Delapan

138 14 6
                                    

Sahabat yang egois, yang tidak peka, dan tak pernah peduli-peduli amat terhadap sahabatnya sendiri.

Cowok itu berjalan perlahan ke arah jendela kamarnya. Ia membuka jendela yang kusennya masih mengkilap karena baru saja dicat sekitar seminggu yang lalu. Dihirupnya udara di luar. Aroma petrikor tercium, menandakan bahwa semalam hujan. Terlihat titik-titik air yang menempel di dedaunan, campuran antara bekas hujan dan embun pagi. Hawa sejuk perlahan masuk ke kamar cowok itu, yang tadinya pengap karena pendingin ruangannya tidak dinyalakan.

Ia duduk beralih ke pintu kamarnya yang bukan mengarah ke dalam rumah, melainkan ke balkon. Tak lupa dibawanya secangkir kopi panas yang telah diletakkan di nakas yang berada di sebelah kasurnya oleh ayahnya. Ayahnya juga suka minum kopi di pagi hari, apalagi ketika cuacanya mendukung seperti ini, sejuk dan mendekati dingin. Namun ia tak boleh lupa minum air putih terlebih dahulu setelah bangun tidur. Karena bisa bahaya jika baru saja bangun dan langsung minum kopi. Sekitar pukul enam pagi, ayah dari cowok itu akan membuat dua cangkir kopi, untuknya dan untuk anaknya itu.

Ditatapnya cangkir kopinya, lalu ia terkekeh. Cangkir plastik ini sudah lama sekali menjadi miliknya. Ukurannya kecil, warnanya biru muda, dan di dekat pegangannya, tertulis namanya. Adair.

Ia masih ingat, ia menulis itu dengan spidol permanen saat umurnya masih enam tahun. Waktu itu ia pikir tulisannya bisa dihapus. Tetapi, saat ia mengusap-usap bagian yang ia tulisi, tulisan ceker ayam itu tak kunjung hilang. Saat itulah ibunya memberi tahu kepadanya bahwa yang dia pakai adalah spidol permanen. Setelah diberi tahu, bukannya berhenti mencoba, Adair malah mengusap tulisannya dengan semakin keras. Tak lain karena ia tak tahu apa arti kata permanen.

Hal itu selalu diingat oleh keluarga kecilnya dan dirinya sendiri. Karena itulah ayahnya selalu memakai cangkir itu ketika membuatkan Adair minuman. Dari isinya susu coklat sampai kopi panas. Bodohnya Adair setuju-setuju saja. "Ternyata tulisan aku bagus juga ya Yah?" tanya Adair kecil dulu.  "Kalo gitu aku mau, deh, pake cangkirnya terus!"

Tak ada yang tahu kalau Adair yang di sekolah terlihat begitu dewasa dalam berkata-kata dan bertindak pernah menjadi anak kecil sepolos itu. Tak ada satupun temannya, bahkan sahabatnya yang tahu. Kecuali satu orang. Seorang perempuan yang telah menemaninya sejak lama, dan mau berbaik hati menjadi sahabatnya. Perempuan yang dari dulu sampai sekarang masih kekanakan, terlalu halus dan polos, dan selalu menasihati dan menyayangi Adair sepenuh hati. Perempuan yang sekarang akan ia hubungi.

Adair ingin mengajak perempuan itu untuk berjalan-jalan, sekedar refreshing, mumpung hari libur. Ia tahu, meskipun libur, cewek itu tetap akan bangun pagi-pagi sekali untuk melaksanakan ibadahnya, entah setelah itu tidur lagi atau tidak. Maka ia akan menelponnya sekarang juga.

Tangannya masuk ke celah jendela yang terbuka untuk mengambil HP-nya yang tadi diletakkan di atas nakas. Setelah benda persegi panjang itu berada dalam genggamannya, Adair menekan nomor cewek itu, yang sudah ada di barisan atas. Ia baru saja menelponnya semalam.

Tak lama kemudian, foto perempuan itu memenuhi layar HP Adair. Di bawahnya, terdapat gambar telepon berwarna merah yang menghadap ke bawah.

Tut... tut...

Tersambung.

"Hey, Casy."

Yang pertama terdengar adalah suara gemerisik. Beberapa detik setelah itu, barulah suara cewek yang sedari tadi ingin Adair dengar berbicara. "Hai, Dair. Kenapa?"

Ada yang janggal. Suara itu sepertinya tidak sesemangat biasanya. Mungkin ia kelelahan karena aktivitas yang padat. Tapi ini aneh, karena biasanya perempuan yang satu ini selalu terdengar semangat dan antusias di pagi hari.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Broken Promises (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang