Tamara : Bagian 3

854 60 0
                                    


Aku bukan orang yang sok bersih atau apalah sebutan untuk hal sejenisnya. Tapi kentut didepan orang secara sengaja itu suatu tindakan yang sangat-sangat tidak sopan. Tidak bermartabat, tidak ada wibawa-wibawanya dan tidak baik ditiru oleh siapapun -siapapun yang sedang membaca tulisan ini-.

Lalu, bukannya minta maaf dia malah tertawa dan berkata seolah itu adalah pembalasan karna aku menodai celananya dengan cat dan melukis dinding kamar seperti lukisan anak TK. Kata-katanya yang tidak bisa menjaga perasaan orang sungguh keterlaluan. Oke, setelah hampir delapan bulan hidup bersamanya aku bisa mentolerir itu, tapi tidak dengan kentut dengan sengaja tepat didepanku!.

Kali ini dia pulang larut. Bukannya mendatangiku untuk menceritakan alasannya dia malah langsung mandi dan tidur. Loh, yang seharusnya merajuk itu kan aku!, bukan dia.

Dia tau, gak perlu diajarin lagi. Beliin makanan kek, ajakin jalan, nonton, atau nyanyiin lagu lucu seperti biasa untuk mencairkan suasana. Tapi kali ini dia malah ikut-ikutan merajuk. Ah! Aku benci benci benci fauzan!!!.

Kita lihat saja, siapa yang menyapa duluan!.

...

Huah, dia mencuci baju sendiri?. Lihat, dari caranya bersikap menunjukkan dia yang terlebih dahulu membuat jarak denganku. Seolah perang ia menguasai kamar mandi dan sekitarnya dengan lagu slow rocknya yang menggema seisi rumah.

Itu pasti salah satu triknya untuk membuatku menegurnya duluan. Untung saja sudah mandi, jadi gak perlu alasan bicara dengannya untuk sekedar minjam kamar mandi. Kita lihat saja siapa yang menyapa duluan -aku bahkan sudah menyebutnya dua kali- *tepokjidat*.

Aku mendengar suara teriakan di luar. Entah siapa, paling temannya Fauzan. Sekitar beberapa menit aku mendengar Fauzan berlari keluar dengan celana pendek dan singletnya. Lama juga dia diluar, seharusnya tamu tuh diajak masuk bukan ngobrol di luar. Ini, pagar aja gak kedengaran di buka.

Hah, dia masuk lagi. Aku buru-buru mengangkat novel Belahan Jiwa sok fokus membaca. Sambil melirik dia yang datang membawa sebuket bunga mawar merah. Apa? Sebuket Mawar sepertinya bukan hal yang baru. Ia meletaknya diatas meja makan tak jauh dari kursi santai dimana aku duduk.

Ia meletaknya begitu saja, lalu kembali ke markasnya, Kamar mandi. Ih, seharusnya dia bilang : "Ini ada kiriman bunga dari fans mu. Bilang pada mereka aku bisa membelikanmu lebih bagus dan lebih banyak dari ini dan suruh mereka berhenti mengirimu bunga. Kau tau kenapa? Aku cemburu!"

Hah? Hahahahha. Membayangkannya saja senangnya bukan main *jogetjogetindia*.

Aku berdiri mendekati bunga itu membaca tulisan pada kartu bergambar setangkai mawar. Ehm, aku baca keras-keras ah biar dia dengar. Mumpung musik di markasnya sedang istirahat.

"DEAR TAMARA, KAU SELALU TAU BAHWA AKU MENYUKAIMU SEPERTI BUNGA-BUNGA INI. TERIMAKASIH UNTUK REVIEWNYA, JIKA BOLEH LUSA IZINKAN AKU MENGUCAPKAN TERIMAKASIH DENGAN MENTRAKTIRMU MAKAN DI TEMPAT ITU, BIO"

"Bio yang mana ya??!" Nih suara udah kayak manggil tukang siomay di simpang perumahan. "Oo!, Bio yang_"

Bhahaha, dia menyetel musiknya lagi keras-keras. Pasti dia dengar, Rasakan cemburumu. Sepertinya mawar-mawar ini akan membangkitkan kecemburuan seseorang bila ku letak di tiap sudut rumah. Di kamar, vas depan tv, ruang tamu, di dapur, meja makan kalau bisa di dalam kulkas biar wangi. *tawaraksasa*

"Kita lihat siapa yang bereaksi lebih dulu"

"Ya AMPUUUN!, Tamara!"

