Enam

80 10 6
                                    


Sejak pertemuan Adair dengan Arly di Kafe Sugardust waktu itu, mereka jadi sering berbincang lewat LINE. Adair menganggap Arly sebagai teman yang asyik diajak berbincang. Jika Acasya sedang sibuk dan tidak dapat menjawab pesan-pesan darinya, ia akan mengirim pesan pada Arly, yang selalu langsung menjawab pesannya dalam waktu kurang dari lima menit.

Di sekolah, saat waktu pelajaran Bahasa, Acasya mengantuk. Ia mengerjap-ngerjap, matanya mulai memaksa ingin menutup, padahal di depannya masih ada kertas yang sebagian besar masih kososng, menunggu diisi. Acasya tidak suka pelajaran Bahasa. Sangat membosankan menurutnya. Pada soal-soalnya, pasti ada berderet paragraf dengan tulisan kecil-kecil yang harus ia baca dan ia pahami betul-betul. Kalau bahasanya baku saja Acasya sudah pusing. Apa lagi kalau sudah mulai muncul berbagai konotasi. Ia akan langsung putus asa dan memilih untuk menjawab sekenanya. Menjawab asal pun sulit, karena pasti ia harus menulis jawaban lengkap. Tidak bisa asal pilih A, B, C atau D seperti kalau mengerjakan soal IPS atau IPA.

Belum lagi guru Bahasa, Pak Dermawan ─ yang sama sekali nggak dermawan ─ suka banget membuat kepala para murid pusing gara-gara latihan soal yang dia berikan. Selain itu, Pak Dermawan benci kalau kelasnya berisik. Ralat, benci kalau kelasnya bersuara. Intinya, kalau lagi pelajaran Bahasa, semua murid harus mengunci mulut dan tidak melakukan apa pun yang membuat suara.

Adair melihat Acasya yang kesadarannya tinggal sepertiga itu. Tempat duduk mereka cukup jauh, jadi Adair tidak bisa dengan mudah menyenggol pundak Acasya atau sekedar menyentil hidungnya agar dia tersadar.

Ia merogoh isi sakunya, lalu mengeluarkan sekeping uang koin. Tanpa pikir panjang, ia melempar koin itu pada Acasya, berharap koin itu akan mengenai dahi atau hidungnya.

Tapi memang Adair tidak perhitungan sebelum melakukan sesuatu.

Sasarannya meleset. Koin itu jatuh di atas meja Acasya dan menimbulkan bunyi...

Ting!

Sebenarnya suara itu tidak akan terdengar terlalu keras kalau tadinya kelas ini tidak begitu sunyi.

Kesadaran Acasya langsung naik seratus persen, dan ia langsung mengetahui suara tadi ditimbulkan dari koin yang sekarang berada tepat di depannya. Sayangnya, Pak Dermawan juga tahu itu.

"Acasya Luliana," panggil Pak Dermawan.

Acasya menelan ludah. "I-iya, Pak?"

Guru pecinta ketenangan itu mendekati meja Acasya, lalu mengambil koin Adair dari atas meja Acasya. "Berisik sekali suara koinmu ini."

"Ma-maaf, Pak, saya juga nggak tau kok bisa ada koin jatuh di atas meja saya," ucap Acasya terbata-bata.

"Nggak tau?" Pak Dermawan memasang wajah malas. "Sudah, keluar saja sana. Biar ketenangan kelas ini nggak keganggu."

"Tapi Pak─"

"Tunggu, Pak Derma, yang bikin berisik itu saya, bukan Acasya," seru Adair. "Saya yang ngelempar koin itu ke mejanya."

Pak Dermawan menatap Adair, lalu Acasya, begitu terus. Sampai akhirnya keputusannya bulat. "Kalian berdua keluar."

Acasya membelalakkan matanya. Ia benci diminta keluar kelas. Pikirnya, guru itu tugasnya bikin murid-muridnya pinter, bukannya menganggur di luar kelas. Ia enggan untuk berdiri. Namun setelah mendapat tatapan tajam dari Pak Dermawan dan isyarat untuk segera keluar dari Adair, ia pun beranjak.

Saat mereka berdua sudah keluar, Acasya berbalik untuk berhadap-hadapan dengan sahabatnya yang nggak pernah perhitungan itu. Acasya bersedekap, wajahnya kesal.

Broken Promises (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang