l i m a

44 13 6
                                    

Analisis dengan Intuisi itu berbanding terbalik

"Aahh," Adinta tak sanggup lagi menahan teriakannya, terlebih sakitnya. Sumpah Adinta rasanya ingin mati saja. Sakitnya ini, sungguh tak tertahan! Mata Adinta nyalang mencari benda yang bisa ia gigit. Tapi, ini kamar mandi sekolah bukan kamar mandi kamarnya yang bergelantungan handuk-handuk kecil. Tak mungkin kan ia menggigit kloset kotor nan bau di depannya ini?

Adinta mengeluarkan ponselnya dengan terburu-buru. Menekan-nekannya dengan tangan gemetar, lalu meletakkannya di telinga kanannya. "Bun... bantu Dinta, bun."

Tangan Adinta meluncur jatuh ke sisi tubuhnya, ia bahkan tak sanggup untuk meletakkan tangannya tetap di telinga. Tubuhnya serasa terbakar, kepalanya sakit. Seperti ada orang yang menariknya kedalam, dan 'ia' dapat keluar. Bebas bersama apa yang bukan kodratnya.

• • •

Laki-laki kepala empat itu memijit pelipisnya pelan, mulutnya mengembuskan nafas secara terus menerus. Ia bingung dengan pikiran remaja di depannya ini. "Matthew...." Setelah lama terdiam, Pak Murnif akhirnya angkat bicara. Suaranya berat dan tegas. Matanya intens menatap Matthew.

"Saya sudah perhatikan kamu dari semester satu, laporan nilai kamu juga selalu saya cek setiap bulan..." laki-laki itu terdiam lagi barang dua detik. "Dan sama sekali tidak ada kenaikan."

"Kamu pasti sedah mafhum sekali sama situasi ini, karena saya juga selalu memanggil kamu setiap bulan."

Tuh tau. Matthew menatap sekeliling ruangan, mencoba mengalihkan dunianya dari mata hitam pekat milik guru BK di depannya ini. Yang seperti senang sekali memanggil Matthew ke ruang BK yang dinginnya ngalahin ruang multimedia, yang terkenal dengan banyak AC-nya, tapi cuma satu yang berfungsi itupun stopcontactnya naik turun kayak rollercoaster.

"Saya khawatir, kamu enggak bisa lolos SNMPTN tahun depan. Kamu tahukan sistemnya? Nilai rapor yang terus naik itu jadi salah satu kriteria paling mempengaruhi?" Pak Murnif bertanya. Matthew mengangguk saja.

"Jadi, apa solusi kamu buat nilai-nilai kamu ini Matthew Oddyez?"

Matthew terdiam, menatap datar bapak guru di depannya. "Saya enggak tahu pak, oh ya saya sama sekali tidak berminat dengan SNMPTN. Jadi lebih baik bapak nuntun siswa yang berpotensi saja. Daripada saya? Pusing sendiri nanti bapak."

Pak Murnif kembali memijit pelipisanya, kali ini dengan gesture yang menunjukkan bahwa ia gusar. "Saya memang berkewajiban menuntun siswa yang berpotensi Matthew. Tapi, saya juga punya tanggungjawab untuk membantu siswa seperti kamu."

"Saya tidak butuh bantuan bapak, kalaupun saya mau kuliah saya bisa ikut SBMPTN atau tes mandiri, SNMPTN bukan satu-satunya jalan yang harus saya tuju. Bapak tahu sendiri, akademik saya dibawah rata-rata, non akademik saya tidak pernah menciptakan apapun. Jadi untuk apa bapak masih urus saya?" Matthew menatap Pak Murnif tajam. Rasanya muak berada di ruangan ini berlama-lama.

"Sekali lagi saya tanya, apa solusi kamu?"

"Hidup tenang." Matthew berdiri dari bangkunya, berjalan keluar ruangan. Ia tidak mengindahkan tatapan kesal dari guru BK nya. Yang ia inginkan hanya keluar.

Matthew memperhatikan orang yang berlalu lalang, rata-rata kakak kelasnya yang berpartisipasi dalam pensi. Mereka menggunakan atribut penari, drama, dan banyak pertunjukkan lainnya. Mata Matthew tertuju pada Genta yang berjalan gontai. Kelihatan sekali bahwa sahabatnya itu lelah.

Genta mendongakkan kepalanya dan melihat Matthew yang berdiri tegak di depan ruang BK. Ia berjalan mendekati Matthew dan menepuk punggungnya. Genta mendecih kesal saat ia kembali menyadari bahwa tingginya hanya seleher Matthew. Sahabatnya ini tingginya tidak main-main. 185 cm.

GERIMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang