Delapan

28 1 0
                                    

Kania pov

Bau minyak angin berhasil menyadarkanku. Aku bangun dan mendapati seorang wanita cantik sedang meletakkan botol minyak angin tepat di depan hidungku.

"Udah sadar? Buruan bangun. Terus pergi dari sini! Aku gak mau ya kalo sampe temen-temen aku liat kamu ada disini." Gadis itu berkata tanpa melihat wajahku, melainkan hanya menatapku sinis.

"Kamu siapa? Aku-- Aku dimana?"

"Gausah kebanyakan nanya! Kamu ada dirumah aku sekarang. Udah ah, aku pergi dulu. Capek ngurusin orang yang bisanya nyusahain orang lain." Gadis itu berjalan menuju pintu. Tepat ketika gadis itu hendak menyentuh gagang pintu, pintu kamar sudah terbuka lebih dulu.

"Mau kemana kamu dek?"

"Eh Bang Danu. Ini, Raya mau main sama temen. Itu si cewek nerd udah bangun kok tenang aja. Bye Bang Danu."

---------

"Kamu udah baikan?"

"Seperti yang kamu lihat."

"Ini. Aku bawakan kamu bubur. Dimakan dulu, nanti baru minum obatnya. Kata dokter kamu kebanyakan pikiran." Danu menyodorkan semangkuk bubur dan juga segelas air padaku. Namun, aku tak kunjung menyambut uluran tangannya.

"Kenapa?"

Aku diam. Tidak membalas perkataannya.

"Astaga! Bagaimana aku bisa lupa?" Tiba-tiba Danu bangkit dari duduknya dan menarik kursi dari meja belajar.

"Aku bisa makan sendiri" ujarku ketika melihat Danu menyodorkan sesuap bubur untukku.

"Kalau kamu bisa makan sendiri, pasti tadi kamu udah ambil mangkuk ini. Kenyataannya? Kamu nggak ambil kan? Aku ini pria yang cukup peka dengan perkodean wanita yang banyak ragamnya. Jadi kamu tenang saja." Danu masih tetap memaksaku untuk membuka mulut. Aku pun menyerah. Membiarkan sesuap bubur itu memasuki mulutku.

Aku makan dalam diam. Jujur, pikiranku saat ini sedang bingung dengan kembalinya Mas Ridwan, dan juga tingkah Danu yang begitu baik padaku.

"Kenapa?"

"Ya?"

"Kenapa Danu?" Ku lihat ia menghentikan kegiatan menyendok buburnya. Matanya menatap ku fokus. Raut bingung terlihat jelas di wajahnya.

"Kenapa apa? Ini. Minumlah dulu, Kania." Danu meletakkan mangkuk bubur yang masih tersisa setengah ke atas meja. Lalu diambilnya segelas air putih untuk diberikan padaku.

"Kenapa kamu melakukan ini?" Aku tidak menyambut kedua tangannya yang menyodorkan minum padaku.

Ku lihat ia menghembuskan nafas panjang. Genggaman nya pada gelas semakin erat.

"Melakukan apa maksudmu?"

"Semuanya. Mengapa kamu menolongku lagi? Padahal kamu tahu disana ada seseorang yang mengenalku. Mengapa kamu selalu muncul di hadapanku? Mengapa Danu?"

"Kamu serius ingin membahasnya sekarang?"

"Ya."

Danu meletakkan gelas di samping mangkuk. Matanya menatap tajam ke arahku. Jujur, hal itu membuatku sedikit khawatir.

"Semua itu ku lakukan karena aku ingin. Lagipula, siapa yang akan menolongmu tadi jika bukan aku?"

"Tadi ada--"

"Apa? Kamu berharap laki-laki itu yang menolongmu? Kenapa? Bukannya kamu justru ingin menghindari dia?"

"Tapi--"

"Tapi apa? Aku tidak bisa memahami pola pikir wanita. Mereka bilang tidak nyaman, tapi ingin kami para pria selalu ada disampingnya. Berkata baik-baik saja padahal sebaliknya. Ku kira kamu itu berbeda. Ternyata sama saja."

"Aku tak pernah berkata jika aku ingin Mas Ridwan selalu ada disampingku. Kamu benar jika aku ingin menghindarinya. Tapi ku rasa lebih baik di tolong Mas Ridwan daripada kamu."

"Lalu membiarkan kamu kembali terjebak pada nostalgia masa lalu? Dengar. Aku memang tidak tahu ada hubungan apa antara kamu dan dia. Tapi yang aku tahu, apapun jenis hubungan kalian dimasa lalu, bukankah itu jenis hubungan yang menyakitkan? Mungkin tidak menyakitkan bagi dia. Tapi bagi kamu? Aku bukan tipe pria yang bisa membiarkan seorang wanita menjemput sakit hati nya di depan wajahku sendiri. Aku bukan pria seperti itu, Kania."

"Kenapa kamu masih memanggilku Kania? Sudah ku katakan namaku itu Bintang."

"Bintang Kania Cempaka. Apa bedanya dipanggil Bintang dan dipanggil Kania?"

"Sudah. Cukup. Aku berterimakasih karena sudah mau menolongku lagi, Danu. Biarkan aku pergi. Dan tolong jangan pernah muncul dihadapanku lagi."

"Kamu belum sembuh, Kania."

"Aku pamit. Permisi."

Aku meninggalkan rumah Danu menuju rumah. Rumah kecil di tengah megahnya gedung-gedung perkantoran. Sebuah rumah di ujung jalan. Rumah yang baru aku tempati beberapa hari ini.

Aku mengernyitkan dahiku ketika melihat sebuah mobil sport warna hitam terparkir tepat di depan rumah. Ku lihat Nenek Rita sedang kedatangan tamu. Siapa dia? Tidak biasanya orang dari kalangan atas ada di tempat seperti ini.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam. Eh Bintang sudah pulang. Ada yang mencarimu, Nak."

Aku memandang nenek dengan tatapan heran. Siapa yang mencariku? Tak biasanya ada orang mencariku mengingat aku tidak memiliki teman yang punya mobil sebagus itu.

"Kania"

Oh tidak. Jangan dia. Aku mohon Tuhan. Jangan dia.

"Kania. Ini aku. Ridwan."

Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Sebisa mungkin ku tahan desakan dalam hati ku untuk berlari dan memeluk dia untuk menuntaskan rindu selama lima tahun yang selalu ku pendam.

"Ada apa?" Aku mati matian menahan suaraku agar tidak terdenger bergetar. Bagaimanapun juga, ia harus tahu jika kepergiannya tidak membawa dampak besar dalam hidupku. Kepergiannya hanya membawa sebagian hati yang sudah terlanjur aku percayakan padanya.

"Aku minta maaf."

"Untuk apa?"

"Aku minta maaf untuk semua rasa sakit dan kehilangan yang kamu alami. Aku minta maaf atas kepergianku yang tak pernah kamu harapkan. Aku minta maaf untuk segala keegoisanku untuk tetap pergi dan berharap kamu masih mau menanti. Aku minta maaf atas semuanya, Kania."

"Kamu tahu? Di hari kepergianmu, tanpa kamu minta aku sudah dengan sendiri nya memaafkan kamu. Jika kamu merasa ada yang berbeda dengan hubungan kita setelah kamu pergi, maka masalahnya bukan terletak pada maaf. Melainkan hati yang belum mau berdamai dengan masa lalu."

"Apakah kamu mau berdamai dengan aku? Masa lalu mu? Dan kita bisa bersama menatap masa lalu tanpa kesakitan dan rasa bersalah lagi."

"Sejak kepergianmu lima tahun lalu aku sudah berusaha untuk bisa berdamai dengan masa lalu. Tapi kamu tahu? Hanya ada sesak dalam hati ketika aku mengingat perginya kamu tanpa pamit waktu itu. Aku tahu itu sakit. Tapi aku masih memberimu kesempatan lewat penantianku. Dan bagiku, sudah cukup waktu itu aku memberimu kesempatan."

"Setiap orang butuh kesempatan kedua, Kania."

"Iya. Kamu benar. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan aku terlepas sejenak dari belenggu masa lalu bersama kamu. Kelak, jika aku merasa siap, kita bisa memandang masa itu dengan tawa. Dan kamu, bisa tidak kamu membuat aku cepat merasa siap?"

"Ya. Aku bisa. Jadi anggap saja ini jumpa pertama dua orang yang tak saling kenal. Namaku Ridwan Aditya."

Aku membalas uluran tangan Mas Ridwan dengan senyum. Ini memang bukan pertama kalinya kami berkenalan, tapi ini adalah satu langkah menuju kedewasaan. Berdamai dengan masa lalu itu sulit, jadi aku butuh seseorang untuk membuat hal itu terasa mudah.

Jumat, 6 Januari 2017

Denting WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang