1

954 82 31
                                    

"Ini pasti-" perempuan itu berusaha menebak seseorang yang sedang menutup matanya.

Tak butuh waktu lama untuk menebak. "Lepas, Lang."

Laki-laki itu duduk di samping Athaya dan meminum jus milik Athaya.

"Lang, itu jus-"

"Anjir, kampret!" Umpat Elang dan terpaksa menelan jus tersebut.

"Jus tomat," kata Athaya yang melanjutkan ucapannya.

Elang memang benci tomat. Mau dibuat sup, dibuat jus, atau dibuat kue pun tetap saja ia benci tomat.

"Aku pikir ini jus stroberi loh," kata Elang sambil menggelengkan kepalanya.

"Kamu sih nggak nanya dulu sama aku."

"Ngomong-ngomong, Ay. Kok kamu bisa nebak itu aku? Padahal kan aku pake parfume baru loh."

"Emangnya siapa lagi coba yang suka nutupin mata aku pake tangan. Udah pasti cuma kamu, Lang."

Elang mengacak poni Athaya, membuat Athaya menjitak kepala Elang.

"Woy, woy! Udah kali pacarannya," sindir seseorang yang baru saja datang.

Athaya terdiam, kembali menyeruput jus tomat.

Sementara Elang memukul pelan lengan Bagas. "Jangan ngomong gitu, Gas. Lihat tuh, Athaya jadi salah tingkah gitu."

Athaya tersedak. Elang membantu menepuk punggung Athaya. "Pelan-pelan, Ay."

"Enak aja aku salah tingkah. Aku tuh diam bukan karena salah tingkah. Tapi males aja buat ngerespon. Kata orang, kalau kita nggak ngerasa ngelakuin hal yang dibilang sama orang lain, kita nggak usah ngerespon. Kalem aja," jelas Athaya sambil mengaduk jus tomatnya.

"Menurut kamus gue, kalau orang diem itu berarti dia salah tingkah." Bagas tak mau kalah.

"Udah deh jangan mulai berantem lagi. Kalian berdua tuh kayaknya jodoh deh," kata Elang sambil melirik Athaya dan Bagas secara bergantian.

Athaya dan Bagas saling menatap. Kemudian menampilkan ekspresi tak suka."Ogah!"

"Eh, Lang," panggil Bagas. "hubungan lo sama Kamila masih lanjut?"

"Udah putus kali, Gas. Jangan bikin Elang galau lagi deh," jawab Athaya sambil melirik Elang.

"Sorry. Terus sekarang lo sama siapa? Biasanya udah nyari yang baru."

"Gue lagi menikmati masa kejombloan gue," jawab Elang enteng. "Lagi mau manja sama Athaya aja," lanjutnya sambil merangkul Athaya.

Bagas menatap Athaya. Seperti mengucapkan sesuatu melalui tatapannya.

"Gini, Lang. Mungkin jodoh lo itu orang terdekat lo."

"Misalnya siapa?" tanya Elang.

"Misalnya, Athaya."

Kemudian Elang menatap Athaya. Yang dilirik hanya mengerutkan dahinya. Lebih tepatnya, Athaya bingung dengan arti tatapan Elang. Antara laki-laki itu setuju atau tidak dengan ucapan Bagas. Disisi lain, gadis itu berusaha menetralkan detak jantungnya. Tangannya tak sabar ingin meninju mulut Bagas yang asal bicara.

"Bagas udah gila," bisik Elang yang membuat Athaya mengangguk setuju dan menghela napas lega.

"Ye, malah main tatap-tatapan. Kapan pesen makanannya?"

Elang melirik jam tangannya. "Lo aja berdua yang makan. Gue mau ke ruang osis dulu."

Selepas Elang meninggalkan kantin. Athaya yakin, sebentar lagi laki-laki di depannya akan mengoceh dan menjelaskan berbagai macam adegan drama.

Dan dugannya tepat pada sasaran. Athaya memilih untuk diam, mengaduk jus tomat sambil bersenandung.

"Ay, ngerti nggak?" tanya Bagas dan menyingkirkan jus tomat dari hadapan Athaya.

"Udahlah, jangan kebanyakan drama, ngatur strategi ini, ngatur strategi itu, percuma."

"Lo nyerah? Setelah tiga tahun jadi sang penunggu, lo nyerah gitu aja?"

"Bukan nyerah, Gas. Bukan. Gue cuma apa ya, gue mau semua berjalan apa adanya. Gue mau dia ngerti dengan sendirinya."

"Susah, Ay," kata Bagas sambil mengusap wajahnya. "gue punya cara cepat biar dia sadar."

"Apa?"

"Lo tembak dia duluan."

Athaya menjitak kepala Bagas berkali-kali. Membuat Bagas meringis kesakitan.

"Ay," panggil Bagas.

Athaya diam. Masih dalam posisi bibir yang cemberut.

"Ay," panggil Bagas lagi. "Nunggu itu nggak enak. Seharusnya lo cari laki-laki yang mau berjuang bareng sama lo."

Athaya menghela napas. "Jangan mulai lagi, Gas. Jangan buat semuanya jadi makin sulit. Gue udah capek, tolong jangan egois."

"Apa bedanya sama lo, Ay? Dulu, gue pernah nembak lo dan lo bilang 'gue bakalan berusaha buat suka sama lo, Gas' gue ngerasa kalau gue punya harapan. Kenyataannya? Basi!"

"Gas, perasaan orang bisa berubah. Seharusnya lo ngerti itu."

"Terus, kenapa perasaan lo ke Elang nggak pernah berubah, Ay? Kenapa?"

"Gue juga nggak tau, Gas. Gue udah berusaha buat nyerah, buat ngelupain perasaan itu, buat ngejauh dari Elang. Tapi nggak bisa."

"Apa pernah gue maksa lo buat nyerah? Apa pernah gue benci sama lo? Apa pernah gue nyuruh lo buat ngelupain perasaan lo ke Elang dan lihat perasaan gue?" Pertanyaan bertubi-tubi dari Bagas hanya dijawab dengan gelengan kepala.

Kedua mata Athaya sudah berkaca-kaca. Perasaannya semakin bimbang. Ia tahu bahwa langkahnya memang salah. Memberi harapan pada Bagas namun jatuh cinta pada Elang.

"Ini yang terakhir kalinya gue bahas hal ini. Gue udah nyerah," kata Bagas dan berdiri dari bangku kantin.

Athaya ikut berdiri dan menahan lengan Bagas.

"Gas," panggil Athaya sambil terisak.

"Gue pamit, Ay," lirih Bagas dan melepaskan tangan Athaya dari lengannya.

Semakin jauh Bagas melangkah, semakin besar rasa bersalah pada diri Athaya.

Seharusnya Athaya memberi kesempatan pada Bagas. Seharusnya Athaya melupakan perasaanya pada Elang. Kenyatannya, Athaya tak bisa melakukan hal tersebut.

Athaya terlalu jauh masuk ke dalam dunia Elang. Athaya terlalu jauh untuk jatuh cinta pada Elang.

Sang Penunggu [5/5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang