Tahan ditahan, jadi tertahan
"Jadi... lo udah berapa lama hidup dalam diri Adinta?"
Meika tercenung, senyum miring yang biasa ia tampakkan memudar. Matanya nyalang menatap Matthew, dulu ia sangat berharap sekali ada yang bertanya seperti ini padanya, tapi setelah itu semua terjadi pada satu momentum yang malah membuat ia merasa pusing, jawaban yang tela ia siapkan menguap.
Matthew menunggu gadis di depannya ini. Ia begitu mengharapkan jawaban, sampai-sampai ia tak menyadari bahwa badannya telah maju , seakan-akan apa yang akan di katakan Meika nanti hanya seperti cicitan burung.
"Lo..." Meika mulai berbicara, "enggak pantas untuk tahu." Meika merutuki dirinya sendiri. Dari sekian banyak jawaban yang telah ia siapkan selama sembilan tahun ini, kenapa malah kalimat ini yang keluar?
Matthew memundurkan tubuhnya, ia mengembuskan nafas pelan. "Ya lo benar, siapalah gue ya?" tanyanya retorik, ia terkekeh sendiri. Namun, bukan ini yang ia ingin dengar dari siapapun yang sekarang sedang menyadap tubuh adik kelasnya ini.
"Tapi, gue enggak mengharapkan jawaban seperti 'lo enggak perlu tahu'," kata Matthew menatap tajam Meika. Meika menggigit bibir bawahnya. "Sebegitu pengen tahunya lo?" tanyanya.
Matthew menyugar rambutnya kebelakang, poninya yang cukup panjang sedikit menghalangi pandangannya. "Kalau gue enggak mau, gue enggak bakal tanya."
Tawa Meika meledak. "Sarkas lo jelek banget." Matthew mengerutkan dahinya bingung, mencoba menebak pikiran serumit apa yang bersemayam dalam diri gadis depannya ini.
"Ternyata lo cukup pintar—siapa nama lo tadi?... ah Matt ya? Sejak kapan lo tahu gue dan Adinta itu kayak pohon yang cabangnya banyak?" tanya Meika, kali ini keadaan berbalik. Meika memajukan tubuhnya, menatap tepat pada manik hijau Matthew. Rambut Matthew yang coklat beterbangan seiring dengan tiupan kecil yang gadis itu berikan. Matthew tidak merasa risih, ia malah membalas tatapan Meika dengan sama tajamnya.
"Lo belum jawab pertanyaan gue."
Meika menarik nafas. "Sembilan tahun yang lalu, gue dilahirkan dari rasa keputusasannya, tapi dia malah takut sama gue. Buat apa gue dilahirin kalau ujung-ujungnya buat di buang? Gue serasa jadi bayi yang enggak diharapkan kelahirannya."
Matthew menurunkan tingkat ketajaman matanya. Gadis di depannya tampak sangat kecil, matanya menyendu seiring dengan jawaban yang keluar dari bibirnya. "Gue enggak berada pada posisi lo sekarang, jadi gue enggak bisa bilang gue paham perasaan lo. Tapi..." Matthew menghela napas, lalu melanjutkan ucapannya yang belum selesai. "Lo sekarang sedang merusak kehidupan seseorang, kehidupan lo."
Mata Meika membesar, kata-kata itu benar-benar menusuknya. Matthew tidak sepenuhnya benar namun juga tak sepenuhnya salah. Ia mengakui bahwa sekarang ia sedang berusaha merusak kehidupan Adinta yang telah menganggapnya penyakit mematikan. Karena itu, kalau ia penyakit mematikan maka membuat Adinta mati memang tugasnya. Tapi, entah mengapa kata-kata Matthew seakan membuat hatinya mencelos, apa maksudnya merusak kehidupannya?
Meika mencoba menelusuri apa maksud cowok di depannya ini dengan menatap matanya, mencari kebohongan di dalamnya. Mungkin saja cowok ini berusaha menghancurkan tekadnya dengan berbohong, siapa tahu?
"Gue emang lagi dalam tahap menghancurkan kehidupan Adinta dan enggak merusak diri sendiri. Lo harus tahu itu!"
Matthew rasanya ingin jungkir balik di tanah sekarang. Bagaimana bisa seorang cewek bisa membuatnya sefrustrasi ini. "Lo dan Adinta itu satu, kalian akan hancur bersamaan kalau yang satunya hilang."
"GUE ENGGAK BAKAL BIARIN ITU! DAN LO ENGGAK PERLU IKUT CAMPUR URUSAN GUE!" Meika berteriak sangat kencang, Matthew benar-benar menyulut amarah dalam dirinya. Ingin rasanya ia meninju rahangnya, mencabut rambutnya sampai ke akar. Tapi, lupakan saja, bagaimana pun Matthew itu laki-laki. Meika tidak menghiraukan berpasang mata menatap meja mereka dengan bingung, berbisik-bisik membuat kegaduhan. Ia juga tidak mengindahkan jus mangganya yang telah tumpah terkena kibasan tangannya.
"Gue enggak bermaksud ikut campur, tapi gue juga enggak tega ngelihat Adinta harus menanggung lo, bahkan membuatnya dalam bahaya di tengah jalan!" desis Matthew, ia menatap Meika tajam. Teringat dengannya Adinta yang linglung berdiri di tengah jalan, untung saja ia sigap menarik lengan Adinta, kalau tidak ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Meika tidak mengindahkan ucapan Matthew dan segera berjalan menjauh, meninggalkan Matthew yang masih menatap dingin kepergian Meika. Meika terus berjalan tanpa tahu apa yang ia tuju, ia benar-benar tak tahu denah sekolah. Di tembok dekat koridor kelas sepuluh, Meika menghentikan langkahnya, bersandar. Ia menengadah menahan air matanya. Kilas balik sembilan tahun yang lalu, berseliweran di otaknya.
Ia tak akan pernah melupakan kejadian itu, kejadian yang menjadi awal terlahirnya dirinya. Sembilan tahun yang lalu, ya sembilan tahun yang lalu ia harus menjadi wadah penampung rasa sakit, putus asa, kecewa yang tidak dapat di bendung gadis berumur tujuh tahun yang sekarang bertukar dengannya.
Tanpa sadar, Meika membiarkan air matanya turun. Menganak sungai di pipinya. Ia segera sadar dan menghapusnya. "Sial! Tenang Meika, lo pasti bisa ambil alih dan setelah itu nikmati kehidupan."
Tiba-tiba, sakit menyerang kepalanya, dadanya bergemuruh menghentak-hentak. Pandangannya kabur, Meika tahu ini saatnya harus kembali terkurung. "Ah! Kenapa gue enggak pernah punya banyak waktu, lo emang jahat Adinta!" Setelah itu semua gelap.
Derap langkah kaki menuju tempat dimana tubuh yang baru saja ditinggalkan Meika. "Dinta, bangun nak, ini bunda," kata Bundanya Adinta. "Yah, cepat bawa Dinta ke mobil." Sejurus kemudian tubuh itu telah berada dalam dekapan Ayahnya. Mereka segera membawa tubuh anaknya menjauh dari koridor tersebut.
Bunda Adinta terus menangis sepanjang perjalanan menuju rumah, ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Ayah Adinta menggenggam tangan istrinya, membagikan kekuatan yang sebenarnya tak cukup lagi untuk dirinya sendiri. "Kita harus kuat, Adinta pasti bisa bertahan."
Bunda Adinta mengangguk lemah. Ya, semoga saja.
• • •
Genta memarkirkan motornya di depan sebuah kafe, ia butuh mengisi perutnya yang sekarang keroncongan. Konsumsi panitia pensi tak cukup menghalau rasa laparnya yang telah mengaum minta diisi. Genta melepaskan helm fullfacenya dan meletakkannya di atas jok motor. Ia berjalan mendekati kafe yang nasi gorengnya adalah andalan mulut Genta.
Belum sampai pintu masuk kafe, Genta terpaksa berhenti. Di depannya pasangan yang sedang bersenda gurau itu membuatnya terpaku, amarahnya membludak. Ia lagi-lagi menyaksikan hal-hal yang semakin membuatnya sakit. Tak cukupkah mereka membuat ia tak berdaya?
Genta mengepalkan kedua tangannya, buku-buku jarinya menekan telapak tangannya bentuk manifestasi kemarahannya. Genta mengembuskan napas, mencoba menenangkan dirinya yang sudah bersiap-siap mengeluarkan lavanya. Genta sekarang dapat berpikir jernih, ia mengambil ponsel di saku jaket biru dongkernya, menekan aplikasi kamera dan mnedekatkannya ke kaca yang sekarang berseberangan dengan meja pasangan tersebut.
Tepat saat ibu jari Genta menekan tombol untuk mengabadikan momen itu, Helena menolehkan wajahnya. Matanya membelalak menatap Genta yang sedang memotretnya di luar sana. Tak ayal, ia segera melepaskan tautan Abdi yang notabene pacar gelapnya itu. "Kamu kena—" Helena memberikan isyarat dengan matanya. Abdi ikut-ikutan menoleh ke sebelah kiri dan mendapati Genta yang tersenyum miring sambil menggenggam ponsel di depan wajahnya.
Helena bangkit dari kursinya, begitupun dengan Genta yang segera berbalik menuju motornya. Helena berlari keluar, tapi Genta lebih cepat melaju menembus angin.
Helena ingin menangis sekarang, ia berjongkok di depan kafe. Ia merutuki dirinya sendiri, kali ini tepat saat ini ia kembali menggoreskan luka pada putra tunggalnya itu. Yang entah sampai kapan dapat memplesternya kembali.
• • •
Saling menahan hanyaakan membuat luka. Lepaskan, kalau tak mampu kuburkan.
Author note :
nyam.nyam.nyam.nyam.
dibaca, divote, dikomen.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERIMIS
Teen FictionAdinta ingin berhenti, dan Matthew mendukungnya. Tapi, dibalik itu semua Genta menolak karena sebuah keyakinan. Genta cinta 'dia'. Namun, kita tak pernah tahu apa yang direncanakan semesta. Sebuah cerita tentang gerimis yang bimbang. Ingin berhen...