Author's POV
BRAK...
Suara pintu yang di buka kasar menggema di penjuru rumah mewah bertingkat dua itu. Tepatnya berasal dari kamar seorang remaja malas bernama Dicky. Bukan hanya suara gebrakan pintu, derap langkah serta teriakan nyaring seseorang juga turut mewarnai suasana rumah yang tergolong sepi itu.
"DICKY!! BANGUN WOY!! CEPET!! ETAR KALAU TELAT MALAH NYALAHIN GUE!! BANGUN!"
"Hmm~" Gumaman tidak jelas meluncur dari mulut Dicky, ia lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh tubunya dan sebisa mungkin mengabaikan jeritan frustasi dari kakaknya.
Rei menarik bantal serta selimut Dicky, lalu ia berteriak keras-keras tepat di telinganya. "WOY!! ADEK DURHAKA LO!! ELO TEGA LIAT GUE DIANIAYA AYAH KALAU ELO NGGAK SEKOLAH HAH?!!"
Sekilas Dicky terhentak dengan mata melotot karena kaget, namun beberapa detik kemudian ia kembali menutup mata. "Berisik amat sih Rei!! Gue Masih ngantuk." Jawabnya dengan suara serak, tak lupa ia menyeka kasar bekas liur di sudut bibirnya.
Rei menatap adiknya jijik kemudian mulai memijit pelipisnya yang selalu berdenyut ketika harus membangunkan Dicky. Ia sungguh benci pagi hari pada hari-hari sekolah seperti saat ini.
"Ya ampun, dosa apa gue sampai-sampai punya adek kayak gini. Bunda dulu nggak salah nih ngelahirin bocah kayak gini?" Gumam Rei heran. Ayah, bunda, dan dirinya tidak pernah sulit bangun pagi, tapi mengapa Dicky berbeda? Apa jangan-jangan bayi Dicky dulu tertukar di rumah sakit? Rei bergidik ngeri membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi, ia belum siap menghadapi kehidupannya berubah menjadi sinetron-sinetron yang dulu digemari oleh Bundanya tercinta.
Rei memutar otak, mencari cara yang efektif dan efisien untuk membangunkan Dicky, mentalnya sudah cukup down saat ini. Tak lama kemudian sebuah lampu kecil berwarna kuning menyala di atas kepala Rei, diikuti sebuah seringai manis yang terkembang di bibirnya.
Dengan hati riang gembira Rei berlari keluar dari kamar Dicky menuju ke halaman belakang. Begitu ia mendapatkan apa yang dibutuhnya, ia bergegas kembali ke kamar Dicky.
Perlahan tangan kanan Rei menyibak selimut yang digunakan Dicky. Rei semakin tersenyum saat wajah Dicky mulai terlihat, tanpa babibu ia menjepit hidung Dicky dengan penjepit jemuran.
Satu...
masih tidak ada respon dari Dicky.Dua..
Dicky mulai mengerutkan keningnya.Tig---
"ANJING!!! APAAN NI!" Dicky tiba-tiba langsung terbangun, dan menarik penjepit jemuran yang menjepit hidungnya keras-keras.
"Selamat pagi Dicky." Sapa Rei dengan muka yang tersenyum lebar.
Dicky mengelus hidungnya yang terasa panas. "Njing!! Elo ngapain ngejepit hidung gue pakek jepitan jemuran hah!! Sakit bego!"
Senyum Rei perlahan memudar, digantikan oleh raut datar tanpa ekspresi. "Elo tuh yang anjing. Udah, cepet bangun!!" Jawab Rei tak acuh lalu berlalu pergi keluar dari kamar Dicky yang tetap saja menatapnya kesal. Hahh, bisa-bisa ia sudah ubanan di usia 25 tahun gara-gara harus mengurusi Dicky.
Dengan langkah lesu Dicky menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Mandi dengan sesegera mungkin sebelum kakaknya itu mengomel lagi dan semakin menyiksanya.
10 menit kemudian Dicky sudah keluar dari kamar mandi dengan hanya handuk yang menutupi pinggul sampai lututnya. Ia berjalan menuju lemari dan mengambil seragam sekolahnya yang kemudian ia pakai secepat mungkin karena kakaknya di bawah sudah mulai teriak-teriak seperti orang kerasukan.
Sebelum turun ke bawah, Dicky menyempatkan mengoleskan gel rambut dan menyisir asal rambut hitam miliknya sehingga masih terkesan berantakan dan kesan bad boy sangat terlihat jelas. Ah, lagipula rapi bukan style Dicky.
KAMU SEDANG MEMBACA
You and Me are Gay
Novela JuvenilDicky Refandra, si captain basket yang terkenal gay di sekolahnya jatuh cinta pada ketua osis-nya yang bernama Raskal Wiradana. Dan tentunya Raskal bukan termasuk dalam golongan lelaki yang suka pada sesama lelaki. Lanjut sendiri yak kalau penasa...