Enam

164 8 0
                                    

Esok malam harinya, kami menonton Bunda tampil di panggung Sendratari Ramayana. Berperan sebagai tokoh utama, Sinta. Sebagai ketua liga tari, aku memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk dapat menentukan arah berlajunya konsep pementasan kami. Pementasan Sendratari Ramayana yang dilakonkan oleh Bunda dan para penari lainnya itu sungguh membawa inspirasi tersendiri bagiku. Sebuah gerak tari yang menggabungkan unsur drama tanpa dialog di dalamnya. Di dalam gedung pertunjukan (tertutup) Trimurti, kami mendengar kisah sejarah mengenai Sendratari Ramayana yang dituturkan oleh Ibunda Naren selesai pementasan.

Sendratari Ramayana berdiri sejak tahun 1961, memang ditujukan sebagai seni penutur cerita pahlawan melalui gerak tubuh dan ekspresi yang kuat sebgai pengganti dialog. Tujuannya agar tari dapat turut menjadi bahasa universal dunia. Melalui tari, para penonton dengan latar budaya dan bahasa yang berbeda pun tetap dapat terkoneksi dan memahami alur kisah. Kisah Sendratari Ramayana biasa digelar setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu pada malam hari sekitar pukul tujuh malam. Di panggung ini, digulirkan sebuah cerita mengenai perjalanan Rama, sang putra mahkota dari negara Ayodya, dalam menyelamatkan istrinya Dewi Sinta, yang diculik oleh Rahwana, sang Raja dari negara Alengka.

Jujur saja, aku tertarik dengan konsep pementasan Sendratari Ramayana. Adegan demi adegan yang digulirkan dalam usaha menyelamatkan Sinta. Terjadi perang antara dua kubu bala tentara. Semua digambarkan melalui gerak tari.

Dan melintas dalam benakku untuk membuat konsep kisah Mahabharata dalam kompetisi tari kami tersebut. Namun,yang menjadi kendala adalah, kami hanya berenam. Sementara kisah epos Mahabharata adalah sebuah kisah besar yang juga melibatkan banyak penokohan di dalamnya. Sebut saja adegan terakhir ketika bala tentara Pandawa (lima putra Pandu dan sekutunya, dipimpin oleh Yudhistra) yang harus menghadapi perang Bharatayudha di padang Kurukshetra melawan bala tentara dari pihak sepupunya sendiri, yaitu Kaurawa (seratus putra Dritarastra dan sekutunya yang dipimpin oleh Duryodhana). Belum lagi, banyaknya tokoh pria yang ada di dalamnya.

Namun, karena itulah Bunda Naren ada untuk kami. Bunda membantu mencari jalan keluar dan merumuskan konsep untuk kompetisi kami. Bunda juga mengingatkan bahwa sebentar lagi sekolah kami akan kedatangan murid-murid kelas satu yang baru, biasanya sekolah-sekolah, termasuk sekolah kami, selalu mengadakan demo ekskul di hari terakhir Masa Orientasi Siswa (MOS). Kesempatan kami untuk memperoleh anggota baru yang banyak adalah di sana. Kesempatan untuk langsung melibatkan mereka dalam kompetisi tari internasional. Sontak saja ide Bunda kami setujui bersama tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Oleh karena itu, yang semula kami hanya berencana untuk berlibur selama seminggu diperpanjang menjadi sepuluh hari, semua demi berlatih tari yang diajarkan langsung oleh Bunda. Nantinya tari ini yang akan kami pergunakan untuk demo ekskul di sekolah. Sementara itu, Naren sibuk mencari tiket kereta baru untuk kami bertujuh pulang ke Jakarta. Naren juga yang mengambil alih pekerjaan rumah Bunda, bahkan sampai mencuci pakaian, serta memasak. Dia itu seperti keajaiban bagiku. Selalu saja ada hal-hal yang membuatnya menjadi istimewa dalam kaca mata pandangku, pun terlepas aku sedang dimabuk asmara remaja.

Mengenai hubunganku dengan Naren kala itu, aku belum memberitahunya pada siapapun. Hanya kami berdua saja yang tahu.

***

Tanpa terasa, sembilan hari telah berlalu dengan sangat cepat. Rasanya sih masih ingin memperpanjang waktu liburan kami, hanya saja kasihan kan Naren kalau harus bolak-balik ke stasiun untuk mencari jadwal tiket pulang baru untuk kami. Akhirnya malam terakhir kami berada di Jogja diisi dengan kegiatan packing, atau lazim disebut berkemas barang-barang. Sungguh senang sekali dan sangat berterima kasih, karena masing-masing dari kami dibekali oleh-oleh yang sangat banyak oleh Bunda, Pakde Rosidin, dan beberapa sesepuh lainnya yang sering bantu-bantu Bunda di sanggar tari. Semua sudah rapih dimasukkan dalam kerdus mie instant, berjumlah tujuh. Masing-masing dari kami membawa pulang satu dus. Isinya sama semua, biar kalau tertukar satu sama lain tidak masalah.

Setelah selesai packing barang, kami melakukan makan malam lesehan bersama seluruh anak-anak sanggar tari Bunda. Sungguh nikmat rasanya makan dengan menggunakan daun pisang yang dijuntai panjang berderet. Harusnya setelah itu kami beristirahat karena kereta besok berangkat pagi jam delapan, namun rupanya tidak ada yang mengantuk. Aneh. Ingin rasanya terus mengobrol dengan orang-orang di sanggar, berbagi kisah dan gelak tawa. Hendak merajut memori sebanyak-banyaknya. Tau-tau berkumandang adzan subuh, dan kami yang beragama Islam melakukan sembayang pagi bersama, dengan Pakde Rosidin yang menjadi imamnya. Setelah itu kami mulai bersiap-siap diri untuk pulang kembali ke ibu kota, kembali ke rumah kami masing-masing.

Ternyata suasana kepulangan kami terasa begitu haru. Bunda terus saja menangis melepas kembali putra kesayangannya, satu-satunya. Kami diantar menggunakan mobil bak tertutup milik anak Pakde Rosidin, Mas Herman, sampai dengan Stasiun Lempuyangan dan kembali menuju Stasiun Pasar Senin. Beberapa jam kemudian kami tiba di Jakarta. Ayah telah menungguku bersama Aruna di ruang tunggu kedatangan. Karena orang tua teman-temanku ada yang telat jemput, akhirnya ayah mengajak kami semua untuk isi perut di warung pecel ayam dan lele di sekitar stasiun kereta. Kala itu, adikku Aruna masih duduk di bangku sekolah dasar kelas lima. Dialah yang kelak memegang peran penting dalam perjalanan hidupku selanjutnya.

Makanmalam di warung tenda itu mengakhiri perjalanan liburan kami selama sepuluhhari di Jogjakarta. Menyisakan kenangan berharga dan menjadi kunci pembuka gerbangbaru bagi kisah antara aku dan Naren. 

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang