Tiga

23 2 0
                                    

Danu pov

Bintang Kania Cempaka.
Sudah seminggu sejak ia pergi dari rumah. Entah apa yang terjadi padaku. Hatiku tak rela melihat ia melangkahkan kaki dari rumahku, apalagi ku lihat bahu nya bergetar karena menangis waktu itu. Ah bodoh kau Danu. Bisa-bisa nya membiarkan seorang gadis yang baru saja sadar dari pingsan pergi dari rumahmu. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan Kania di jalan? Bagaimana dengan tanggapan orang-orang melihat seorang gadis keluar dari rumah seorang pria dalam keadaan menangis? Bagaimana jika--

Ah. Persetan dengan tanggapan orang lain. Bagaimana keadaan Kania? Apakah ia baik-baik saja? Atau kembali tergeletak tak berdaya di tengah jalan?

Lelaki macam apa aku ini. Tega membiarkan gadis yang sedang sakit keluar dari rumah. Aku harus mencari Kania. Sebagian dari diriku memintaku untuk mencari Kania. Ah, Kania. Bahkan baru seminggu aku mengenalmu tapi efek kehadiranmu pada diriku sudah sedahsyat ini. Ada apa ini sebenarnya?

Tuk tuk tuk
Suara langkah kaki ku menggema. Tak ku hiraukan tatapan Raya, adikku yang menatapku heran.

"Bang Danu mau kemana sepagi ini?" Ku lihat ia bertanya sambil membenarkan letak roll yang terpasang di rambutnya.

Aku menghentikan langkah ku sejenak.

"Ray, umurmu berapa?" Aku berjalan mendekati Raya.

"Abang macam apa yang nggak tau umur adik satu-satu nya?" Raya memicingkan matanya. Menelisik wajahku dengan seksama.

"Jawab"

"Dua puluh."

"Kamu kuliah di Universitas Bakti Darma kan?"

"Iya abang Danu ku tersayang. Kenapa sih? Abang nggak lagi sensus mahasiswi mendadak kan?"

"Kenal Kania?"

"Kania? Enggak ada anak angkatanku yang namanya Kania"

"Maksud abang, Bintang Kania Cempaka. Kamu kenal?"

"Oh si Bintang yang cewek freak itu. Nggak kenal sih. Cuma tau aja. Seangkatan juga tau kalo dia itu anak paling freak se kampus."

"Freak?"

"Iya. Kemana-mana sendiri. Mojok di taman sendiri. Bahkan nih ya bang, kemarin Raya liat dia itu duduk di bangku taman belakang kampus sendirian sambil ngomong sendiri. Padahal kan taman belakang kampus itu sepi banget. Hampir nggak ada mahasiswa yang kesana. Eh tau nya dia kesana ngomong-ngomong sendiri, terus nangis. Apa coba namanya kalo nggak freak? Gila?"

Aku tertegun mendengar penjelasan Raya. Kamu kenapa Kania? Kamu dan segala kemisteriusanmu itu ada apa? Kenapa kamu menangis? Aku merasakan ribuan jarum menusuk jantungku. Sakit. Kenapa mendengar Kania menangis diriku jadi seperti ini?

"Bang? Bang Danu?" Raya mengibaskan tangannya di depan wajahku. Membuyarkan lamunan ku tentang Kania.

"Ah ya?"

"Abang kenapa sih? Aneh banget."

"Gak papa. Abang pergi dulu. Bilangin sama Bunda dan Ayah kalo mereka udah pulang dari pasar nanti ya. Assalamu'alaikum" aku berjalan tergesa menuju pintu. Tak ku hiraukan Raya yang memanggilku dari atas. Tujuanku satu. Pergi ke kampus, dan mencari Kania. Aku harus menemukan Kania dan bertanya mengapa ia menangis.

Kania pov

Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kampus. Tapi lihatlah aku. Aku bahkan sudah duduk rapi di kursi favoritku di ruangan ini. Bukan kursi yang terletak di depan meja dosen. Bukan. Kursi ini adalah kursi di pojok belakang. Di barisan kursi yang biasanya tak terisi.

Aku menatap jam tanganku sekali lagi. 06.45. Masih ada waktu dua jam sebelum perkuliahan dimulai. Jika kalian bertanya, untuk apa aku ada di kelas sepagi ini, jawabannya adalah aku sedang meyakinkan diriku untuk kembali hidup bersama dengan orang lain setelah kepergian Mas rizki.

Seminggu lalu, sepulangnya aku dari makam ibu, aku berjalan tak tentu arah. Di tengah kebingunganku, aku melihat seorang nenek yang membawa banyak dagangan sedang berteduh di sebuah halte. Aku menghampiri nenek itu, kemudian kami berbincang.

Nenek Rita. Ia adalah penjual kue basah keliling. Ia juga tinggal seorang diri di kota ini. Sama seperti ku. Ia menceritakan tentang anak-anaknya yang pergi merantau puluhan tahun silam, dan tidak juga kembali sampai sekarang. Ia juga menceritakan betapa miripnya aku dengan anak bungsunya yang bernama Atika. Aku tertegun mendengar cerita nenek. Atika? Nama ibu juga Atika.

Lama nenek Rita bercerita tentang anak-anaknya. Lalu, ia bertanya padaku dimana aku tinggal.

"Nak Bintang sendiri, tinggal dimana?" Nenek Rita bertanya sambil mengusap rambutku yang tertutup jilbab yang sudah basah.

"Saya tak tau nek."

"Maksudnya?"

"Tadi nya saya tinggal bersama dengan kakak saya di kontrakan kecil diujung jalan Rajawali. Tapi, tiga hari lalu datang orang-orang berbaju hitam ke rumah kami. Mereka memukuli kakak saya, saya.. saya..." tangisku kembali pecah. Ku tutup bibirku untuk menahannya. Tapi terlambat, nenek Rita sudah melihat air mataku.

"Ssttt. Sudah Nak Bintang, sudah. Jangan diterukan jika itu hanya akan menyakitimu." Nenek Rita masih mengelus punggungku. Ia berusaha untuk meredakan tangisku.

"Saya malah menuruti perintah kakak saya untuk pergi nek. Dia meminta saya untuk pergi mencari pertolongan. Tapi nenek tau? Saya malah lari dan terbangun tiga hari kemudian di tempat asing nek. Hiks. Saya pulang ke rumah kami. Dan mendapati berita jika kakak saya sudah meninggal. Dia meninggak nek. Dan saya tak sempat melihat jenazahnya. Mereka juga tidak memberitahu saya dimana makamnya. Adik macam apa saya ini nek?" Aku masih menangis.

"Nak Bintang. Dengarkan Nenek. Di dunia ini, semuanya itu semu. Tidak ada yang abadi. Rezeki, jodoh, dan kematian. Semua itu tidak ada yang tau melainkan Allah. Nak Bintang sendiri. Nenek juga. Mari Nak Bintang, tinggal bersama nenek di rumah nenek. Sudah lama nenek hidup sendiri sejak mendiang suami nenek meninggal"

"Tapi nek--"

"Stt. Tak apa. Ayo pulang. Hujan sudah reda. Mari kita tunggu pelangi indah sesudah ini, cucuku." Nenek Rita tersenyum padaku.



Senin, 26 Desember 2016

Denting WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang