Satu

100 4 1
                                    

Aku membuka mataku perlahan. Mencoba untuk menyesuaikan penglihatanku dengan cahaya yang masuk melalui jendela kaca. Aku menatap sekelilingku. Dimana aku? Kamar ini lebih besar dari kamarku. Warna dindingnya juga bukan warna kamarku.

Aku melihat isi ruangan ini. Lemari, pintu, televisi, meja belajar lengkap dengan laptop yang masih menyala diatasnya.

"Kau sudah bangun?" Ia masuk lalu duduk diatas kursi meja belajar dengan tenang.

"Siapa kamu? Dimana aku? Kenapa aku ada disini?" Aku bertanya padanya. Ah. Bahkan aku bertanya pada orang yang hanya ku lihat punggung tegaknya. Hal yang sangat tidak aku suka.

"Bisa tidak bertanya satu-satu? Ku rasa kamu itu gadis yang tidak memiliki kesabaran." Ia memutar badannya menghadapku dengan wajah kesalnya.

Ku pandangi ia sejenak. Mataku menelisik ke arahnya. Tampan. Satu kata itu ku kira bisa mendeskripsikan dirinya.

"Sudah puas memandangiku?"

"Maaf" aku merona. Demi apapun. Ini adalah pertama kalinya aku menatap seorang pria secara terang-terangan. Aku malu. Tak berani aku menatap wajahnya. Aku hanya menundukkan wajahku. Menghindari tatapan elangnya.

"Oke. Ku maafkan. Akan kujawab pertanyaanmu tadi nona manis." Oh tidak. Ia mendekat ke arahku. Bisa ku rasakan pinggir ranjangku bergerak. Tuhan. Ia duduk di tepi ranjang itu. Ku rasakan pipiku merona. Ku putuskan untuk melihat ke arah lain.

"Namaku Danu. Ramdanu Nugraha. Kamu ada di rumahku. Di kamarku. Kamu disini karena aku tak sengaja menemukanmu di pinggir jalan ketika aku akan berangkat menuju kampus. Maaf karena aku membawamu kesini. Aku tidak ada niat apapun tehadapmu. Sungguh. Aku membawamu kemari karena aku tidak tahu siapa kamu dan dimana tempat tinggalmu."

"Ah ya. Terimakasih. Danu." Ku beranikan menatap wajahnya. Ia tersenyum padaku. Bukan jenis senyuman lebar yang biasa orang-orang tunjukkan. Hanya senyum tipis.

"Jadi, siapa namamu nona?" Ia berkata padaku lagi.

"Aku Bintang Kania Cempaka. Kamu bisa memanggilku Bintang."

"Lalu mengapa kau bisa pingsan di jalanan?"

"Itu... Aku tidak tahu persis. Hanya saja....."

Bayangan orang-orang berbaju hitam dengan topeng di wajah mereka langsung menyerbuku. Kilasan ingatan tentang pukulan yang berikan kepada Mas Rizki hingga menyebabkan Mas Rizki berdarah membuatku takut. Tanpa ku sadari, keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku takut. Ku gerakkan badanku menjauhi bayangan orang berbaju hitam itu. Tapi ku rasakan badanku menabrak kepala ranjang. Aku terjebak. Air mataku sudah turun entah sejak kapan. Ku rasakan nafasku mulai pendek-pendek. Aku memeluk lututku. Berharap hal itu bisa melindungiku dari mereka.

"Kania? Hey Kania? Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan? Perlu ku panggilkan dokter?"

Kania. Tubuhku menegang mendengar nama itu disebut. Bayangan orang berbaju hitam itu mulai menghilang. Tergantikan kenangan pahit yang lain. Tidak. Ini harus ku hentikan.

"Aku tak apa. Kau baru saja memanggilku apa?"

"Kania."

"Siapa Kania? Namaku Bintang. Bukan Kania."

"Tapi aku suka memanggilmu Kania"

"Diam! Panggil aku Bintang."

"Tidak. Aku akan tetap memanggilmu Kania." Danu bangkit dari duduknya. Kembali ke meja belajarnya dan mulai menyesap secangkir kopi miliknya.

"Tidak. Kau dan siapapun di dunia ini tidak boleh memanggilku Kania."

"Kenapa?"

"Apa kau pikir karena kau sudah menolongku, lantas kau berhak memanggilku sesuka hatimu Tuan Ramdanu Nugraha yang terhormat?" Aku mendecih muak.

"Bukan--"

"Ah ya. Harusnya aku sadar dari sejak pertama kali kau memanggilku dengan nama sialan itu. Aku akan pergi. Terimakasih atas pertolonganmu menyelamatku di jalanan."

Minggu, 25 Desember 2016

Denting WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang