***
Gue amat sangat prihatin dengan keadaan Sari saat ini. Bahkan, duduk saja sepertinya sangatlah sulit baginya. Sari berusaha bangun dari tidurnya, namun gue melarang keinginannya itu.
"Udah Sar, lo nggak usah maksain diri, lo istirahat aja ya. Gue nggak mau ngeliat lo kaya gini, lo harus sembuh ya", tanpa gue komandai, ternyata air mata gue mengalir lembut di pipi gue. Sontak, gue langsung menghapus air mata gue, supaya Sari nggak ikut sedih.
"Lo jangan nangis dong, gue nggak kenapa-napa kok. Besok juga gue sembuh. Lo jelek tau kalo nangis kaya gitu. Cengeng lo muncul lagi", ucap Sari sambil menghapus air mata yang tersisa di pipi gue. Gue langsung tersenyum mendengar ucapannya.
"Bisa aja lo Sar, oiya lo udah makan belum? Kalo belum gue suapin ya".
"Gue nggak nafsu makan Din, mulut gue terasa pahit semua. Cie perhatian nih sama gue, hahaha", gue ikut tertawa karena melihat sahabat gue yang satu ini bisa tertawa lepas disaat kondisi yang seperti ini.
"Hmm, udah sore Sar, gue pulang dulu ya. Gue belum ngerjain tugas nih, gue duluan ya. Jaga diri lo baik-baik. Kabarin gue ya kalo ada apa-apa", kata gue setelah melirik ke arah jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan gue.
"Iyaiya, lo juga ya, hati-hati di jalan. Jangan nyari pengganti gue ya, haha", katanya meledek gue.
"Nggak ada yang bisa gantiin posisi lo Sar, lo terlalu berharga buat gue".
***
Hari ini, gue masih sendiri, dan Sari masih dalam keadaannya. Ya, sakit. Entah sampai kapan gue sendiri tanpa Sari. Di kelas, nggak ada yang bawel, nggak ada yang bikin ribut, bahkan jika ada catatan yang harus di catat, gue harus mencatatnya sendiri.
Jika ada Sari saat ini, pasti kita sudah bertukar buku catatan dan mencatat apa yang harus di catat. Padahal, tulisan gue dan Sari sangatlah berbeda, tulisan gue yang rapi tersusun kecil, sedangakan tulisan Sari besar dan bisa dibilang berantakan. Itu hal biasa yang sudah kita lakukan sejak lama. Namun, tidak ada satupun guru yang mengetahui, akan peristiwa ini. Padahal, ini adalah kebiasaan bagi gue dan Sari dalam mencatat sesuatu. Kok bisa? Ya jelaslah, buku catatannya aja nggak pernah dikumpul atau diperiksa, gimana mau ketauan.
Dengan malasnya, gue mencatat sejarah yang banyaknya tidak dapat terhitung. Bahkan, gue nyatetnya nggak lengkap dan nggak berurutan, acak-acakan. Yups, itulah gue tanpa Sari.
Hari berlalu begitu lama, sehari ini saja sudah seperti seminggu. Sangat membosankan, batin gue.
***
Kini gue berniat untuk menelepon Sari dan menanyakan keadaannya sekarang. Dan akan memastikan bahwa Sari baik-baik saja.
Calling Sari
Gue : "halo sar, gimana keadaan lo?"
Sari : "alhamdulilah udah baikan kok"
Gue : "okedeh, nanti setelah pulang sekolah gue ke rumah sakit lagi ya"
Sari : "nggak usah Din, hari ini gue udah boleh pulang kok, dan kata mamah gue kita pulangnya nunggu papa gue jemput"
Gue : "bagus deh kalo gitu. Yaudah nanti gue ke rumah lo aja gimana?"
Sari : "oke deh, gue tunggu ya. Bye"
Gue : "bye"
Tut.. tut.. tut..
Akhirnya bel berbunyi yang menandakan telah waktunya untuk pulang. Ini adalah bel yang sangat gue tunggu-tunggu sejak tadi. Dan gue pergi ke rumah Sari untuk menepati niat gue.
Ting nong
Gue membunyikan bel rumah Sari berkali-kali, hingga bermenit-menit, sungguh sabarnya gue menunggu bukaan pintu dari dalam. Karena tidak ada yang merespond, akhirnya gue nelpon Sari.
Calling Sari
Saat gue menunggu jawaban Sari dari via telpon, ternyata sudah ada yang membukakan pintu. Dan kulihat ia adalah adiknya Sari. "Ayo kak masuk", ucap Keni, adik Sari. Gue hanya mengganggu dan mengikuti Keni dari belakang.
"Sariii", gue langsung memeluk Sari dengan erat tanpa menunggu respond dari Sari. "Sari, lepasin gue. Lo mau bikin gue mati?!", ucapnya. Gue hanya terkekeh.
***
Hari ini Sari sudah kembali masuk sekolah dan seperti biasa, dia terlambat lagi. Setelah pelajaran pertama selesai, Sari baru masuk ke kelas, karena ia harus menyelesaikan hukumannya karena terlambat. Sari pun masuk ke kelas dengan gaya cueknya, tanpa melirik ke arah bu Vida, guru Seni yang sedang duduk manis di kursi guru. "Sari!", bentak bu Vida pada Sari. Namun Sari tetap saja kelihatan cuek, tanpa memperdulikannya.
"Kenapa bu?", ucapnya dengan cuek dan wajah datarnya. "Berdiri kamu di depan, kamu sudah terlambat masuk ke kelas 1 jam pelajaran, enak saja kamu main nyelonong duduk! Cepat kamu ke depan!", ucap bu Vida dengan tegas dan menunjuk ke arah samping papan tulis. "Ya ampun bu, ibu kaya nggak tau saya aja deh, saya kan udah biasa telat bu, dan selama ini ibu fine fine aja sama kelakuan saya kan bu? Kenapa sekarang malah ibu marah?", ucapnya datar.
"Karena kesabaran saya habis melihat kelakuan kamu yang seperti ini sejak kelas 7, kenapa kamu tidak pernah berubah? Sekarang kamu sudah kelas 9, bukan waktunya untuk main-main Sari!", Sari tidak menjawab dan ia langsung ke depan dan mendapati hukuman lagi. Gue nggak bisa bantu apa-apa, setelah mendengar bu Vida marah seperti macan ngamuk itu, gue sama sekali nggak berani ngelakuin apa-apa.
Pelajaran bu Vida selesai di jam ke 3, dan hukuman Sari pun telah selesai pula. Pelajaran ke 4 adalah B.Indonesia. Namun, pak Roni belum terlihat. Kelas yang tadinya rusuh dan berisik, seketika menjadi hening karena bu Allice, kepsek masuk ke kelas dengan bersama seorang siswi. "Selamat pagi anak-anak", ucap bu Allice. "Pagi bu", ucap seluruh siswa bersamaan.
"Kelas kamu kedatangan siswi baru dari Bogor, ibu harap kalian bisa menjadi teman baiknya ya. Silahkan perkenalkan diri kamu", ucapnya sambil menengok ke arah siswi baru. "Perkenalkan nama aku Shintia Arumi Sanjaya, kalian bisa panggil aku Shintia atau Tia", perkenalannya yang sangat singkat.
"Baiklah, kamu bisa duduk di kursi kosong itu ya. Pak Roni ada keperluan sebentar, jadi ibu mohon semua jangan ada yang ribut ya", ucapnya sambil berjalan menuju keluar kelas.
"Yeay", teriak seluruh siswa.
***
Haii
Akhirnya update lagi nih gw
Ini cerita emang gaje, tolong di maklumin aja ya👍
Tolong berikan saran atau apapun itu ya
Sorry kalo ada typo di setiap kalimatnya
Tolong vomment-nya yaTerimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
ter-Lupakan(?)
Teen FictionDulu, dia memang sahabatku, sahabat yang selalu aku banggakan, selalu aku sanjung-sanjung, selalu aku puji-puji. Namun, setelah lama dia mempunyai sahabat baru, aku di lupakannya, hingga saat ini kita menjadi seseorang yang bahkan seperti orang asin...