AWAL

32 1 0
                                    

Masih saja, meski nyatanya negara ini telah di akui kedaulatannya tak bisa di pungkiri bahwa mencari kerja tak berkorelasi dengan kemerdekaan negara ini. Seberapa besarpun APBN kita, atau seberapa besarpun omset hasil penjualan pulau tak bisa menyelaraskan ketersediaan lapangan kerja. Selayaknya, sebagai manusia bentuk protes yang relevan dengan penderitaan hidup adalah meminta keadilan pada petinggi.

Egois memang

Namun, buat apa kita membayar pajak jika pada akhirnya kita terlantarkan, kekurangan lapangan pekerjaan dan tak dipantaskan sebagai rakyat yang beridealisme terpandang.

Dunia memang tak seelok pengibaratan. Segregasi kehidupan baru ku tahu itu fakta. Padahal sewaktu SMK aku mengejek negara tetangga yang masih menganut sistem kasta. Mengategorikan layaknya surga dan neraka. Inilah yang terus menciderai citra sebuah negara ; Diskriminasi.

Aku sudah berjalan puluhan kilometer dengan sepatu yang nyaris menganga bagian depannya karena tadi pagi aku lupa mengelemnya. Ditanganku masih tergenggam map coklat berisi ijazah SMK dan SKCK serta tas selempang yang aku pinjam dari temanku di Kutoarjo. Kalau saja aku tidak ingat pesan Ibuku ;

Sing temua yo ndo, sing sabar. Gusti Allah wis ngatur

Mungkin aku akan kembali ke kampung kemudian memilih kerja serabutan porsi laki-laki yang akan membuat tanganku melepuh, apapun itu yang penting halal.

Namun, faktanya aku masih disini.

Di Jakarta. Tempat bermuaranya orang berjas, pemilik ribuan properti yang harga per unitnya hampir melebihi harga tanah satu desa, sentral ekonomi Indonesia, dan banyak diskripsi yang mungkin jika di jabarkan akan memakan waktu satu tahun. Kenyataan paling tragis dari kota ini adalah bahwa aktivitas perekonomian tak menjamin terekrutnya para pencari pekerjaan yang berijazah minimal. Dan, aku adalah korban dari ketragisan negara ini.

Aku menepi ke arah kursi-kursi besi yang tersedia di halte bus. Sambil menunggu SMS dari Mba Tri aku duduk di deretan kursi halte, mengistirahatkan kakiku yang rasanya sudah kaku karena terlalu lama jalan kaki. Mba Tri jauh-jauh hari memang sudah berpesan padaku untuk tidak terlalu berharap mendapatkan pekerjaan tanpa adanya relasi, lebih baik menunggu informasi darinya. Meski begitu, tak ayal aku coba mencarinya sendiri sembari menunggu kabar dari Mba Tri mengenai pekerjaan yang ia janjikan.

Aku merogoh tas selempangku ; beringsut untuk mengambil ponsel rongsokan yang serinya sudah tidak akan pernah tersedia seluruh toko handphone kebanyakan.

1 PESAN DI TERIMA

Mba Tri

Mit, Mba udh dpt kbr. Km bsk bs lnsng intrviw d tmpt majkan ku.

Aku membelalakan mataku ketika mendapati pesan dari Mba Tri. Ku fikir ini akan menjadi penantian panjang yang membosankan serta merepotkan orang lain. Padahal sebelumnya aku nyaris pesimis mengingat sudah empat hari mencari pekerjaan di Jakarta seorang diri dan hasilnya selalu nihil dengan berbagai penolakan yang kadang membuat aku muak.

Aku membalas pesan dari Mba Tri

Serius mba? Mba lagi di mana? Aku jalan pulang ya mba.

Aku bangkit dari kursi-kursi besi. Ada perasaan bahagia yang langsung mengalahkan pegalnya kaki juga sakit hati karena berkali-kali di tolak di berbagai perusahaan maupun CV. Sambil berjalan pulang aku mengetik SMS kepada Mas Anto, kakaku ; mengabarinya kalau aku akan interview besok.

[][][]


Mba Tri sedang mengaduk nasi di magicom sementara aku membereskan berkas-berkas yang akan aku bawa untuk Interview.

"Majikanku emang orangnya baik banget, Mit" ujar mba Tri dengan mata yant tidak teralihkan dari nasi yang sedang diaduknya sementara aku masih sibuk dengan kumpulan fotocopy-an tambahan yang akan aku bawa besok.

"Yang masih aku fikirin itu kenapa aku harus Interview di perusahaannya, padahal aku kira kalau aku bakal jadi asisten rumah tangga kayak kamu dirumahnya" Aku menatap Mba Tri curiga sementara Mba Tri hanya mengedikan bahunya.

Mba Tri berjalan kearahku dan duduk di hadapanku.

"Tenang aja Mit. Beliau orang yang terhormat. Kamu enggak usah khawatir"

"Semoga ya Mba"

"Apa lagi yang kurang, mau aku bantu?"

"Udah beres kok Mba, Mba tidur duluan aja"

"Oke"

Mba Tri mengambil bantal dari dalam lemari kemudian meletakkannya di atas karpet permadani. Aku merasa tidak enak pada Mba Tri. Kamar kos yang hanya berukuran kira-kira 8 x 10 meter harus menampung satu orang lagi. Ditambah aku juga menumpang makan di sini. Meski Mba Tri selalu berkata 'nggak usah sungkan' tapi tetap saja ada perasaan tidak enak yang selalu hadir tiap aku berbincang di kamar kosannya terlebih jika waktu makan pagi, aku merasa seperti benalu yang hanya numpang makan tanpa memberi uang sebagai ucapan terima kasih.

Mba Tri adalah tetanggaku di Kutoarjo sekaligus kakak kelasku saat aku sekolah dasar. Aku lebih muda empat tahun darinya. Meski begitu sikapnya tak pernah membuatku merasa di bandingkan. Mba Tri selalu sedia membantuku. Jika saja tak ada Mba Tri, aku tak akan pernah ada di sini, di Jakarta.

Scent of a FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang