2. Pemuda dengan Tongkat Perak

7.2K 537 42
                                    

Selama sesaat, aku hanya bisa berdiri mematung di hadapan pemuda itu, terheran-heran di bawah kedua matanya yang terpejam.

Selagi masih bertanya-tanya, mataku turun, menyaksikan satu tongkat putih digenggam oleh tangan kiri sang pemuda.

Astaga, dia buta? Aku baru saja menabrak orang buta?

"Maaf," ucap pemuda itu dengan nada ramah yang biasa membuat para lansia dan ibu-ibu jatuh hati. "Nona tidak apa-apa?"

Suara hentakan kaki dan geraman itu seketika menghentikan jawaban keluar dari mulutku. Menoleh, aku melihat monster raksasa bertentakel itu berdiri menjulang di tengah-tengah keramaian. Mata merahnya mencari di tengah kerumunan, menyisir setiap manusia satu per satu, hingga akhirnya berhenti.

Dia menemukanku.

Suara tawa monster itu bergema di dalam kepalaku. Sesaat kemudian, dia menjejak tanah dan melompat dalam posisi menerkam seperti predator. Melihat makhluk itu mendekat, tanpa tedeng aling-aling, aku menjegal pemuda tunanetra itu, menyingkirkannya dari jalanku.

"Eh?" Pemuda itu tampak tak menduga seranganku barusan. "Nona? Apa yang ...."

Tanpa menggubris apa yang ia katakan selanjutnya, aku berlari pergi. Aku terus berlari dan berlari sambil dikuasai ketakutan.

Lari, lari. Pokoknya kamu harus lari. Selamatkan saja nyawa sendiri dan jangan pedulikan hinaan di sekitarmu, Nadia.

Benar, satu-satunya yang bisa menyelamatkan nyawaku saat ini hanyalah diriku sendiri. Keberadaan monster raksasa itu tak akan pernah disadari oleh manusia yang lain. Yang terdorong oleh monster itu akan bingung dan bertanya-tanya siapa yang baru saja menyenggol mereka atau mengira mereka didorong oleh orang lain di tengah kerumunan. Mereka tidak akan pernah sadar apa yang sebenarnya mendorong mereka.

Pada akhirnya, aku yang berlari sampai habis napas untuk menyelamatkan nyawa inilah yang terus disangka gila dan berbahaya. Seandainya saja mereka tahu ada monster yang ada di dekat mereka dan siap memakan mereka, orang-orang ini setidaknya tidak akan ....

Tunggu sebentar. Pemuda itu, pemuda yang tidak bisa melihat itu, tadi dia kutinggalkan di belakang, tepat saat makhluk itu berlari tepat di hadapannya.

Itu artinya ... aku sudah mengumpankan pemuda itu agar aku selamat.

Apa aku sudah membunuh pemuda itu secara tak langsung?

Pertanyaan itu terus bergema hingga tak terasa kepalaku pun menoleh ke belakang, membenarkan dugaanku saat melihat monster itu mengangkat cakarnya tepat di hadapan pemuda tunanetra yang tengah membelakanginya.

Pemuda itu tak sadar kematian yang ada di belakangnya. Dia sebentar lagi akan mati ... dan itu karena aku tidak cukup baik hati memperingatkannya. Itu salahku.

Tidak, itu tidak benar.

Salah mereka yang tidak sadar ada makhluk-makhluk itu di sekeliling mereka. Salah mereka karena mengabaikan dan menganggap peringatanku sebagai kata-kata tidak masuk akal yang keluar dari mulut seorang gadis sinting.

Benar, semua salah mereka. Bukan salahku.

Lantas yang tadi itu ... apa juga bukan kesalahanku?

Bukan setiap hari aku akan melihat orang-orang tak sadar akan keberadaan makhluk-makhluk aneh ini sampai akhir. Di beberapa kesempatan langka, ada beberapa manusia yang menyadari keberadaan makhluk-makhluk itu. Sayangnya mereka menyadarinya ketika semua sudah sangat terlambat. Di saat itulah, mereka mengulurkan tangan, memohon bantuan pada siapapun, tapi tak ada yang menyahut.

NOIR [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang