"Aduh aduh." Stevant meringis kesakitan saat Anin menempelkan kapas dingin di bagian pinggir bibirnya yang terkena tonjok tadi "Kok dingin?"
"Iya, ini 'kan alkohol."
"Kok pake alkohol, sih?" Stevant melihat kapas yang di pegang Anin.
"Ya 'kan biar ga bengkak!" Jawab Anin agak sewot karena Stevant komen terus.
"Tapi perih pake ini."
"Biar cepet sembuh kenapa sih, udah diem aja!" Anin memegang tangan Stevant yang berniat membuang kapas itu "Tahan dikit!"
"Pelan-pelan!"
Anin mendengus "Yauda sih tahan dikit jadi cowo kenapa alay banget."
"Ye, masih untung lo gue tolongin."
Anin mengerutkan alisnya, berfikir benar perkataan Stevant "Iya-iya, makasih udah nolongin."
"Iyaudah sama-sama--Aduh aduh."
Anin meringis "Aduh, kekencengan, sori,Van."
Setelah tadi Stevant menelpon Riko, menjelaskan semuanya, dan menyuruh Riko mengurusi pelayan-pelayannya agar di tindak oleh papah Riko. Stevant sempat membentak Riko karena bisa-bisanya ada pelayan seperti itu di acara besar ini.
Bukannya Stevant berfikir kalau Anin dalam bahaya, tapi semua perempuan yang ada disini mungkin dalam bahaya. Gampang kalau cuma dirampok, kalau di lakukan hal yang lebih jahat gimana. Untungnya sudah di atasi dengan pihak perusahaan ini.
Stevant menekuk alisnya menahan rasa perih di bibirnya.
"Sakit, ya?"
"Nggak sakit." Jawab Stevant bohong, gamungkin dia bilang sakit karena itu bisa-bisa jiwa lelakinya makin jatoh di depan Anindya.
Anin terlihat cekatan mengobati luka Stevant, ya Anin juga pasti sadar diri jika bukan karenanya, Stevant pasti tidak seperti ini.
"Sori ya, gara-gara gue lo jadi gini."
Stevant mengerut kan alisnya lagi, rasa sakitnya hilang di gantikan rasa canggung mendengar Anin meminta maaf.
"Slow, nggak apa-apa."
Anin yang masih memikirkan perkataan Stevant tadi menutup rasa canggungnya didepan Stevant. Ingin rasanya Anin meminta penjelasan kepada Stevant tentang apa yang ia katakan tadi di depan pelayan. Tapi rasa canggung abis membayangkan jika Stevant malah kabur seperti tadi.
"Sori, gue gamaksud bilang lo pacar gue tadi."
ASTAGA! Teriak Anin dalam hati. Rasanya ingin teriak beneran di bandingan di dalam hati. Baru saja ia ingin menanyakan itu! Anin menunduk, merapihkan bekas-bekas kapas dan merapihkan alat-alat yang ia keluarkan di kotak besi Apotek perusahaan papah Riko ini. Ia bukannya tidak peduli dengan kejelasan Stevant tadi. Ia hanya, hanya canggung! Takut sifat salah tingkahnya membuat ia menjadi konyol di depan Stevant.
"Sudah selesai!" Anin menaruh kotak itu di tempat ia mengambilnya tadi.
Stevant masih berdiam duduk di atas kasur, ia melihat gerak gerik Anin yang menurut Stevant mengacuhkan ucapan yang tadi ia bilang ke perempuan yang satu itu.
"Gue keluar duluan ya." Anin mengambil tasnya yang berada disamping Stevant tanpa melihat atau melirik sekalipun Stevant "Gue duluan."
Stevant menangkap lengan Anin, Anin pun dengan wajah kakunya yang terlihat jelas memandang Stevant dengan tanda tanya, Didalam hati, Anin berdoa agar wajah kepiting rebusnya diabaikan Stevant.
"Gue nggak sungguh-sunguh mainin hati lo, Karena hati lo itu bukan mainan." Stevant melepaskan kaitan tangannya yang memegang lengan Anin "Sori buat dulu, Nin."
Stevant berdiri, mengambil jas yang berada di kasur, meninggalkan Anin sendirian.
Tanpa Stevant tau, rasa sedih campur senang mendengar Stevant mengungkapkan itu kepadanya.
***
Part ini emg segini:( dikit emg, iya tau kok
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Trust Me
RandomStevant Ryant, yang sehari-harinya nongkrong di Tongkrongan Reman, beradu jotos dengan teman sendiri, dan kebiasaannya main uno, membuat racikan hebat tentang bagaimana cara memerahkan wajah orang menjadi bintik-bintik merah hanya dengan bedak. Jika...