19 Feb, Minggu
Aku berjalan sendirian di koridor sekolah sambil mencoba menenangkan diri. Hanya ada 1 pintu saja yang menuju ke atap. Aku segera naik ke lantai 3. Tepat setelah menaiki tangga, 1 pintu itu ada di depanku.
Karena White sudah bolos dari pelajaran terakhir, aku tidak perlu khawatir untuk menunggunya.
Aku membuka pintunya perlahan beberapa senti agar tidak ada seorangpun yang mendengarnya. Meski tidak terlalu lebar, selama aku bisa melihatnya dan mendengar apa yang mereka bicarakan, itu sudah cukup.
Aku jongkok, sambil menahan keseimbanganku, dan mengintip melalui celah pintunya.
Jaraknya sekitar 3 atau 4 meter dari pintu, seorang laki-laki berdiri sambil memunggungiku. Punggung White menghalangi pandanganku, sehingga aku tidak bisa melihat gadis yang sedang bersama dengannya. Aku kagum dengannya, karena dia masih bisa membuatku kesal di saat-saat seperti ini.
"..."
Aku tidak bisa mendengar suara gadis itu, tapi aku yakin gadis itu mengatakan sesuatu.
"Bisakah kau mengucapkannya sekali lagi?" tanya White, "Aku tidak bisa mendengar suaramu. Mungkin karena kita sedang berada di atap jadi kurang terdengar!" teriak White masih memunggungiku.
Angin yang terasa lembut, meniup rambut putihnya sehingga membuatnya berantakan.
White memalingkan wajahnya ke arah kanan, karenanya aku bisa melihat ekspresinya meski hanya setengah saja. Menggerakan dagunya, dia tersenyum. Walaupun matanya melihat ke arah lain, aku tahu dia memberikan senyumnya kepadaku. Seperti biasa, senyumnya itu sangat mengganggu.
"SION ORSTER!" bentak seseorang dari belakangku.
Sambil menahan rasa terkejutku, aku membalikkan tubuhku untuk melihat siapa orang yang memanggilku. Mengikuti arah tangga, tatapanku tertuju ke arah bawah. Aku melihat seorang gadis dengan rambut hitamnya yang panjang berdiri di lantai di bawahku.
Stella Neila, Ketua Osis.
Aku tahu kalau Ketua Osis selalu pulang telat, tapi timing kemunculannya entah kenapa bisa sampai seburuk ini.
"..."
Sebelum Ketua Osis membuka mulutnya, aku menepuk kedua tanganku dan memohon kepadanya. Dengan mendekatkan jariku pada mulutku, aku memberinya tanda untuk diam.
Dengan suara pelan, aku membuka mulutku,"kali ini saja!" jariku masih dekat pada mulutku.
Ekspresi sinis dan bingungnya bercampur. Mulutnya terbuka sedikit, terlihat seperti orang yang ingin berbicara, tapi ragu-ragu. Aku tidak akan kaget jika dia sampai seperti itu karena tingkahku yang mencurigakan.
Aku tidak peduli lagi dengan yang namanya hukuman, tapi momen ini tidak boleh terlewatkan olehku. Jadi, aku memutuskan untuk melihat sampai akhir.
"Apa yang sedang kau lakukan, Sion?" ucapnya pelan sambil berjalan ke arahku menaiki tangga.
Aku merasa berterima kasih karena Stella sudah memelankan suaranya. Namun, dengan dirinya yang datang ke atas seperti ini, membuat masalahku semakin banyak. Aku ragu, kalau aku bisa menghentikannya.
"Sebenarnya..."
Sebelum aku bisa menjelaskannya, gadis yang berada di dekatku ini jongkok dan mendorong kepalaku. Melalui celahnya, Stella ikut mengintip.
Ugh... betapa mengganggunya gadis ini.
"Apa yang dilakukan Mikiya, di sana?"
"Aku juga ingin tahu. Jadi, minggirlah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Final Time
Misterio / Suspenso"Waktumu hanya kurang dari 1 bulan." Menyebut dirinya penyihir, dia datang dan mengatakan itu. Namun, siapa yang menyangka. Saat hari berganti, besok akan menjadi hari terakhirku. Bersama dengannya, akan kuubah takdir ini.