Tamara : Bagian 5

798 57 1
                                    


Benarkan?, tak-tik ku berhasil. Aku sudah biasa menghadapi orang-orang seperti dia yang dingin dan memanaskannya untuk segera bereaksi padaku. Lihat saja, akhirnya dia mengajakku untuk ikut reuni SMA setelah dia dengan sangat jelas terbakar api cemburu pada Bio. Dari bunga mawar yang ku beli pagi tadi hingga kedatangan Bio yang asli sangat-sangat membantuku hari ini. Lihat bagaimana dia cemburu :

"Hei, Kau tidak pulang? Istriku akan menemaniku ke acara malam ini"

Whoaa, Bahkan dia menyebut istriku itu rasanya suatu kemenangan yang hebat. Setelah Bio pergi, aku segera mencari pakaian sesuai dress code mereka. Lalu berlagak terpaksa dan gengsi aku ikut mereka menjemput Junia -kekasih Pasha-.

...

Beberapa dari teman SMA-nya aku kenal. Tapi tidak begitu akrab. Beberapa dari mereka pernah datang ke pernikahan dan kerumah. Tapi yang lebih sering si Pasha. Makanya aku hanya kenal dekat Pasha.
.
"Yang punya rumah ini yang nyaleg tapi gagal itu kak" Junia berbisik padaku ketika memasuki wilayah taman rumah yang tanahnya ditutupi rumput bak permadani. Jalan itu mengarahkan kami ke taman belakang dimana ada kolam renang dan lampu-lampu hias serta meja-meja kayu yang_ tunggu dulu, tadi aku menyebut apa?. Kolam renang?, Whoaa!!. Sejak dulu aku selalu bermimpi memiliki kolam renang di teras belakang seperti ini. Di rumah kami hanya punya kolam renang selebar 2x2 meter -bak mandi-. Bhahahhaha

"Fauzan, Pashaa" seorang wanita ber-dress selutut ketat bak sales rokok hampir berlari mendekati Fauzan dan Pasha. Menyambut mereka bak selebritis dengan cipika cipiki dan pelukan.

Melihat wanita sales itu tiba-tiba saja menghilangkan mood bahagiaku tentang kolam renang. Ih!, Fauzan!, kenapa ketika giliran Fauzan wanita itu malah lama-lama pelukannya.

"Aroma wangimu tak pernah berubah" Puji Fauzan. "Menggemaskan"

APA MAKSUDNYA INI!!, dia seolah tidak sadar membawa istrinya yang saat ini berdiri bego dibelakangnya sambil menciumi bau tubuhnya apakah memakai parfum atau tidak. Aku akui, aku tidak biasa pake parfum, kalaupun ada parfum  aku terbiasa lupa memakainya.

"Itu cewek yang mereka ceritain di mobil kak. Yang dulu mantan_"

"Jun bawa parfum gak?" Junia membuka tasnya lalu memberikan parfum roll on kecil kepadaku. "Ih, inikan parfum kakek-kakek kalo mau pergi solat" aku mencium parfum itu.

"Itu belinya di Mekkah loh kak. Baunya nyaman, tapi makenya jangan banyak-banyak"

"Ya udah deh" aku memakai parfum itu percaya diri. "Eh tadi kau bilang dia mantan apa? Mantan ketua osis? Atau mantan primadona"

"Iya kak, mantan primadona sekaligus mantan Bang Fauzan"

Oo, Hah?? APPPAA??!!!. Ma-ma-mantan pacar maksudnya?. Aku melangkah cepat kearah Fauzan menyerobot jalan Pasha yang berdiri disebelah kirinya. Sementara wanita sales itu berdiri disebelah kanannya.

"Kau berhutang banyak rahasia padaku" aku menahan Fauzan hingga ia berhenti melangkah lalu menatapku, wanita sales itu juga menatapku. Jangan harap kalian berusaha CLBK disini.

"Apa?"

Ah bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku menegurnya duluan!!.

Seseorang datang mengendus "Hei, aku ingat parfum ini persis seperti parfum abah kalo solat Jumat" aku melirik laki-laki gondrong yang berdiri tak jauh dari Pasha.

Fauzan mengendus, lalu endusannya semakin dekat kearahku. Bahkan dia rela menunduk untuk menciumi aroma parfum Junia yang kuletak banyak di leher. "Tam tam, sejak kapan kau memakai parfum seperti ini?" Wajah heran dan tergelitik terpapar di wajahnya.

"Ah, Leo kamar kecil dimana ya?" Pasha mengalihkan topik seperti dibuat-buat. Setelah laki-laki gondrong itu menunjukkan jalan ke kamar kecil. Ia menarik Junia untuk mengikutinya.

"Dia istrimu Zan?" Wanita sales itu tersenyum padaku.

"Ya, yang pernah kuceritakan dulu"

"Yang seniman 'gila' itu?"

Hah?. Dia bilang aku gila? Dasar Sales murahan!. "Apa maksudmu gila?"

"Maksudku dalam hal berbeda" wanita itu menjelaskan masih menebar senyum "Maaf kau salah mengerti".

"Maksudmu apalagi yang tidak aku mengerti? kau fikir aku bodoh tidak tau bahwa kau ingin berCLBK ria dengan suamiku?"

"TamTam, bicaramu"

"Apa?, memang keinginanmu kan mantanmu ini menggodamu? Cipika cipiki, pelukan" aku menatap wanita sales itu dendam. Selama menikah bahkan selama kami bersahabat dia menceritakan semua tapi tidak dengan mantan cantik nan seksi-nya satu ini. Sementara aku sudah menceritakan semua mantanku dari yang benar-benar mantan hingga mantan dalam arti PDKT tidak jadi.

"Fauzan!" Seorang laki-laki melambainya dari jauh. Ia melepaskan tanganku yang memegangnya lalu meninggalkanku menuju laki-laki itu.

Fauzan, dia pasti malu membawaku kesini. Seharusnya aku tau ada sisi seperti ini pada dirinya. Dia benar-benar tidak sepenuhnya menerimaku apa adanya. Jika dia mau aku menjauh aku akan menjauh. Oh, Aku butuh tempat gelap untuk menangis. Aku melangkah menuju tepian kolam renang, tapi wanita sales itu menguntitku.

"Hei, aku" ia mencoba menahan tanganku. Tapi aku tidak suka dia menguntitku seperti ini.

"Aku ingin sendiri!" Aku menyibak tanganku yang dipegangnya hingga tiba-tiba pijakan high heelsnya di tepi kolam renang itu goyah. Aku berusaha meraih tangannya yang berusaha mencapai apapun agar tidak terjatuh.

"Akh!!!"

Teriakan terakhir yang bisa kudengar ketika air menutupi pandanganku dan membuat telingaku berdengung. Aku bisa berenang, aku bisa berenang meski kakiku kaku karena gugup. Ya! Aku menolak wanita sales itu tak sengaja. TIDAK SENGAJA.

Wanita itu menggapai-gapai, sepertinya tidak bisa berenang. Aku bergerak mendekatinya berusaha untuk menolong. Tapi dari jarak beberapa meter aku dapat melihat Fauzan terjun ke kolam renang tapi bukan menyelamatkanku. Masih didalam air aku melihat ia menyelamatkan wanita sales itu dan memakaikan jasnya untuk menutupi pakaiannya yang transparan.

Aku tidak perlu tempat gelap untuk menangis. Aku hanya perlu menenggelamkan tubuhku ke dasar kolam lalu menangis hingga mati. Untuk pertama kalinya aku benar-benar dan benar benci pada Fauzan. Ini bukan ungkapan benci untuk sekedar gengsi yang aku miliki. Tapi benci karna perlakuannya padaku malam ini.

"Tamara!!" Pasha mengulurkan tangan kearahku ketika aku baru menyadari ada orang yang membawaku ketepian kolam.

Aku mengumpulkan segala tenaga untuk marah. Setelah berdiri dengan segala usaha ku aku menatap Fauzan yang baru saja naik -dia menolongku si orang kedua yang adalah istrinya yang seharusnya paling utama ia selamatkan-.

"Kau gila apa?, kau bisa berenang seharusnya kau segera menepi bukan berhenti menggerakkan kakimu dan tenggelam dibawah sana!"

Aku geram!. Bukannya bersimpati aku hampir mati dia malah memarahiku didepan orang-orang. Suaraku tidak mendukung untuk balas memarahinya. ku lempar tas yang jatuh bersamaku ke arahnya. Menatapnya yang sama berangnya denganku.

Aku menangis, tapi aku tidak akan mengeluarkan tangisan cengengku didepannya. "Aku menerima menikah denganmu karna kufikir hanya kau yang bisa menerimaku apa-adanya. Ku fikir kau akan tetap seperti Fauzan sahabatku yang tidak peduli aku seburuk apa, kau tetap ada untukku. Tapi saat ini aku tau semua, aku sudah tau!. Kau sama saja dengan lainnya. Bahkan kau lebih parah!!"

Aku meninggalkannya begitu saja. Tanpa menoleh seperti biasa aku lakukan agar ia mengejarku atau membujukku. Aku tidak ingin orang seperti itu lagi, aku tidak ingin diperlakukan seperti ini lagi. Aku benci sebenci bencinya pada dia. Menghilang selamanya adalah cara terbaik menghilangkan sakit hati.

"Tamara!"

Itu bahkan bukan suara Fauzan.

(Bersambung... -6-)

THE COFFEE  EFFECT (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang