Dua

334 12 0
                                    

Pagi ini, hujan turun rintik-rintik membasahi bumi tempatku berpijak. Deraian airnya seolah setia menemani langkahku menuju sekolah. Beginilah nasib anak sekolah yang tinggal di Jakarta, telat berangkat lima menit dari rumah saja, bisa terjebak dalam kemacetan ibu kota hingga berjam-jam lamanya. Perlu diingat, jamanku sekolah dulu, belum ada sistem android pada telepon genggam yang bisa memudahkan kita mengakses transportasi melalui media online. Jadi, keberuntungan hanya akan di dapat jika aku tidak sengaja bertemu dengan teman yang motornya lewat di depan kendaraan umum yang aku biasa naiki. Namun, karena hujan, aku terpaksa bersabar dalam kemacetan. Selepas turun, aku setengah berlari menuju sekolah. Jam menunjuk pukul tujuh pagi kurang empat menit. Itu berarti, kurang dari lima menit lagi gerbang sekolah akan ditutup dan dikunci. Anak-anak yang tidak berhasil mencapainya dengan tepat waktu, akan dianggap lalai dalam memenuhi poin pertama visi dan misi sekolah kami: disiplin. Dan setelah drama lari-larian menuju sekolah, akhirnya touch down!!!

Ya, begitulah perasaan kami yang berhasil lolos dari ancaman telat datang ke sekolah. Ibarat pemain baseball yang baru saja melakukan home run. Iya, home run. Itu loh, istilah dalam permainan base ball jika pemain pemukul (visiting team) bisa mengelilingi lapangan dengan sekali putar dan berakhir di home plate dengan selamat. Ahh sudahlah, lain kali saja aku berbicara mengenai permainan kesukaanku ini ya. Kembali lagi pada peristiwa gerbang sekolah, dengan nafas yang masih tersenggal-senggal, aku menyapa Babeh, panggilan akrab satpam penjaga pintu gerbang sekolah kami.

"Pagi, Beh."

"Pagi, neng Runi. Tumben amat datang jam segini."

"Telat bangun, Beh."

Babeh cekikikan. "Nafas dulu dah, sebelom naik lagi ke lantai tiga."

Lantai tiga?! Astagaaaaaa! Baru sadar! Kenapa jauh banget sih itu kelas!! Sekarang baru benar-benar terasa olehku, kenapa teman-teman sering kali mengeluhkan penempatan kelas dua di lantai tiga gedung baru sekolah kami. Seharusnya kan anak kelas satu yang ditaruh di lantai paling atas!

"Beh, gendong bisa kali Beh?"

"Enak aja gendong! Entar rematik kaki Babeh bisa kumat lagi. Telpon dong si Tama."

"Ngapain nelpon dia?"

"Lah? Minta gendong sama pacar." Canda Babeh.

"Udah putus Beh."

"Waduh seriusan?"

"Serius Beh."

"Jadi kagak enak nih Babeh. Salah ngomong ya? Kok bisa?"

"Ya bisalah, Beh. Dia soalnya lebih suka sama ubur-ubur."

"Walah! Tapi tenang aja Neng Runi, jodoh kagak kemana. Yang sabar, tetap semangat sekolah dan melakukan kegiatan positif. Putus cinta mah biasa, namanya juga dinamika kehidupan remaja."

"Asik Babeh bahasanya, dinamika kehidupan remaja."

"Yee... gini-gini kan Babeh juga pernah remaja. Bedanya kagak sampai sekolah SMA aja. Hehehe. Ya udah, Babeh keliling dulu ya Neng."

"Iya Beh. "

Dan selepas mengunci pintu gerbang, Babeh benar menjalankan tugasnya seperti biasa, keliling sekolah. Biasanya sih, untuk merapihkan parkiran motor yang mencang-mencong barisannya. Dan setelah nafasku jauh lebih teratur, aku hendak melanjutkan perjalananku mendaki anak tangga menuju kelas.

"Runi!! Runi!!"

Seperti ada yang manggil. Aku berpaling mencari arah datangnya sebuah suara yang memanggil namaku tersebut. Dari arah gerbang rupanya, sebuah tangan melambai-lambai dari balik jeruji pagar, kepalanya terhalang helm sehingga aku tidak bisa melihat jelas itu siapa. Aku pun kembali mendekat ke sana.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang