Why do some people really like to make simple things complicated?
🌼🌼🌼
Sore itu, Alyssa Winata menjadi satu-satunya anak perempuan yang duduk sendirian di bench pinggir lapangan, sementara ia dikelilingi oleh segerombolan anak laki-laki yang tengah memerhatikan tim cheerleaders sekolah mereka latihan untuk persiapan kompetisi yang akan dihadapi minggu depan.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu setengah jam yang lalu. Tak ayal, suasana di sekolah saat ini sudah sangat sepi sekali. Tidak seperti para anak laki-laki yang masih berada di sini dikarenakan harus menunggu pacar mereka masing-masing selesai latihan, Alyssa justru dimintai tolong oleh Rachel—sahabatnya yang juga termasuk ke dalam anggota tim cheerleaders—untuk merekam video latihan hari ini supaya Rachel bisa me-review gerakannya di rumah dan menilai bagian mana yang harus ditingkatkan. Apalagi kali ini Rachel berperan sebagai flyer yang artinya diposisikan sebagai top dan harus dilempar ke udara beberapa kali. Rachel harus memastikan gerakannya stabil dan performanya benar-benar maksimal. Pasalnya, kompetisi minggu depan sangat penting bagi semua anggota tim cheerleaders yang telah berlatih dengan begitu giat sejak berbulan-bulan yang lalu dalam mempersiapkannya.
Sejujurnya, di luar dari alasan tersebut, Alyssa juga sudah terbiasa menunggu Rachel latihan dengan timnya sepulang sekolah di hari di mana ia tidak sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Belakangan, Rachel yang baru diperbolehkan mengendarai mobilnya sendiri—yang menjadi hadiah ulang tahunnya pada tahun kemarin—menawarkan diri kepada Alyssa untuk pergi dan pulang sekolah bersama setiap hari. Dan, untung saja letak rumah mereka tidak terlalu berjauhan. Maka dari itu, terkadang Alyssa harus menunggu Rachel menyelesaikan kegiatannya lebih dahulu, ataupun sebaliknya.
Alyssa dan Rachel telah mengenal satu sama lain bahkan ketika mereka berdua masih sama-sama dalam kandungan. Kedua ibu mereka yang sudah bersahabat sejak masih muda dahulu membuat mereka yang sama-sama melahirkan anak perempuan di tahun yang sama juga merasa begitu gembira. Secara otomatis, kedua anak perempuan tersebut pun menjadi dekat dan melanjutkan kembali tali persahabatan yang sudah dibina sejak lama itu. Mereka memiliki dokter keluarga yang sama, selalu pergi ke sekolah yang sama, memiliki hobi berenang yang sama, tak jarang memiliki baju yang kembar satu sama lain, dan keluarga mereka pun sering mengadakan acara jamuan makan malam bersama. Sedekat itu.
Kalau bisa diibaratkan, mereka sudah seperti dua saudara kembar yang lahir dari rahim yang berbeda.
"Dengerin apa, sih?"
Suara itu tidak seketika membuat Alyssa tersentak. Sayup-sayup ia mendengar suara seorang laki-laki yang tiba-tiba duduk di tempat kosong yang ada di sampingnya, Alyssa pun menolehkan kepala.
Laki-laki itu menarik earphone dari telinga kiri Alyssa dan menyumpalkannya ke telinganya. Dengan mata terpejam, ia menikmati musik yang saat ini sedang mengalun.
Mata Alyssa diam-diam mengamati sosok Diego Orion yang kini sedang menganggukkan kepala mengikuti dentuman ritme lagu Afterlife dari Avenged Sevenfold.
"Avenged Sevenfold?"
Alyssa menggumam, "Mm-hmm."
"Gue kira selera musik lo lebih cenderung... yang kayak... cewek banget gitu," Laki-laki itu memberi penekanan pada kata 'cewek' dengan begitu jelas melalui gestur kutipan melalui jarinya. Ia melepas earphone tersebut seiring dengan gerakan Alyssa yang mematikan musik dari ponselnya dan menggulung earphone dengan hati-hati.
Alyssa terkekeh pelan. "Emangnya cewek-cewek nggak boleh suka Avenged Sevenfold?"
Diego memutar kedua matanya. "Bukan begitu. Tapi, seorang cewek yang hobinya baca novel fiksi cinta-cintaan, penggemar berat film-film Rachel McAdams dan chickflicks lainnya... kok, bisa sukanya dengerin lagu metalcore kayak gini?"
Alyssa mendecih. "Kecintaan gue terhadap musik itu nggak sebatas genre doang. Kalau lagunya menurut gue bagus, yah, gue dengerin. Music shouldn't have any boundaries, istilahnya."
Diego mengangguk setuju. Seulas senyum perlahan muncul di wajah tampannya. "Oke, gue mesti setuju untuk alasan yang satu itu. Bisa didebatkan."
Kali ini, mata Alyssa memindai penampilan Diego. Kemeja putihnya tidak dimasukkan ke celana selayaknya peraturan yang sudah ditetapkan oleh sekolah, seutas gelang kayu gaharu melingkar di pergelangan tangan kanan, dan terdapat satu batang rokok yang baru tersulut di sela-sela jemarinya.
Menyadari bahwa perhatian Alyssa saat ini jatuh kepada rokok yang baru saja ia hirup, sontak Diego buru-buru mematikannya dengan cara menginjaknya.
"Eh, sorry, sorry, gue lupa," ucapnya merasa bersalah.
Alyssa menggelengkan kepala seraya mendecak tak habis pikir. Beginilah benefit yang Diego Orion miliki karena statusnya sebagai anak tunggal pemilik sekolah privat bergensi ini. Meskipun penampilan dan kelakuannya tidak mencerminkan sewajarnya anak sekolah yang baik dan patuh terhadap aturan, ia tetap tidak tersentuh oleh guru-guru. Alyssa yakin, Diego merupakan satu-satunya murid di sekolah ini yang tidak pernah dihukum meskipun sering datang terlambat, bolos sekolah, atau bahkan tidak memerhatikan dan bermain ponsel saat jam pelajaran berlangsung. Diego terkadang bisa berlaku sesuka hatinya hanya karena merasa tidak akan ada guru yang berani memarahinya. Oleh sebab itu, Alyssa menganggap bahwa dirinyalah yang sebaiknya berperan sebagai orang yang selalu memeringati perilaku laki-laki itu di sekolah.
Alyssa memulai khotbahnya lagi, "Gue, kan, udah pernah bilang sebelumnya. Gue nggak peduli lo merokok atau enggak, yang pasti jangan merokok di depan gue atau waktu di sekolah."
"Iya, Bu Guru," cemooh Diego dengan senyum usilnya.
Alyssa mengangkat tangannya di udara, putus asa. "Lo, tuh, ya. Dasar."
Diego terbahak lagi. "Omong-omong, lo nungguin Rachel, ya?"
"Iya, nungguin Rachel. Lo juga?" Alyssa bertanya balik.
Diego berusaha menahan tawanya. "Enggak, lah. Nungguin dia," laki-laki itu menunjuk seseorang menggunakan dagunya.
Alyssa mengikuti arah pandangnya dan mendapati sosok seorang perempuan sedang berjalan menujunnya dan Diego. Air mukanya tidak terlihat senang saat menatap Alyssa duduk berdampingan dengan pacarnya. Kontan, Alyssa menjauhkan posisi duduknya dan memalingkan wajah ke arah lain.
"Pasti capek, ya?" Diego bangkit dari duduknya dan jemarinya membelai rambut perempuan itu, menyisipkan beberapa helai rambutnya yang mencuat keluar dari ponytail ke belakang telinga.
Perempuan yang Alyssa kenali bernama Jessi itu adalah pacar Diego selama satu bulan ini. Mengetahui sejarah Diego dalam berhubungan, biasanya laki-laki itu akan mematahkan hati Jessi minggu depan. Diego berganti pacar sesering Rachel merayu ayahnya agar diizinkan menyelenggarakan pesta ulang tahun, yang akan tiba tiga bulan lagi, bertema beach party.
"Sa, ayo, pulang. Aku udah selesai," ujar Rachel yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya.
Alyssa mendongak dan langsung memakai tasnya. "Oh, iya, iya."
Saat Rachel berjalan melewati Diego, ia berkata pada sepupunya itu, "Balik, ya, Go."
Diego mengangguk, sekilas ekor matanya mengikuti sosok Alyssa. Ia mengedipkan sebelah matanya saat gadis itu balik menatapnya.
Alyssa yakin Jessi menyadarinya, ia pun buru-buru mempercepat langkah sebelum cakar Jessi berhasil menancap ke tubuhnya.
🌼🌼🌼
"And I promised myself I wouldn't let
you complete me..."Halsey – Is There Somewhere