3

422 64 2
                                    

Suasana di florist Amanda terlihat ramai oleh anak remaja. Mungkin karena besok adalah hari ibu.

"Manda," panggil Athaya sambil menepuk pundak Amanda.

"Mau beli bunga juga, Ay?"

Athaya menggelengkan kepalanya. "Kado buat hari ibu udah disiapin sama kakak. Tujuan aku ke sini mau ketemu sama kamu."

Amanda mengambil satu buket bunga mawar dan menyerahkan pada pembeli.

"Tunggu sebentar ya. Aku layanin pembeli dulu. Kamu duduk di sana aja," kata Amanda. Jari telunjuknya menunjuk bangku putih di dekat jendela.

Suasana mulai sunyi. Satu per satu pembeli pulang. Amanda membawa dua cangkir teh untuk menemani obrolan mereka.

"Maaf nunggu lama," kata Amanda tak enak hati.

"Santai aja, udah biasa nunggu. Apalagi kalau janjian jalan sama Elang. Janjiannya jam sepuluh. Eh dateng ke rumah malah jam dua belas. Ngebetein."

"Diminum dulu tehnya. Nanti baru dilanjutin lagi ceritanya. Takut dingin," kata Amanda memberitahu.

Athaya menikmati teh buatan Amanda.

"Rasanya pas. Aku jadi ingat waktu pertama kali buat teh. Rasanya tuh tawar. Pas kedua kalinya nyoba, rasanya malah kemanisan. Terus pernah salah ngambil. Waktu itu aku ngambil garam. Dan tebak siapa yang minum teh asin itu?"

Amanda mengerutkan dahinya, "Elang?" Tebak Amanda.

"Nah! tepat banget. Dia tuh sampai bohong tau nggak sama aku. Waktu aku tanya gimana rasa teh percobaan aku yang ketiga kalinya. Dia jawab 'manis. Pas banget. Hebat!' Aku tuh udah seneng banget yaampun. Akhirnya aku bisa buat teh.

"Aku kan penasaran ya sama teh buatan aku. Terus aku mau nyobain teh yang Elang minum. Tiba-tiba ditahan sama Elang terus dia minum teh itu sampai habis. Nggak berapa lama pembantu aku dateng kan, aku nanya 'abis darimana?' Dijawab sama pembantu aku 'abis beli gula, Aya' disitu aku langsung ketawa ngeliat ekspresi Elang yang keasinan. Kebayang nggak sih minum teh asin? Sumpah ya, Elang tuh the best banget! Juara pokoknya!"

"Kalian udah lama sahabatan ya?"

Athaya mengangguk. "Kita sempet tetanggaan juga. Cuma waktu kelas enam SD dia pindah gitu. Lumayan jauh sih. Pas SMA ketemu lagi. Bosen. Tapi ya, kalau jauh malah kangen."

Amanda memainkan jarinya. Fokusnya mulai terbagi, antara mendengarkan cerita Athaya dan membayangkan kembali kejadian kemarin.

"Manda," panggil Athaya.

"Ah, iya?"

"Kok malah bengong sih. Aku tuh lagi cerita tau."

Amanda menyengir. "Maaf, Ay. Aku lagi ngebayangin kejadian kemarin."

"Yang sama Elang?"

Amanda mengangguk malu. "Dia lucu."

"Dia emang gitu. Perhatian, baik, ramah."

"Ke semua perempuan?" tanya Amanda sedikit kecewa.

"Sama laki-laki juga kayak gitu kok. Dia care bukan berarti modus atau tebar pesona gitu. Emang sifat aslinya kayak gitu. Nggak salah kan kalau dia baik ke semua orang? Jangan cemburu gitu, ah," goda Athaya dan mencubit hidung Amanda.

"Aku nggak cemburu, Aya," elak Amanda sambil menggelengkan kepalanya. "Tadi kamu mau ngomong apa?"

"Oh iya, sampe lupa. Gini, kamu ditanyain sama Elang. Besok jadi ikut naik sepeda bareng?"

Amanda menghela napas. "Boleh sih. Tapi sepeda aku rusak."

"Tenang aja, nanti diboncengin sama Elang. Sepeda dia ada jok belakangnya kok."

Senyum Amanda mengembang. "Elang nggak keberatan?"

"Santai aja sama dia. Oh iya, Elang minta nomor telepon kamu."

"Handphone aku ada di rumah. Kebetulan aku nggak hapal."

"Kalau telepon di sini kamu hafal?"

"Hapal. Sebentar ya, aku catat dulu."

-------

"Mana dulu bayarannya?" tanya Athaya. Tangannya memegang erat kertas yang tertulis nomor telepon florist Amanda.

Elang berusaha mengambil kertas tersebut secara paksa.

"Aya, biasanya juga nggak pake bayaran."

"Susah loh dapetin nomor telepon Manda."

"Ayolah, kasih ke aku."

"Bayarannya dulu."

Elang duduk di pinggir tempat tidurnya. Melipat kedua tangannya di depan dada.

"Yah, gitu aja marah," goda Athaya dan duduk di samping Elang.

"Nih, khusus sahabat tercinta gratis. Aku baik kan. Yaiyalah, kurang baik apa coba," kata Athaya sambil menyerahkan kertas pada Elang.

Elang masih diam. Tak melirik atau berniat mengambil kertas yang disodorkan Athaya.

"Mau nggak? Kalau nggak mau aku robek aja nih."

"Eh iya iya, jangan dong. Nanti nggak bisa pedekate."

"Itu nomor telepon florist. Bukan nomor telepon pribadinya."

Elang berhenti mengetik nomor telepon. Ia baru sadar jika itu telepon rumah.

"Ay, kan aku bilang mintain-

"Jangan bawel deh. Kebiasaan banget, kalau nggak sesuai rencana pasti marah. Dengerin dulu penjelasan aku. HP-nya di rumah. Dia nggak hafal nomornya."

Elang hanya ber-oh panjang dan kembali mengetik nomor telepon florist Amanda.

"Udah ya, aku pulang. Udah mau sore nih, belum mandi. Panas."

"Besok dia ikut kan?"

"Iya, dia ikut."

"Kamu juga ikut?"

Athaya memutar matanya. "Liat besok."

------

Elang berusaha membangunkan Athaya. Aneh. Biasanya Athaya selalu bangun pagi.

"Ay, bangun. Udah jam enam loh. Aku janji sama Manda sampai sana jam enam."

Athaya membuka kedua matanya. Masih dalam posisi tidur, wajahnya sengaja ditutup oleh selimut.

"Aku nggak ikut deh. Nggak enak badan."

"Kamu sakit? Kalau sakit, aku batalin aja."

"Nggak usah. Jangan berlebihan deh. Udah sana jalan, kasihan Manda nungguin kamu."

"Yaudah. Aku jalan ya, Ay. Semoga cepat sembuh."

"Hmm."

Setelah pintu ditutup oleh Elang, Athaya langsung bangun dari tidurnya dan berdiri di depan jendela kamarnya. Menatap Elang yang sedang mengayuh sepeda.

Pada akhirnya, ia kembali menunggu. Menunggu waktu kembali seperti semula. Dimana hanya ada dia dan Elang yang menghabiskan waktu bersepeda berdua.

Sang Penunggu [5/5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang