Tiga

211 24 1
                                    

"Cha, aku dapet tawaran main film. Aku seneng banget, Cha "

Aku yang mendengarnya langsung menatap wajahnya dengan penuh keheranan. Seperti sebelumnya, matanya selalu bersinar ketika berbicara tentang karirnya.

"Bagus dong, itu artinya bakat kamu diakui. Aku turut seneng, Van dengernya. Film tentang apa? Romantis atau kisah remaja?"tanyaku dengan antusias.

Vano menunduk sejenak. "Romantis, Cha. Aku udah baca script nya. Tapi ada adegan yang sering kamu lihat di drama korea. Itu yang jadi masalahnya."

Aku tersenyum singkat. "Namanya juga dunia perfilman. Emang suka begitu, Van. Terima aja."

Vano menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu yakin?"

"Apa ada alasan lain tentang itu? Karir kamu yang jalanin sendiri. Aku nggak akan pernah bisa mengekang kebebasan kamu."

Vano terkekeh pelan. Ditatapnya wajahku dengan lekat. "Kamu itu sebenernya sabaran atau emang udah nggak cinta sama aku sih?"

"Kok nanya nya begitu?"

Vano mendengus kesal karena sikapku. "Abisnya kamu nggak ada rasa cemburunya sama sekali. Aku tau nih, kamu jangan-jangan suka sama temen grup aku di VTC. Iya kan?"

"Kamu mulai ngaco."

Vano mengangguk dengan cepat. "Buktinya kemarin ketawa-ketawa pas ketemu mereka. Sikap kamu keterlaluan. "

Aku langsung terkekeh dengan keras. Wajah Vano seperti itu terlihat begitu menggemaskan. "Terus aku harus gimana, Van? Nggak semua cewek harus protektif sama cowoknya kan?"

Vano mendekatkan wajahnya kearahku dan berbisik dengan pelan. "Kalo aku terima tawaran itu, nanti pas adegan itunya aku lebih lihai dari Lee Jong Suk. Biarin kamu nangis lihat pacarnya yang perhatian ini sama cewek lain."

Aku menoleh kearahnya seakan ingin tertawa. "Jadi cowok jangan cemburuan."

"Nonton film yuk. Aku ada waktu bebas sampai jam tiga sore."Ajaknya dengan mendadak.

Aku mengerutkan keningku kaget. "Nonton apaan, Van?"

"Apa aja, pokoknya hari ini aku mau jalan sama kamu. Abisnya jarang banget kita ada waktu berdua kayak gini"

Aku menghela napas pendek. "Kamu yakin? Lihat, pakaian kamu, topi hitam kamu, terus sama kacamata hitam kamu juga. Kamu itu udah kayak apaan, biasanya pencopet dandannya kayak begini."

"Cha, makasih pujiannya "katanya dengan singkat tanpa menoleh kearahku.

Aku langsung mencubit pipinya dengan gemas. "Vano jangan marah dong. Chacha minta maaf."

"Mendingan aku pulang aja deh, Cha. Disini bikin mood aku hancur. "

Aku mendengus kesal. Niatnya cuman bercanda malah dibawa serius oleh cowok baperan macam Vano. "Kalo Chacha bikin Vano marah yaudah Chacha pulang aja deh. Satu lagi, sebaiknya kamu latihan bukan kelayapan kayak gini. Malu sama jabatan."

Aku melangkah pergi menjauh darinya. Dibalik itu, hatiku menghitung dari satu sampai tiga. Biasanya kalau aku sudah berbicara seperti itu, artinya aku pura-pura marah. Dan Vano akan mengejarku meminta maaf. Langkah kakiku semakin menjauh dari nya namun lelaki itu masih saja berdiam. Vano masih terduduk dikursi nya.

Aku membiarkan saja Vano. Sekarang yang marah adalah aku. Biarin aja dibilang baperan. Aku tidak peduli. Belum sempat aku melangkahkan kaki lebih jauh, segerombolan gadis remaja berteriak kegirangan.

"VANO ANGGOTA VTC." Ucap mereka dengan girang.

Aku langsung berbalik dan melihat Vano tengah dikerubungi oleh gadis-gadis itu. Bukannya menghindar, lelaki itu malah diam saja. Tidak hanya berteriak kegirangan, mereka pun juga berebut mengabadikan foto bersama dengan Vano. Aku berpikir dengan cepat. Bagaimana caranya membawa Vano keluar dari orang-orang itu.

Aku buru-buru menghubungi Mananger Vano. Siapa tau dia bisa membantu. Aku langsung menghubungi manager Vano dengan segera.

"Maaf, ini dengan Chacha. Kak, Vano lagi kena masalah di mall deket studio TV acara nanti malam. Dia dikerubungi sama fans."kataku dengan ragu

Terdengar suara berat darisana. "Itu anak emang bener-bener. Cha, lo tungguin dia disana, gue mau nyuruh orang buat amanin."


***



Namanya Tian. Dia bertindak sebagai manager boyband VTC. Setelah diamankan dari keramaian itu, aku dan Vano diajak masuk ke dalam mobil. Tujuannya untuk menghindari serangan penggemar yang lebih anarkis. Vano masih diam dalam raut wajahnya yang datar. Kami larut dalam sikap yang saling diam. Mobil ini katanya akan mengantarkan kami kembali ke studio latihan.

Entahlah, tapi aku akan turun di lampu merah depan saja.

"Kak, aku turun di depan saja. Lagian masih ada kegiatan di luar."Kata ku dengan pelan.

Kak Tian menoleh kearah ku dengan tiba-tiba. "Sekalian aja kita anter, lagian waktu kosong latihan masih ada dua jam lagi."

"Nggak kenapa-kenapa, Kak. Turunin disana aja. Lagian aku bisa naik angkutan umum darisana."

Kak Tian memperhatikan Vano yang sedari tadi hanya diam membisu. "Van, itu cewek lo mau kita turunin di lampu merah nggak kenapa-napa? "

Vano hanya melirikku sekilas lalu kembali beralih memainkan telepon genggamnya seakan asik sendiri. "Biarin aja. Gue lagi nggak mood, Kak."

Aku tersenyum singkat. Mobil yang aku naiki ini kemudian berhenti sejenak untuk menurunkanku. Sepertinya Vano benar-benar marah karena kejadian tadi. "Van, aku balik duluan."

Dia tidak membalas kalimatku. Benar, hubungan ini tidak akan pernah bertahan lama. Jikalau pun bertahan lama, ujung-ujungnya akan berakhir dengan kepahitan. Mungkin saja Tuhan kami sudah menakdirkan kami dengan jodoh masing-masing. Namun apakah salah jika aku mengharapkan dia lah yang menjadi jodohku?


"Hubungan kalian itu salah, mau apapun alasannya yang tetap aja salah. Dua orang yang berbeda keyakinan nggak akan bisa bersatu. Kalian berdua udah melanggar perintah Tuhan kalian masing-masing. Mau sampai kapan lo membiarkan kesalahan itu? "

Sial, kini kalimat Manda seakan terngiang di pikiranku.







Tbc
Semoga kalian suka dengan bagian ini hehehe..  Jangan lupa vote and comments ya makasihhhh



Can't See The End   [5/5 selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang