna pada umumnya, kini aku bisa mengenal warna dengan ribuan eksperimen dengan hasil barunya, dengan gradasi, kontras, saturasi, dan begitulah. Menyenangkan. Dengan itu juga, aku jadi sukar membedakan mana rasa paham dan rasa berlagak paham.

Tapi, aku enggan bermain tebak-tebakan. Aku coba untuk menghitung dengan akurasi yang tepat, menempatkan kamu di titik aman, yang terkunci, dan bisa lantang aku bilang "Ini punyaku!".

Sampai akhirnya, ada pertanyaan yang tercetus, apakah kamu juga begitu? Punyakah kamu impian yang sejenis denganku? Maukah kamu ikut berlari dan terlibat dengan semua rencanaku yang aku atur, di mana aku dan kamu sama-sama menjadi manusia yang memiliki peran terpenting di dalamnya?

Aku sudah menjulang menyusun batu dan bata untuk membentuk benteng yang tinggi, namun aku lupa memperkokoh kerikil fondasinya.

Aku baru sadar, bahwa tidak ada yang lebih membuat tenang selain kepastian. Dari sekian banyak sudut dan arah mata angin, kamu bahkan tidak tahu harus ke mana. Lalu bagaimana denganku? Merubuhkan semuanya?

Aku nyaris tidak tahu mana yang harus ku pilih antara berjalan, berlari kecil, berlari dengan tergesa-gesa, atau bahkan terseok-seok di atas tanah, ke arah mana? Aku bukan navigator yang baik untuk ini.

Lalu, kamu? Hak istimewamu tersemat untuk memilih dan memberi pilihan. Meski sebetulnya aku tidak suka untuk jadi pemilih dengan tawaran ini.

Mengapa kamu melatihku untuk berdiri tegap padahal sudah ku lewati hal itu sebelumnya dengan kaki pincang berluka? Mengapa kamu melatihku untuk bangun padahal sudah nyaman aku dengan berlutut atau duduk? Mengapa kamu… Ya, untuk yang satu ini, aku tidak mau melayangkan protes. Kamu memaksaku untuk belajar ikhlas, dengan kadar lebih.

Entah jalan yang masih panjang, atau aku yang terburu-buru menemuimu.

Aku mampu, yakin aku mampu ikhlas. Tapi kalau seperih ini prosesnya, bisakah aku untuk memilih cara yang dapat ditahan rasanya?

Truth, Cry, & LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang