Aku duduk di kursi depan meja kerja Bang Badai, saat kakak tertuaku itu akhirnya masuk ke ruangan ini sambil membawa secangkir kopi.
"Asa, sorry dah lama nunggu yaa..." katanya.
"Ahh, santai aja, Bang. Ini aku lagi kirim-kiriman WA sama adek-adek," jawabku santai.
Abangku itu mengangguk sambil tersenyum lalu duduk di kursi kerjanya. Kami duduk saling berhadapan, dipisahkan meja kerja kayu warna hitam.
"Gimana kabar Cinta, Bang?" tanyaku.
Cinta adalah anak Abangku yang saat ini, tengah berjuang melawan leukemia.
Bang Badai menyeruput kopi hitamnya sebelum mulai bicara.
"Masih terus rutin kemo. Progress nya sih semakin bagus. Kata dokter grafik menuju remisi sudah naik. Menuju kesana. Insya Allah. Doain aja, Sa..." ucapnya dengan wajah serius.
Aku mengangguk, bibir kulipat sebelum berbicara lagi.
"Iya, Bang... Asa doain... kita sama, Bang... kalau Abang punya anak yang kena kanker, nah gue, nyokap..."
Bang Badai melipat bibirnya lalu mengangguk.
"Gimana perkembangan Bunda Indah, Sa? Sorry yaa belum jenguk lagi..."
Dengan dada serasa teriris, aku menyampainya kondisi terakhir ibuku.
"Umm... udah stadium akhir, Bang... dokter prediksi usianya sekitar 6 bulan lagi..."
"Apa?" katanya dengan nada kaget.
Aku mengangkat bahuku, yah mau bagaimana lagi.
"Gue harap ada keajaiban. Tapi, nyokap dah pasrah sih. Berobat jalan masih, tapi nyokap dah nerima keadaan. Sekarang bunda maunya ibadah, menenangkan diri, menikmati hidup, sama..."
"Sama apa?"
Aku menghela nafas panjang.
"Sama, minta gue nikah. Syukur-syukur bisa hamil sebelum nyokap berpulang. Bahkan nyokap berharap bisa dikasih hidup sampai gue punya anak."
Bang Badai kembali menganggukkan kepalanya.
"Trus, udah ada calonnya?"
Aku tertawa mendengar pertanyaannya.
"Kalau perempuan mah, jujur aja banyak yang antri. Cuma, gak ada satu pun yang bikin sreg, Bang... ehh, anyway... gue kesini bukan untuk itu..."
Keningnya berkerut mendengar usahaku untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi kemudian Bang Badai mengangguk. Paham bahwa aku enggan membicarakan persoalan ini.
"Gini, Bang... gue ada ide buat semakin menyatukan Khatulistiwa brotherhood nih... supaya kita saudara-saudara seayah semakin solid ikatannya..."
Dia mengangguk.
"Gimana?"
Aku tersenyum lalu kembali bicara.
"Kita bikin bisnis bersama."
"Bisnis bersama?"
Aku mengangguk.
"Iya. Bisnis yang di dalamnya representasi kita semua. Musik, abang. Buku, Jagad. Meeting point, aku. Lifestyle, hanging out, Raya. Kopi, Samudra."
Bang Badai diam, terus menyimak penuturanku.
"Khatulistiwa Bros. Music Lounge - Books & Coffee. Itu namanya. Konsepnya kafe plus toko buku. Khasnya, tiap malem ada live music nya. Tempatnya dibuat se-cozy mungkin. Homey. Ada wifi dan sebagainya. Buat meeting point, ketemuan klien atau sekedar hang out. Target, dewasa muda dan eksekutif kelas B+. Ada meeting room-nya juga. Mungkin dua atau tiga ruangan, buat nampung sekira 25-30 orang..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa #1 Unstoppable Love Series
Roman d'amourWarning: this is teaser version. Menikah. Itu pinta ibuku. Wanita yang telah melahirkanku. Perempuan yang bertahun-tahun hidup dalam pengabaian ayahku. Kini, di usia paruh bayanya dokter memvonisnya dengan penyakit yang membuat ragaku mendadak kaku...