Vano tidak henti-hentinya mengganggu aku yang sedang membaca sebuah novel keluaran terbaru dari penulis favoritku. Sembari menunggu teman-temannya yang akan datang latihan disini, ku isi waktu luangku dengan membaca cerita. Lumayan membuat waktu tidak terbuang sia-sia. Hanya saja si Vano jelek ini selalu menggangguku dengan usil.
Kami tidak ditakdirkan marahan terlalu lama. Tepat keesokan harinya, kami sudah baikan kembali. Vano meminta maaf kepadaku dan aku juga sebaliknya. Sejak SMA, hubungan kami memang terus berantam kecil namun akhirnya kembali berbaikan. Kami saling mengalah.
"Cha, Mama nyuruh aku jauhin kamu. Tapi aku nggak mau, kira-kira itu dosa nggak ya?"tanya Vano yang membuatku mengalihkan pandangan kearahnya.
Aku mengedikkan bahuku pelan. "Semua yang melanggar perintah orang tua artinya durhaka di agamaku. Terlebih lagi jika anak itu kelewatan batas, misalnya bertindak kasar dan ringan tangan sehingga membuat orang tua terluka. "
Vano menatap mataku lekat. "Aku nggak pernah main tangan kalau mama nyuruh aku buat jauhin kamu, itu artinya aku nggak dosa kan? "
"Van, kalo memang itu kemauan orang tua kamu. Laksanakan lah, aku juga nggak akan marah. "
Vano mengerutkan keningnya singkat. "Kamu aneh. Seharusnya kita perjuangin masalah ini bareng-bareng. Kamu nggak seharusnya menyerah gitu aja, Cha."
Tidak lama kemudian, pesanan yang kami pesan datang. Dua buah steak dengan minuman kami yang berbeda. Vano yang cenderung menyukai cola sedangkan aku es teh biasa. Kami berdua meninggalkan kesibukan kami masing-masing untuk menyantap makanan yang ada dihadapan kami. Sebelum melakukan itu, biasanya kami berdoa. Tentunya dengan Tuhan kami masing-masing.
Vano yang mengepalkan kedua tangannya saling berpegangan sedangkan aku menengadahkan tangan seraya membaca doa sebelum makan. Kami berdua berdoa dengan cara yang berbeda. Kami tau kami berbeda.
"Cha, udah berdoa nya?"Ucap Vano yang membuatku membuka mata perlahan.
Aku mengangguk iya. "Sudah,"
"Makannya nggak boleh berbicara, minum pakai tangan kanan, dan ..."
Aku terkekeh pelan. "Berhenti sebelum kenyang. Vano, aku sampai hafal segala ucapan kamu itu. Kamu selalu ingatkan aku hal-hal kecil. "
"Makan yuk, nggak usah mikirin apapun,"katanya kembali dengan lembut.
Kami berdua larut dalam keheningan. Sejenak, kami ucapkan rasa syukur kepada Tuhan kami masing-masing karena masih diberikan kehidupan. Disajikan makanan yang cukup mengenyangkan. Terlebih lagi diberikan kebahagiaan yang tidak ternilai oleh materi.
Vano sesekali melirik kearahku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman juga. Menit semakin berjalan dengan cepat. Makanan yang semula penuh diatas piring perlahan menyusut berpindah ke dalam perut.
"Selesai, aku udah kelar Cha."kata Vano dengan tersenyum usil kearahku.
Aku mengangguk pelan. Aku mengarahkan telapak tanganku kearahnya seraya berkata sebentar.
"Anak-anak VTC udah mau nyampe, mereka lagi ada di parkiran. Cha, tungguin aku latihan sampai selesai mau kan?"
Makananku habis. "Mau, Van. Latihannya di indoor kan?"
"Iya, kamu seriusan mau nungguin aku?"
"Iya, "
Vano tersenyum dengan senang. "Ada beberapa gerakan yang harus dilatih lagi karena lagu nya juga dicampur-campur . "
"Aku tungguin,"
"Seneng deh."
"Lebay,"
"Lebay nya mah kalo sama kamu nggak kenapa -napa."
Vano kemudian menenguk air soda yang ia pesan tadi. Masih tersisa lumayan banyak sekaligus bisa dijadikan cemilan menunggu VTC datang dari arah lain untuk latihan. Aku kembali melanjutkan membaca novel yang aku bawa tadi. Ceritanya lagi seru.
Tidak begitu lama, anggota personil VTC datang untuk latihan. Vano yang mengetahuinya langsung berbicara. Karena show kali ini tidak boleh gagal.
"Persiapkan koreografi kali ini yang fresh. Fighting! "Ucap Vano dengan penuh semangat.
Mereka yang datang itu meneriakan kata fighting secara bersama-sama. Aku sempat diam membeku menyaksikan kekompakan mereka semua. Memang mereka begitu dekat karena masa training yang cukup lama. Jadi jangan disepelekan.
"Ceweknya leader Vano. Tumben kemari, biasanya kagak. Tau gitu gua ajak cewek gue aje tadi."kata seseorang yang kukenal bernama Rio.
Aku terkekeh pelan. "Cuman dateng sebentar kok, abis itu pulang. Vano nya aja yang mau ditemenin."
"Vano kadang suka marah-marah sendirian. Lihat tuh tingkahnya. Kadang sok kalem dan dingin. Tapi kalo sekalinya marah, abis kita semua "ungkap yang lainnya juga.
Aku menoleh kearah Vano yang menggeleng seakan membantah itu semua. "Vano, jangan suka begitu. Mereka semua juga merasa lelah. Kalo kamu marah-marah jadinya kan aneh."
"Ada ceweknya jadi baik hati begini."celetuk lelaki yang berkacamata itu.
Aku tertawa singkat. Terlihat jelas sekali wajah Vano memerah karena malu. Kadang, saat-saat seperti ini yang mungkin akan kurindukan. Jika nantinya aku dan Vano benar-benar berpisah dan saling menjauh.
***
Tbc
Semoga kalian suka dengan bagian ini hehe vote and comments jangan lupa
Makasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't See The End [5/5 selesai ]
Literatura Kobieca"Sejauh apapun kita mempertahankan akan hancur juga. Aku menjauh bukan karena keadaan kamu saat ini, tapi atas dasar tidak mampu menjalani hal yang salah. Tasbihku dan salibmu tidak bisa bersatu menjadi kita."