Miguel Aranda membenarkan letak headset-nya ketika tengah bicara dengan seseorang melalui ponsel. Kedua tangannya masih memegang setir kemudi, dengan sorot mata fokus ke arah jalan raya di depan.
"Aku menengok putraku yang sakit, jadi tak ada kelas untuk hari ini. Ya... tolong sampaikan pada mahasiswaku di kelas 2B. Gracias, Carlos." Miguel menutup telepon terlebih dahulu, kini memperlambat laju mobilnya dengan tangan kanan mencari nama Luis Zelaya di layar ponsel.
"Hola, Luis. Bagaimana keadaan Alex sekarang?"
"Dia bangun dan bersikeras akan berangkat kerja, Señor," sahut Luis dari seberang.
"Bisakah kau mencegahnya pergi?" Miguel menggelengkan kepala ketika mobilnya mendadak disalip secara serampangan oleh sebuah Nissan tua keluaran tahun 80-an dengan cat hijau terkelupas.
"Dia sudah memakai jaket dan bersiap mengeluarkan motornya."
"Tak mungkin! Beberapa menit lalu dia seperti balon yang baru saja dikempiskan dan sekarang dia mau mengendarai motor?! Luis, hentikan dia atau—"
Miguel terhenyak ketika dua orang dari mobil Nissan yang barusan menyalipnya mengarahkan senapan semi-otomatis ke arahnya. Pria itu reflek menghindar dengan banting setir ke kanan, tepat ketika dilihatnya muntahan peluru, asap dan percikan api berhamburan menyerbunya, menghantam kaca mobil beberapa kali sebelum pecah dan membombardir tubuhnya. Ia tersedak ketika salah satu peluru menghujam leher, mencegahnya mengeluarkan teriakan. Mobil yang ia kendarai oleng dan lelaki itu bahkan tidak mampu melihat apa pun ketika dadanya terasa seperti dihantam gada. Airbag otomatis terkembang, melindungi bagian atas tubuhnya dari efek tabrakan, akan tetapi rentetan tembakan dari arah depan bertubi-tubi tetap saja menghajarnya tanpa ampun.
Miguel sempat mendengar teriakan histeris dari headset yang salah satu earbud-nya masih terpasang di telinganya.
"Señor Aranda! Señor Aranda!"
"Papa! Papa! Papa ada di mana?! Papa, jawab! Papa!!"
Miguel membuka mulut, berusaha bersuara, akan tetapi hanya lenguhan tak jelas yang keluar di sela bibirnya. Ia kembali memuntahkan darah dengan napas terputus-putus. Kedua tangannya sudah bersimbah cairan merah kental karena yang satu ia usahakan menahan laju darah dari lehernya, satu lagi ia tekankan pada dada sebelah kanan atas.
"Alexander... Ezra..." Hanya dua nama itulah yang terngiang di dalam kepala Miguel, semakin lama semakin terasa berat.
Detik berikutnya, kedua tangan yang semula gigih menekan luka, kini terjatuh lunglai di sisi tubuh, dengan posisi badan masih terhimpit airbag dan sabuk pengaman.
*****
Anna Caldeira melihat jam dinding di dalam ruangan, lantas memperhatikan rekan kerjanya yang saat itu baru saja selesai menghitung jumlah peluru. Keduanya berhasil mengeluarkan semua muntahan peluru hasil tembakan senapan serbu semi-otomatis jenis AK-47 dari tubuh korban selama hampir dua jam. Kini mereka sedang dalam proses merapikan jenazah.
"Berapa?" tanya wanita itu dari balik masker.
"Empat belas." Alexander menyahut, juga dari balik masker.
"Kau bisa berikan langsung pada petugas dari kepolisian di ruang tunggu." Anna masih menjahit bagian leher mayat dengan konsentrasi penuh.
Alexander mengangguk. Ia melepas sarung tangan putih yang telah kotor oleh cairan merah, membuangnya di keranjang khusus. Setelah mencuci tangan, pemuda itu mengambil stoples transparan berisi peluru di atas meja otopsi Anna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chartreuse 2014
General FictionBUKU KEDUA DWILOGI CHARTREUSE. HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG. Versi dewasa dari tokoh utama Chartreuse 2004, Alexander Aranda, yang telah berusia 20 tahun dan bekerja di Morgue Judicial (rumah duka) San Pedro Sula, Honduras. "Tahu cara terbaik...