8. NGOBROL

11.5K 870 34
                                    

JACOB POV

Aku bingung menjelaskannya pada Chef Airin, proses bagaimana aku bisa kenal dengan anaknya: Swista.

Aku melihat ke arah Swista, ia duduk kaku di samping mamanya. Mau tak mau, aku harus berbohong. Bercerita sesungguhnya pasti tidak baik, meskipun aku dan Swista tidak melakukan apa-apa, yang namanya orang tua pasti curigaan.

"Kenal dari pesta ulang tahun temen, Tante." Jawabku.

Chef Airin mengangguk. Kemudian kami ngobrol santai seputar dunia kuliner. Chef Airin juga menanyakan padaku tentang kabar aku akan membuka resto baru di Milan. Well, itu baru rencana. Heran juga aku kenapa beliau bisa tau.

Aku menengok kebelakang, melihat Swista sedang menyuapi Kakaknya, Joshua. Agak heran juga aku, Swista bilang ia tidak terlalu akrab dengan keluarganya. Tapi saat ini aku melihat keluarga ini baik-baik saja. Walaupun memang saat di Cafe Jimmy, Swista dan Joshua terlihat bertengkar. Tapi sepertinya wajar kalau adik-kakak bertengkar. Aku dan Lucy saja kalau bertengkar sampai jambak-jambakan. Well, Lucy yang jambakku dan aku berusaha memeluknya erat agar ia tidak bisa bergerak.

Karena merasa tidak enak menganggu keakraban keluarga ini, akhirnya aku pamit pulang.

***

Swista calling...

Ponselku bergetar saat aku selesai menyelesaikan dinner service di Seven Sheaves. Nama Swista muncul di layar. Aku segera mengangkat panggilan itu.

"Ya, Swis? Kenapa?" Jawabku. Ini sudah hampir dua bulan sejak pertemuan kita di Rumah Sakit dan sebulan terakhir ini aku sangat dekat dengannya. Tapi hanya sebatas nongkrong bareng dan nonton bareng. Belum lebih.

"Dimana? Sibuk ga?"

"Di resto. Udah beres sih ini. Kenapa?"

"Ke Suicide yuk? Bete nih." Ajaknya.

"Oke, kamu di mana?" Tanyaku.

"Masih di kantor sih. Mau dijemput? Mobil kamu masih di bengkel kan?" Tanyanya.

Ya, mobilku di tabrak 2 hari yang lalu, jadi Range Rover kesayanganku itu harus nginep di bengkel.

"Boleh. Repotin ga?"

"Yaelah santai aja kali." Katanya.

"Okeee sip."

"Yoo! Aku otw yaa biar kamu ga nunggu kelamaan."

Kemudian telefonnya terputus.
Aku menuju loker untuk mengganti chef jacket-ku dengan baju santai.

Seven Sheaves masih ramai. Padahal ini sudah lewat jam makan malam. Tugas chef pun sudah aku berikan pada Martin, sous chef.

Aku keluar duduk di bawah pohon dekat parkiran khusus chef, ngobrol sama satpam seputar ini-itu-anu. Sampai akhirmya aku melihat mobil mini cooper putih berhenti di dekat pintu masuk.

"Pak, saya dulun ya!" Seruku pada Pak Dedi, satpam Seven Sheaves.

Aku berdiri di pinggir jalan, Swista keluar dari mobilnya.

"Mau nyetir ga? Kaki aku keram." Katanya dengan muka yang lucu. Aku hanya mengangguk.

Lalu ia masuk ke jok penumpang dan aku masuk ke jok pengemudi. Dasar pendek!! Bangkunya maju banget ini. Aku lalu mengatur posisi joknya sedikit mundur agar kakiku bisa bergerak bebas.

"Sorry ya!" Katanya.

"Santai aja sih!"

Aku mengemudikan mobilnya ke Suicide. Tak butuh waktu lama untuk sampai di club ini.

DESTINY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang