Kata-Kata Dian Prameswari

38 1 0
                                    

Dulu, sewaktu aku kecil, aku diajarkan oleh guruku apa itu arti peduli. Dulu juga, sewaktu aku belajar peduli, waktu itu juga aku sadar kalau kepedulian kalian tidak akan dipedulikan oleh orang lain jika kalian tidak memiliki 3 hal penting. Uang, jabatan dan wajah yang tampan. -Fransdhika Cahaya-

Jalanan untuk menuju sebuah perumahan malam ini terlihat lengang, hanya ada sebuah mobil mewah keluaran terbaru yang sedang melintas. Terlihat dua laki-laki berada di mobil tersebut. Satu laki-laki separuh baya yang mengenakan pakaian safari duduk di kursi pengemudi, sedangkan laki-laki lainnya yang tampak jauh lebih muda duduk di kursi penumpang bagian belakang.

Sepanjang perjalanan di dalam mobil hanya terdengar suara gesekan antar kertas dokumen yang sedang dibolak balik oleh si pemuda. Beberapa kali pemuda itu mendecak tidak suka kemudian mencoret dokumen, melemparkannya ke tempat kosong kemudian mengambil lagi dokumen lainnya. Hanya sedikit sekali pemuda itu membubuhkan tanda tangan di atas nama Fransdhika Cahaya sebagai pemilik perusahaan. Baginya, perusahaan adalah hal yang paling utama. Sekalipun di dalam mobil pekerjaannya untuk tiga hari ke depan ditangani tanpa ada masalah, tapi itu sebelum supirnya membuat dokumennya berantakan karena berhenti mendadak. Sangat mendadak sampai diapun ikut terdorong ke depan.

"APA YANG PAK SYARIF LAKUKAN?!" Raungnya marah.

"Ma-maaf, tuan. Tapi wanita itu menyeberang secara mendadak." Laki-laki yang dipanggil Syarif menjawab ketakutan seraya menunjuk ke depan.

Fransdhika mendongak, matanya mengikuti arah yang ditunjuk supirnya. Tampak seorang wanita yang rambutnya lurus sepunggung diikat mahkota. Kulit putih merona gadis itu tersorot lampu mobil. Matanya membulat sedang bibir tipisnya sedikit terbuka. Fransdhika terpana melihat kecantikannya. Tapi dilihat dari manapun gadis itu terlihat sangat terkejut sampai tidak beranjak dari tempatnya.

Pak Syarif mengambil inisiatif untuk turun menghampiri wanita itu. Ketika dilihatnya pak Syarif membungkuk untuk mengambil sesuatu dihadapan wanita itu, Fransdhika mempercepat gerakannya keluar dari mobil menyusul pak Syarif.

'Sebuah tongkat?!' Fransdhika dibuat terkejut untuk yang kedua kalinya.

Digoyangkan tangan kanannya di hadapan wanita itu, tidak ada reaksi. Wanita itu berkedip normal seperti tidak terpengaruh gerakan tangannya. Bukan seperti, tapi memang gadis itu tidak terpengaruh gerakan tangannya, wanita itu buta. Kali ini dirinyalah yang dibuat tercengang.

"Syukurlah kalau mbak tidak terluka, sekali lagi saya minta maaf." Terdengar suara pak syarif setelah menanyakan keadaan gadis itu.

"Tidak, tidak. Saya yang seharusnya meminta maaf. Saya buta tapi dengan percaya dirinya menyeberang seorang diri." Wanita itu menggeleng kemudian tersenyum merasa bersalah.

Katakan Fransdhika gila, tapi dia menyukainya. Mendengar suara wanita itu membuatnya tersenyum tipis tanpa alasan. Dia jatuh cinta, untuk pertama kalinya. Dia yakin itu. Jantungnya juga memperparah kesimpulan yang ada. Dadanya pun ikut menghangat. Dia mengakuinya, dia jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang wanita buta. Dia tidak peduli jika wanita itu buta atau memiliki hati yang jahat seperti wanita-wanita di sekitarnya yang hanya menginginkan uang. Dia tidak peduli, memangnya sejak kapan dia peduli?

"Kak Dian!" Seorang anak laki-laki berkisar 10 tahunan berlari menghampiri wanita itu kemudian memeluknya. "Maafkan Agus, kak. Agus terlambat menjemput kakak." Matanya menunjukkan penyesalan dan kesedihan.

Dian? Ah, jadi nama gadis itu Dian? Menyadari sesuatu alis Fransdhika menyatu. Pemikiran seperti bagaimana jika Dian tertabrak tadi? Bagaimana jika saat itu yang sedang membawa mobil sedang mabuk dan tidak sempat berhenti seperti yang dilakukan pak Syarif tadi? Atau bagaimana jika Diannya diculik? Bagai— tunggu, apa katanya barusan? Dian-nya? Sejak kapan wanita itu jadi miliknya? Tapi Fransdhika tidak peduli, memangnya wanita mana yang menolaknya? Dengan uang dan wajah yang tampan seperti miliknya tidak mungkin kan Dian menolaknya?!

Gado-Gado GopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang