Ezra Aranda menyeret koper birunya masuk ke dalam sebuah kamar berukuran 3x3 meter. Terdapat satu ranjang kecil, satu lemari pakaian dari kain yang bisa dibongkar-pasang, satu meja belajar, dua rak buku yang sepertinya dibuat sendiri dan satu kursi plastik tanpa sandaran di dalam kamar tersebut. Terkesan agak pengap karena lubang udara terletak di atas, tanpa jendela. Lantainya terbuat dari semen, seperti lantai di ruangan lainnya, dindingnya bahkan masih berupa batu bata. Tak ada AC, hanya terdapat satu kipas angin kecil di atas meja belajar, itu juga tampak lusuh.
Ezra menggelengkan kepala. Setelah tadi ia kaget mendapati ruang tamu sempit dengan hanya terdapat satu sofa cokelat tua dan meja berkaca hitam tanpa taplak, sama seperti kaca pada jendelanya, kini ia memang tidak berharap banyak pada ruangan lainnya, termasuk kamar tidur. Ia tak bisa membayangkan bagaimana bentuk kamar mandinya nanti.
Luis menyusul masuk, menempatkan koper dan ransel Alexander di dekat meja belajar. "Ini kamar Alexander. Satu-satunya kamar tidur di rumah ini," jelasnya.
Ezra melepas ransel di punggung, menaruhnya ke atas ranjang berseprai putih polos seperti seprai rumah sakit, senada dengan dua bantalnya.
"Aku tak tahu Alex begitu miskin," komentarnya muram.
"Miskin?" ulang Luis, sekilas ingin tertawa, tapi kemudian ditahannya. "Ah, kukira dia hanya suka hidup sederhana. Kakakmu bekerja di dua tempat sekaligus dengan gaji lumayan. Ia bisa mendapatkan apartemen yang bagus kalau dia mau."
"Kenapa dia tidak mau?" tanya Ezra tak mengerti.
"Mungkin karena ini adalah peninggalan kakek kalian dan lokasinya aman. Dulunya bukan rumah, tapi pabrik pengolahan hasil kelapa. Kecil tapi memanjang hingga ke belakang. Alexander membongkarnya dan memperkecilnya hanya dengan beberapa ruangan saja."
Terdengar pintu depan dibuka dari luar, membuat Luis berhenti bicara. Ia melangkah keluar kamar, mendapati Alexander tengah berjalan menuju ke arahnya.
"Di mana Ezra?" tanya Alexander singkat dalam aksen San Pedro Sula.
"Di dalam kamarmu." Luis menunjuk dengan tangannya. "Orang Mara itu sudah pergi?"
Alexander mengangguk.
"Ada urusan apa dia menemuimu?"
"Nanti kuceritakan." Alexander melirik ke arah pintu, mendapati Ezra berdiri di sana, memperhatikan keduanya tanpa berkedip.
"Hai, Ez. Selamat datang di rumahku. Surprise?" Alexander berbicara menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris sekaligus, tanpa cela.
Ezra mendengus. "Aku tidak akan tinggal di sini, 'kan?"
Luis berdeham, berpamitan langsung, menyadari keduanya perlu privasi. Ia menepuk pundak Alexander seraya berkata. "Setelah cukup istirahat, datanglah ke rumahku. Kami mengundang kalian sore nanti. Sabrina dan Pepita sudah menyiapkan makanan enak untuk menyambut kedatangan kalian berdua."
"Muchas gracias, Luis." Alexander tersenyum, yang diikuti anggukan Luis.
"Kau tak perlu cemas, malam ini manfaatkan waktu untuk total istirahat saja. Aku akan menemanimu mengurus segala sesuatu mulai besok, oke?"
"Oke," sahut Alexander, mendadak merasa lelah setelah mendengar 'mengurus segala sesuatu' dari mulut Luis. Sejak kematian sang ayah, ia sepertinya tak hentinya mengurus segala sesuatu dan belum merasa benar-benar beristirahat hingga sekarang.
Luis menoleh pada Ezra. "Bye, Ezra."
"Bye, Luis. Thank you!" Ezra ikut tersenyum meski dipaksakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chartreuse 2014
General FictionBUKU KEDUA DWILOGI CHARTREUSE. HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG. Versi dewasa dari tokoh utama Chartreuse 2004, Alexander Aranda, yang telah berusia 20 tahun dan bekerja di Morgue Judicial (rumah duka) San Pedro Sula, Honduras. "Tahu cara terbaik...