Tertimpa durian runtuh, aduh sakit!
Genta terseok-seok membawa sekardus besar berisi panji-panji dan berbagai dekorasi untuk digantung di lapangan sekolah. Tangannya sudah keram sejak lima menit yang lalu, dan ia masih harus berjalan sejauh 200 meter lagi untuk mencapai ruang penyimpanan. Terkutuklah sekolah ini! rutuknya kesal setelah menyadari bahwa sekolahnya memang sangat luas. Bayangkan saja, di halaman belakang terdapat tanaman sawit yang kira-kira berjumlah seratus. Dan Genta selalu malas kalau guru pelajaran prakarya mengajak muridnya berkebun disana. Banyak nyamuknya!
"Ini tes terakhir, kalian harus melaksanakan program ini sebaik-baiknya, peserta diharapkan untuk bertanggung jawab pada program ini. Ketua panitia kalian pilih sendiri, saya tidak peduli mau pakai sistem voting atau sistem asal tunjuk. Ingatlah kalian yang masih bertahan sekarang adalah yang terbaik diantara yang baik," ucap Ketua Osis yang sebentar lagi jabatannya harus ia lepaskan dengan hormat.
Dan kali ini, Genta yang harus bertanggung jawab sepenuhnya. Tujuh puluh persen peserta yang masih bertahan memilihnya dibanding dengan Alan. Saingan terberatnya. Alan adalah siswa jenius yang punya kecepatan mengitung hampir sama dengan kecepatan cahaya. Percayalah. Ia dulunya adalah pengurus OSIS juga, berbanding terbalik dengannya, yang hanya wakil ketua ekskul photography.
Dan disinilah ia sekarang, membawa sekardus besar dekorasi yang sudah dikerjakan panitia dekorasi untuk di bawa ke ruang penyimpanan.
"Gue butuh sepatu roda," racaunya aneh. Genta menghela nafas lelah. Bayangkan saja hari sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam dan ia masih betah berada disekolah karena menunggui panitia dekorasi selesai.
Genta mengembuskan nafas lega setelah menurunkan bebannya, ia meraih kunci ruang penyimpanan dari kantongnya. Sebelum ia memutar kenop pintu, ia mendengar sebuah suara bedebum keras di belakangnya. Genta secepatnya menoleh dan mendapati, adik kelasnya yang sudah telungkup 'cantik'.
"Astaghfirullah. Enggak kenapa-napa dek?" tanya Genta sambil memastikan bahwa itu benar adik kelasnya dari badge yang ia pakai di lengan sebelah kanan.
"Enggak kok kak, hehe."
Genta tercenung sebentar, mendapati Adinta yang meringis sambil terkekeh canggung. "Batunya nakal kak, hehe," kata Adinta sambil terus berusaha agar tidak malu.
"Lo itu ada-ada aja, kesandung batu itu enggak lucu. Batu ini tuh besar, masa enggak lihat. Usahain jalan tu perhatiin sekitar. Ini pula udah jam tujuh masih disekolah, pulang dek bahaya," omelnya panjang lebar sambil membantu Adinta berdiri. Adinta hanya mengangguk mengiyakan.
"Lo kenapa masih disekolah?" tanya Genta lagi. Seketika wajah Adinta memerah, ia malu kalau harus memberi tahu yang sebenarnya. Terkutuklah ini perut, enggak bisa kompromi.
"Tadi tuh lagi nyatat tugas, eh enggak taunya udah malem kak," bohongnya. "Kak Genta juga kenapa masih disekolah?" tanya Adinta balik. Ia menatap pakaian laki-laki ini yang sudah tak teratur dan juga rambutnya yang sudah seperti kena badai topan.
Genta menunjuk kardus besar yang masih membeku di depan ruang penyimpanan. "Abis nungguin dekor selesai buat pensi kakak kelas lusa, lah kan gue lupa masukin." Dengan segera Genta berbalik dan memasukkan kardus tersebut ke dalam ruangan. Tak lama ia sudah keluar lalu kembali menguncinya.
"Btw, dek lo punya kembaran?" tanya Genta penasaran. Adinta memiringkan kepalanya bingung, lalu menggeleng dengan mantap.
"Enggak kak!"
"Lah berarti lo kemaren yang ketemu gue di gang itu, hayo ngaku!" kata Genta sambil menunjuk Adinta yang semakin kebingungan.
"Gang mana kak? Gue enggak kemana-mana kemarin," jawab Adinta sambil melupakan fakta bahwa kemarin ia tiba-tiba sudah berada di tengah jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERIMIS
Teen FictionAdinta ingin berhenti, dan Matthew mendukungnya. Tapi, dibalik itu semua Genta menolak karena sebuah keyakinan. Genta cinta 'dia'. Namun, kita tak pernah tahu apa yang direncanakan semesta. Sebuah cerita tentang gerimis yang bimbang. Ingin berhen...