Akhirnya dia menegur duluan kan?. Aku berbalik dan "TUYUUULL!!" kaget ada tuyul berkepala botak -ya iyalah tuyul botak, masak gondrong-. "Pasha!, boleh pake salam kalo masuk? Mau nyolong ya?. Gak bisa celenganku udah di tangkal sama bawang merah"

"Ku jitak juga kepala ini anak!" Wajahnya geram, sebelas dua belas dengan wajah sahabatnya Fauzan. "Sampe habis suaraku kau gak akan mendengar. Suara musiknya sampe ke luar tau?!"

"Tuh, kerjaan gila sahabatmu di kamar mandi. Samperin siapa tau udah berubah jadi Kaka Slank"

Pasha masuk ke dapur tak jauh dari kamar mandi. "Fauzan, matikan musikmu!!". Tapi bukannya ke kamar mandi ia malah ke dapur buka kulkas. "Biasanya libur kau buat masakan kreasi baru Tam"

"Malas" aku mengikutinya ke dapur untuk minum. Kudengar suara musik itu mengecil.

"Yah, padahal mau numpang makan" ia meletak gelas kaca bekas minumannya diatas meja. Ia menarik kursi makan lalu duduk menatapku yang memperbaiki dua tangkai bunga di atas meja makan. "Lagi perang ya?"

Aku meliriknya, lalu diam saja.

"Oh, aku lupa. Nanti malam pake apa?" Tanyanya mengambil mawar di vas yang baru ku susun.

"Apanya pake apa?" Sambil bertanya telingaku menguping suara-suara yang berasal dari kamar mandi. Sepertinya dia mandi.

"Lha?, tidak diberitahu Fauzan?" Tanyanya serius. Keningnya yang berkerut memberi batas seolah penunjuk mana kening dan mana tempat yang harusnya ditumbuhi rambut.

Keningku ikut berkerut "apa?"

"Reuni SMA kami, dia tidak mengajakmu?" Hah? Aku tau aku dan dia hanya bersahabat hingga SMP. Masa SMA dan kuliahnya milik ia dan teman-teman yang lain. "Ah aku tau, kaliankan lagi perang ya?"

"Kalau kau datang kemari mencari sarapan kau tidak bakal nemu, lagi cuti" Suara Fauzan terdengar di belakangku. Aku berpindah posisi ke kursi santaiku yang masih dalam satu ruangan dengan meja makan dan dapur.

"Tumben bangun pagi hari sabtu bro" Pasha menatap Fauzan yang hanya mengenakan handuk dipinggang dengan cengiran. Fauzan ikut menyengir lalu meraih gelas berisi air es yang tadi ku minum diatas meja.

"Banyak kerjaan, gak bisa ngandalin orang"

Lihat!, dia duluan bersikap memusuhiku. Kapan aku bilang padanya bahwa aku merasa capek diandalin?.

"Salah minum obat kali" aku menyeletuk pelan. Tapi sepertinya mereka mendengar.

Pasha tertawa "Eh bro, kau tidak memberi tahu Tamara masalah reuni SMA nanti malam?. kau mengajaknya kan?"

Ya ya ya, aku butuh Pasha seperti ini agar dia menegurku.

"Aku tidak berminat" katanya meninggalkan meja makan ke kamar.

Apa?!! Dia tidak berminat mengajakku??. Ih!!! Fauzan memang sedang salah minum obat!.

"Kau yakin?, maksudku kalau berempat kita bisa pergi semobil. Aku janji mengajak kekasihku"

Tidak ada jawaban darinya. Aku mengangkat tinggi-tinggi novel yang tadi ku baca. Tubuhku panas dingin dan sepertinya ini reaksi bahwa sebentar lagi aku akan menangis.

"Kalau kau ingin aman sebaiknya kita saja yang pergi"

Hmm, kan? Mataku perih. Aku benci Fauzan!!.

(Bersambung... -4)

THE COFFEE  EFFECT (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang