Cinta Pilihan Kedua

9 1 0
                                    

Ar, pilihanku sepertinya keliru.

Kalimat itu seharusnya sudah kulayangkan padamu sejak beberapa bulan silam. Aku lupa kapan tepatnya. Mungkin sekitar bulan Mei atau Juni.

Saat itu aku menemukan selarik puisi yang dibubuhi empat titik lepas bait terakhir. Ada huruf D di sana. Tertoreh pula sebuah nama yang bukan namaku, yang kemudian ditautkan di depan namanya. Menyatu menjelma akronim.

D . . .

Aku hanya tak sengaja membacanya, Ar. Anehnya, hatiku seakan teriris benda tajam. Sakit. Terluka. Menyayat. Hebatnya lagi, aku hanya bergeming. Lalu menangisi diriku. Berprasangka yang tidak-tidak. Terpuruk berhari-hari.

Satu-satunya hal yang tidak bisa aku lakukan adalah menodongnya dengan pertanyaan, seperti yang kulakukan sudah-sudah. Padahal bila aku memiliki sedikit saja keberanian bertanya, biasanya dia akan begitu antusias menanggapi. Sekadar tanyaku yang hanya berbaris akan dijawabnya berbaris-baris. Tanpa kupinta, akan dia jelaskan sejujur-jujurnya.

Tetapi tidak, Ar. Kali ini aku lebih memilih melampiaskan luapan hati dengan kekata tanpa suara. Sengaja merangkai nada tanpa ritme. Toh, sekalipun tanpa musik yang mengalun merdu, (setidaknya sampai sebelum kami berjarak) nyanyianku selalu mendarat sempurna di gendang telinganya.

Ini semacam aku sedang mengirimkan isyarat atau kode padanya dan aku begitu yakin pesan tersiratku telah diterimanya. Telah dilihatnya. Telah dibacanya. But you know, Ar? Dia sama sekali tidak memberi tanggap. Entah, karena hatinya yang tidak lagi peka, perasaanya yang sudah mati atau karena memang dia sengaja berlagak tidak tahu.

Atau... apa mungkin karena jarak kami yang sudah terlampau sedemikian jauh? Terpisah baru genap setahun, hingga pendengarannya pun tak mampu lagi mengenali suaraku . Padahal radarku turut kuaktifkan, hatiku ikut berteriak, memanggil. Kencang. Sedang yang dipanggil seolah enggan menoleh.

Seandainya ini bukan masalah hati, Ar. Aku sama sekali tidak peduli. Tetapi ini menyangkut hatiku dan hatinya. Ada hati yang terjaga dan ada hati yang terus saja bertahan meski ia sadar, hati yang lain mungkin telah atau sewaktu-waktu bisa saja berpaling. Ada hati yang akhirnya tersakiti dan ada hati yang tidak merasa telah menyakiti hati yang lain
.
Lalu aku harus bagaimana, Ar? Hatiku terlanjur terpaut pada hatinya.

Bukan. Ini bukan tentang si A. Ups! Kamu pasti mengira, sedari tadi aku sedang membincang tentang lelaki yang telah kulepaskan tiga tahun silam. Ingat ya Ar, kisahku dengan A sudah berakhir dan tidak menyisakan apa-apa kecuali kenangan usang yang usah dikenang berlarut-larut.

Aku hanya tidak ingin hidup di masa lalu karena itu aku tidak lagi mencintai kenangan. Bagiku A hanyalah masa lalu, sedangkan dia... dia adalah sosok yang telah menumbuhkan harapan baru dalam diriku. Betapa aku mendamba; dia yang akan menjadi masa depanku kelak.

Lantas sebenarnya hubungan apa yang sedang dijalin satu-satunya senior perempuan yang kamu akrabi ini dengan lelaki tanpa inisial- sebut saja begitu. Kamu mungkin akan bertanya-tanya seperti itu. Senior yang umurnya tepat setahun di bawahmu dan kamu panggil kakak ini adalah sosok muslimah yang tidak akan berpacaran. Tanggapanmu pasti demikian.

Tapi bagaimana bila benar, bagaimana bila aku memang telah menjalin hubungan tak halal alias pacaran dengan lelaki tak berinisial itu?

Dan kamu tetap tidak akan pernah percaya. Iya kan

Tentu saja aku bisa membaca reaksimu karena kamu telah cukup lama mengenaliku. Kita sudah sering berdiskusi. Bertukar pikir. Beradu argumen. Menyelaraskan pandangan. Menyepakati banyak hal. Tetapi pacaran bukan termasuk hal yang kita sepakati bersama. Kita bahkan tidak membuat janji agar sama-sama menjadi dua orang yang single. Sebelum akrab; kita justru telah lebih dulu berkomitmen dengan diri masing-masing. Di masa depan, tidak akan ada kata pacar dalam kamus hidup kita.

MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang