"Nadia, jangan marah lagi." Sejak satu menit lalu, ayahku terus mencoba membujuk tanpa henti.
Sayangnya, aku bukan anak kecil yang bisa dijinakkan dengan bujukan semudah itu.
Ayah menggaruk-garuk rambutnya. "Baik, sekarang Nadia sekarang mau apa? Ayah belikan," tanyanya. Aku tahu, jika pertanyaan itu sudah keluar, ayahku akan serius dengan kata-katanya.
"Nadia mau ke Kebun Raya!" jawabku kecut.
Ayahku menghela napas. "Kita tunggu beberapa jam lagi ya? Sampai Ibu dan adik kamu siap?" Ayah menoleh ke arah Ibu dan Kirana yang berjalan ke sana ke mari di dalam rumah. Ibu jelas sekali sedang kerepotan mengatur Kirana.
"Tapi sekarang sudah siang, Yah!" Aku berubah ngotot, tak terpengaruh bujukan Ayah. "Biasanya kita berangkat pagi! Ayah udah janji tahun ini kita bakal ke Kebun Raya!"
Mendengar keluh kesahku, Ayah hanya bisa menoleh, mencari bantuan kepada Ibu.
"Tidak apa-apa." Ibuku bersuara. "Kirana sudah tiga tahun, sudah bisa lebih diatur daripada tahun lalu."
"Tapi dia masih tidak bisa diam. Apa kamu tidak akan kerepotan?" Ayahku bertanya dengan cemas kepada Ibu. "Kebun Raya itu bukan tempat liburan yang kecil."
"Memangnya kamu pikir aku ini Ibu seteledor apa?" Ibuku jadi ikut-ikutan sewot.
Akhirnya Ayah menghela napas sekali lagi. "Baik, kita siap-siap."
Tanpa aku ketahui, di masa-masa yang akan datang, aku akan terus mengenang saat-saat ini sambil bertanya-tanya dalam hati: Jika aku tidak menuntu Ayah waktu itu, apa keadaan akan berbeda?
***
Dengan Kereta Api Listrik, kami berangkat dari stasiun Tebet. Setengah jam kemudian, kami sampai di stasiun Bogor dan langsung naik angkutan umum menuju Kebun Raya.
Kebun Raya Bogor ternyata sudah penuh sesak oleh manusia. Banyak keluarga yang datang membawa anak-anak dan kerabat untuk liburan. Beramai-ramai, mereka membawa tikar dan berantang-rantang makanan, seperti kami.
Di bawah satu pohon Damar, Ayah menggelar tikar dan membuka rantang makanan yang sudah disiapkan oleh Ibu. Di bawah langit yang jarang-jarang teduh di bulan Juni, kami berempat makan siang bersama empat keluarga lain yang juga berlibur. Ibu menyuapi Kirana sementara Ayah mengambil satu porsi nasi dan satu potong paha ayam lengkap dengan kuah opor untukku.
Dengan gembira kuterima makan siang itu dan langsung melahapnya, namun suara kikik tawa itu membuat suapanku berhenti.
Tanganku meletakkan kembali sendok itu ke piring sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat siapa pemilik tawa tak enak itu, tapi percuma. Hampir semua orang sedang tertawa, entah itu para orang tua maupun anak-anak.
Mencoba mengabaikan dan menganggap suara tawa tadi hanya salah satu tawa aneh dari mulut orang-orang, aku kembali menyendok makananku.
Namun suara tawa itu sekali lagi terdengar, dan kali ini, semakin keras.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini suara itu tidak berhenti. Tawa itu terus menerus terdengar dan aku tidak lagi ragu.
Suara tawa itu datang dari dalam kepalaku, bergema dari dalam telingaku seakan ada seseorang yang sedang tertawa di dalam sana.
Ketakutan, aku pun berhenti makan dan segera menggenggam erat-erat baju ayahku, mengganggu waktu makannya.
"Ayah." Suaraku mengecil karena ketakutan. "Ada yang tertawa."
Ayahku mengerjap beberapa kali sebelum menatap sekeliling. "Semua orang tertawa, Nadia."
Aku menggeleng lemah, sementara suara tawa itu semakin keras, semakin terdengar menakutkan. Seperti Ayah, aku ikut mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, tapi tak kunjung menemukan sumber tawa mengerikan itu. "Di dalam kepala Nadia ...." bisikku, semakin takut. "Ayo pulang. Nadia mau pulang aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOIR [SUDAH TERBIT]
Paranormal[NOIR #1] - [SUDAH DITERBITKAN OLEH FRENDZUKZEZ PUBLISHER! SEBAGIAN ISI BAB TELAH DIHAPUS!] - Mereka mengejarku. Mereka berniat memangsaku, entah karena apa. Lima tahun lalu, langit kota Bogor terbelah. Lima tahun lalu, aku menyaksikan m...