Jika di beri dua pilihan antara mati atau hidup dalam rasa ketakutan, aku akan lebih memilih untuk mati atau jika tidak ada pilihan itu aku berharap waktu terhenti sejenak, mengistirahatkan urat-urat di tubuhku yang sedari tadi menegang.
Badanku terasa sangat dingin. Berkali-kali aku menguatkan diriku sendiri untuk tetap bertahan tapi berkali-kali juga instingku berkata jika sebaiknya aku mundur.
Aku melihat pantulan diriku di cermin, tampak sesosok aku yang berbeda. Sebuah gaun putih tulang melekat 'pas' di tubuhku, menyadarkanku bahwa ternyata tubuhku sangat kurus. Tak ketinggalan, polesan make up tipis hasil tangan-tangan pegawai salon langganan Bu Wanda melekat di wajahku. Aku benar-benar mirip wanita penggoda sekarang.
"Bu, apakah ini tidak berlebihan?" Tanyaku pada Bu Wanda lewat pantulan dirinya di cermin yang sama denganku.
"Tidak sayang, kamu sangat cantik"
Bu Wanda tersenyum sangat lebar mengisyaratkan kepuasannya terhadap diriku.
"Mit, kamu udah siap kan? Kita berangkat sekarang ya.."
Aku membalikan tubuhku menghadap Bu Wanda yang berada tepat di belakangku. Aku menatap ragu-ragu pada Bu Wanda. Entahlah, tiba-tiba aku merasa ragu.
"Bu.. Sa.. saya takut jika nanti"
"Tenanglah Mit" Bu Wanda merangkul bahuku "Ardani akan terkejut padamu"
Miris. Itulah yang sepatutnya aku sematkan untuk diriku sendiri. Ketika yang aku harapkan adalah kenyamanan justru kini yang aku alami adalah kesulitan yang ku kemas menjadi kesukaran yang makin menjadi.
Bu Wanda menggiringku memasuki mobilnya.
"Hanya bertemu saja, Mit. Tidak ada komitmen yang lain" seru Bu Wanda seraya membukakan pintu mobilnya ; mempersilahkanku masuk.
Aku hanya mengangguk lemah.
Bu Wanda menutup pintu mobilnya. Lantas mulai melajukan mobilnya.
Aku melirik sebentar Bu Wanda yang sedang fokus mengemudi. Sejak keluar dari salon, senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya. Aku curiga, jangan-jangan ia memiliki rencana lain yang tidak aku ketahui. Atau secara verbal aku telah berada di bawah kendalinya.
Bu Wanda menepikan mobilnya ke pelataran cafe yang berada di bilangan Jakarta Timur.
Aku menarik nafasku, kemudian menghela nafasku. Kuulangi kegiatan itu sampai tiga kali. Sementara Bu Wanda justru cekikikan melihatku melakukan itu.
"Kamu lucu banget, Mit. Kayak mau ketemu jodoh aja" ledek Bu Wanda mencoba menggodaku.
Aku yakin kini wajahku merah karena menahan malu. Benar, aku terlalu terbawa oleh situasi yang faktanya mungkin tidak akan menyulitkanku kelak. Pertemuan ini di anggap olehku adalah pertemuan yang sakral antara pertemuan pria dan wanita. Tidak seharusnya aku berfikiran seperti itu.
"Sudah sana turun. Ardani sudah menunggu" Bu Wanda menyentuh bahuku lembut "Dia ada di meja nomer 38"
Aku menghela nafas sekali lagi sebelum keluar dari mobil Bu Wanda.
Tuhan, kuatkan aku.
Aku sedikit kesulitan karena sepatu berhak yang sekarang ku pakai. Aku yakin caraku berjalan benar-benar mirip robot bernyawa yang tersesat di Jakarta. Kesialanku bukan hanya itu, Dress yang kupakai ternyata berada di atas lutut dan menurutku sangat-sangat terbuka membuatku benar-benar merasa tidak nyaman.
Meja 38.
Aku berhasil menemukan meja itu. Dari radius kira-kira sepuluh meter aku melihat punggung pria yang ku tebak adalah Ardani. Punggung itu di lapisi jas berwarna hitam senada dengan warna celana kulotnya. Rambutnya berwarna hitam yang ia sisir kebelakang. Gaya rambutnya sangat mirip dengan aktor thailand di beberapa seri drama yang ku tonton sewaktu masih sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scent of a Flower
RomanceSamita berasal dari Kutoarjo, niatnya ke Jakarta adalah mencari pekerjaan yang dapat menunjang kehidupannya. Namun, nyatanya Ia telah terjebak di lingkar merah yang di buat Bu Wanda. Ia jatuh cinta kepada seorang Ardani, putra sulung Bu Wanda. ps :...