Pria tampan pengecut sendiri
Genta membanting pintu kamar Papanya, amarahnya yang masih menggebu-gebu itu tampak akan segera mengakhiri kehidupan laki-laki paruhbaya tersebut. "KALI INI TAMA HARAP PAPA JANGAN BANGUN, TAMA MOHON PA."
Genta menjatuhkan dirinya tepat di sebelah ranjang Papanya. Semesta menyusun drama ini dengan apik, menyakiti dirinya sampai-sampai ia tak dapat lagi menangis. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan Mamanya dengan pacar gelapnya itu, bukan lagi sebuah foto yang ia dapat dari suruhannya seminggu yang lalu di gang mati tersebut.
Genta membenturkan kepalanya di ranjang Papanya, sungguh ia tak tahan lagi menyaksikan Papanya yang tampak rapuh ini. Seluruh sistem sarafnya memaksa menghentikan keinginanannya untuk mencabut semua kabel-kabel yang melilit tubuh Papanya. Genta serasa ingin mati saja, pergi bersama semua memori menyakitkan yang menghantuinya selama tiga tahun. Genta menjadi pengecut, yang menyembunyikan fakta sesungguhnya lalu membiarkan semua berjalan sesuai kodratnya. Itu hanya karena Genta takut, ia takut akan pandangan orang lain tentang keluarganya.
"Pa, Tama takut. Papa pasti kecewa kan sama Tama?" tanyanya.
Walaupun ia tahu tak akan ada jawaban dari Papanya.
• • •
Saat itu Genta berumur empat belas tahun, dengan tas ransel merah hitam masih berada di punggungnya, seragam yang sudah tak karuan, dan tak lupa senyum bahagianya.
Hari itu, adalah hari bahagianya. Mendapati ia menjuarai lomba photography sekota, menerima angka seratus di lembar ujian matematika serta menang tanding futsal dengan teman sekolahnya. Akan benar-benar sempurna, kalau saja hari itu orangtuanya tidak berulah.
Tepat saat ia memasuki gang rumahnya, orangtuanya sedang bertengkar hebat di depan pagar. Saling menunjuk, memekik, dan beralasan
Pada umur segitu, bukan berarti ia terlalu bodoh untuk tidak mengerti tentang akar permasalahannya, apalagi mereka terus mengucapkan 'selingkuhan', 'selingkuhan', dan 'selingkuhan'.
Genta ingin berlari dan merentangkan kedua tangannya, membuat jarak antara mereka. Tapi, kaki-kakinya bergetar hebat, sulit sekali melangkah. Genta mengedarkan pandangannya mencari bantuan, tapi tak satupun manusia yang ia lihat. Semuanya kerja, mungkin.
Sampai pada saat ia hanya melewatkan sepersekian detik perhatiannya pada kedua orangtuanya, Mamanya sudah mendorong Papanya tepat di depan sebuah sedan yang melaju kencang. Sedan itu segera berhenti, laki-laki berumur lima puluh tahunan segera keluar, wajahnya pias.
Namun, ada yang jauh lebih tekejut. Genta ternganga, matanya membulat sempurna, menatap darah yang sudah mengalir deras melewati rambut hitam tipis Papanya. Tak pernah ia bayangkan sebuah keputusannya untuk berdiri diam memikirkan nasib getar kakinya akan membawa ke suatu kejadian begitu mengerikan.
Jauh dari semua keinginannya untuk menghentikan amarah suaminya, ia justru melakukan tindakan paling gila, paling biadab yang pernah ia lakukan. Bukan ini yang ia inginkan, tapi emosi sudah mengubun-ubun tadi.
Helena segera berlari menuju suaminya, menyadari ia telah melakukan kesalahan, Helena menangis. Meraung minta tolong, memeluk tubuh hangat yang basah oleh darah.
Matanya tak sengaja bersitatap dengan manik hitam anaknya yang kini sedang terduduk lemas memandang nyalang dirinya.
Helena tahu, sejak hari itu ia tak pantas lagi dipanggil 'Mama'.
• • •
Genta berbaring telentang di ranjangnya, bunyi ting yang berasal dari ponselnya tak ia pedulikan. Ia terus saja menatap kosong langit-langit kamarnya.
Genta menggerakkan lidahnya kelangit-langit mulutnya, sehingga mengeluarkan bunyi 'tik-tok'. Seandainya ia bisa mengendalikan waktu, seperti ia bisa mengeluarkan bunyi jam, batin Genta.
Laki-laki 17 tahun tersebut mengambil ponselnya dari bawah bantal, memeriksa ada pesan penting, ternyata tidak. Genta menaikkan kedua alisnya melihat kamera slr nya yang tergeletak di atas meja belajar.
Menyadari ia butuh ketenangan, Genta bangun dari posisinya lalu meraih kamera beserta lensa yang mungkin akan ia butuhkan. Terakhir, ia meraih kunci motornya dan berjalan keluar.
Genta menghentikan motornya di taman dekat komplek rumahnya. Matanya langsung tertuju dengan gadis kecil menggenggam eskrim di tangan kanannya.
Tanpa sadar ia telah mengarahkan lensanya untuk fokus pada gadis kecil itu, lalu membidiknya. Tanpa sadar, Genta tersenyum. Ia begitu rindu momen tersebut, dimana yang ia tahu hanya eskrim, bermain, dan tidur.
Matanya kembali mencari objek yang sekiranya ingin ia abadikan di kameranya. Sampai pada satu memento, dimana lensanya fokus pada seseorang. Dahinya berkerut dalam, nafasnya menderu, amarahnya memuncak, dan senyum miringnya muncul.
"Dasar bajingan. "
KAMU SEDANG MEMBACA
GERIMIS
Teen FictionAdinta ingin berhenti, dan Matthew mendukungnya. Tapi, dibalik itu semua Genta menolak karena sebuah keyakinan. Genta cinta 'dia'. Namun, kita tak pernah tahu apa yang direncanakan semesta. Sebuah cerita tentang gerimis yang bimbang. Ingin berhen...