Satu

580 12 0
                                    

Waktu demi waktu berlalu, namun rasa-rasanya aku masih saja kesulitan untuk memulai menuliskan kisah ini. Di satu sisi, aku ingin sekali menceritakan semuanya tanpa ada batasan yang mengikat, menuangkan seluruh rinduku padanya. Namun di sisi yang lainnya, aku harus mampu menghargai kehadiran seseorang yang kini harus ku jaga baik-baik perasaannya. Memang, harus aku akui bahwa sebagian kisah dalam hidup kita memang hanya untuk dikenang dalam ingatan, bukan untuk diceritakan. Lagi-lagi, aku terombang ambing oleh perasaan gamang.

Mungkin ada baiknya aku memejamkan sejenak keresahan yang dialami oleh indra penglihatanku. Mencoba menembus dinding-dinding malam melalui ketenangan mata batin. Sebuah lagu manis dari Savage Garden sayup-sayup mengalun lembut dalam jarak pendegaranku. Dua atau tiga rumah dari tempat tinggal kami yang mungkin sedang memutarnya.

...

I want to stand with you on a montain,

I want to bathe with you in the sea,

I want to lay like this forever,

Until the sky falls down on me.

...

Ahh... lagu lawas era 90-an itu terlalu manis untuk diperdengarkan tengah malam seperti ini. Dan akhirnya, setelah menimang-nimang dengan diiringi oleh melodi lembut Truly Madly Deeply... jebol juga pertahananku. Baiklah, akan aku ceritakan. Kisah kasih ini berawal sejak lima belas tahun silam. Tepatnya, saat aku masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri favorit di bilangan Jakarta Selatan. Kala itu, aku yang sedang bahagia-bahagianya menggemban jabatan sebagai ketua liga tari (ekstrakurikuler paling goks!) sekolah kami, harus bertukar rasa menjadi sedih sesedih-sedihnya karena baru saja putus dengan Tama, pacar pertamaku. Tama itu lebih tua satu angkatan, dia adalah salah satu kakak kelas laki-laki paling hits pada jamannya. Karena selain tampan, pintar, dan lahir dari keluarga amat berkecukupan, ia juga merupakan atlit sepak bola nasional U-19. Oleh karena itu, berkat sumbangsihnya yang besar pada pencapaian prestasi non-akademik di sekolah, dia dianggap macam Tsubasa Ozora, layak menyandang gelar sebagai kapten tim sepak bola sekolah kami, dua tahun berturut-turut lamanya. Kebayang, kan? Bagaimana hancurnya perasaanku menghadapi patah hati perdana dengan makhluk titisan para Dewa? Dan pada akhirnya, untuk menghindari gunjingan-gunjingan dari para haters (dibaca: fans Tama garis keras) yang mulai merebak di sekolah, aku jadi lebih banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan sekolah, mengurung diriku sendiri dalam bacaan-bacaan yang menghibur.

"Runiiiii!!!" Raisa memanggilku dengan vokal teaternya. Bukan di lapangan, tapi di dalam perpustakaan. Sontak saja seluruh pasang mata yang sedang asik membaca buku-buku beralih menatapnya dengan tatapan melotot lagi sinis guna membungkam volume suaranya.

"Ehh, maap maap, silahkan dilanjutkan kembali bacanya, hehehe" dengan gaya khas cengengesannya. Ia pun mengambil tempat duduk persis di samping tempat dudukku.

"Ada apa? Serius amat nyari gue-nya." tanyaku pada Raisa.

"Tutup dulu dah bukunya. Di luar aja yuk, kagak enak gue di sini, ngomong harus bisik-bisik."

"Okee. Gue balikin bukunya dulu ke rak ya."

Aku dan Raisa berjalan ke luar perpustakaan dan menuju sekre liga tari, yang biasa aku dan teman-teman tari jadikan base camp sepulang sekolah. Saat-saat jam pelajaran sekolah seperti ini, biasanya di sana sepi. Jadi lebih leluasa saja untuk ngobrol-ngobrol santai tanpa harus takut terdengar banyak orang.

"Run, ada anak baru di sekolah ini. Udah tau belom? Pindahan dari Yogyakarta. Pintar katanya, Run! Namanya Narendra siapa gitu, pokoknya dipanggilnya Naren."

"Ohh, itu. Iya, gue udah denger kabar tentang anak baru itu kemarin di kanting Mang Ujang."

"Tapi udah liat belum orangnya?"

"Si Naren-naren itu?"

Raisa mengangguk.

"Belum. Kenapa gitu?"

"Wahh! Pokoknya lo harus liat sendiri deh. Soalnya susah dijabarin manisnya! Donat gula kesukaan kita yang dijual di kantin Mang Ujang aja kalah jauh manisnya!"

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya. Teman baikku yang satu ini memang suka asal ceplos saja kalau bicara.

"Jadi penasaran, Sa." timpalku.

"Yuk, kita pura-pura lewat depan kelasnya!" ajak Raisa dengan antusias.

"Tapi inikan masih jam istirahat, Sa."

"Justru itu! Kali aja dia masih malu-malu kucing mau jajan ke kantin, jadi diem aja di kelas."

"Pulangnya ajalah sekalian."

"Nungguin dia lewat depan gerbang sekolah maksudnya?"

Aku seketika menatpnya penuh curiga, "Lo ngebet banget sih pingin liat dia, suka lo yaaa sama anak baru?? Ahahahaha!" godaku pada Raisa.

"Kagaklah! Hati gue masih buat Brian –kakak kelas gebetan Raisa-. Cuma mau ngasih tau lo aja, lewat si Tama mah, Run!"

Mendengar nama Tama terucap, aku mendadak berhenti terpingkal-pingkal.

"Eeh... Maaf ya Run." ralat Raisa dengan wajah cemas, menyadari perubahan ekspresiku.

"Ahahahaha. Santai, Sa."

Raisa memang tergolong orang-orang yang tidak menyukai keberadaan Tama sejak awal. Bukan hanya karena sikap dingin Tama yang membuatnya jadi tampak begitu angkuh, namun lebih-lebih karena Raisa adalah satu-satunya teman yang tahu persis bagaimana cara Tama memutuskanku. Yakni hanya dengan pesan singkat yang dikirimkan melalui media telepon genggam.

One New Message

From: TAMA-gochi

Run, kita putus aja ya. Maaf.

Raisa bilang, dia murka sama jenis laki-laki pengecut yang bisa seenak-enaknya saja mengakhiri sebuah hubungan melalui cara yang dinilainya kurang ajar seperti itu. Ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang. Kisah di antara aku dan Tama memang hanya sepenggal kenangan di masa remaja. Masa-masa dimana aku belum mengenalnya. Menyadari keberadaannya. Keberadaan seorang anak baru bernama Narendra Abhipraya yang kelak semakin dikenal karena kebiasaannya menuntun Vespa butut ke sekolah. Vespa yang katanya sering mogok di tengah-tengah jalan.


*Kapten Tsubasa Ozora. Kartun anime Jepang yang terkenal karena mengangkat tema cerita tentang sepak bola.


DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang