The Last Day

178 4 0
                                    

          Tanggal 16 januari. 4 Hari lagi Dinar akan terbangun dari tidur panjangnya. Susana pagi begitu sejuk, ditemani angin dan embun terasa sekali jika Dinar akan segera menyelesaikan tugasnya menjadi malaikat penjemput roh. Dinar masih melayang-layang diatas, tertiup oleh angin. Menyanyikan lagu kebahagiaan. Tidak halnya dengan Rizael, mukanya yang pucat pias sedang memperhatikan kelakuan Dinar, Rizael menggrutu sendiri,
"Kasihan sekali anak itu, padahal 4 hari lagi dia akan kembali sadar dari koma nya, tetapi dia masih tidak tahu apa persyaratan yang ke 5." Rizael pun menghilang. Disusul dengan Dinar yang menghilang pergi ke RUSD Bandung untuk menjenguk kedua orang tuanya dan kekasihnya Nadya.

          Sesamapinya di RS, Dinar tersenyum kasihan melihat ibunya yang sangat kelelahan lalu ayahnya yang sedang nyenyak tertidur. Tetapi Dinar tidak melihat Nadya, dihatinya Dinar bertanya "Kemana Nadya? Biasanya dia selalu datang, apakah dia sedang kerja kelompok? Tapi kan sekolah saat ini sedang libur dan tidak ada tugas setahuku, ah sudahlah mungkin dia masih tidur di hotel." Dinar pun menghilang

          Pekerjaan Malaikat Penjemput Roh adalah untuk menjemput roh dari mereka yang telah mati serta mengantarkannya ke surga jika Roh itu semasa hidupnya penuh dengan kebaikan dan taat kepada perintah Tuhan.

          Di hari ini Dinar mendapatkan tugas terakhirnya, kali ini dia akan menjemput roh seorang gadis kecil yang dimana awalnya.
          Suara riuh tepuk tangan mengisi setiap barisan para penonton siang itu. Dinar menelengkan kepala usai ia bertepuk tangan bersama para audience lain yang memadati ruangan sebuah sekolah. Senyum cerah Dinar perlahan pudar, menyisakan kerutan samar pada dahinya seiring dengan pandangannya yang menatap salah satu dari ketiga pemenang kontes piano di depan sana. Ya, Dinar tengah memaku pandangannya pada sosok anak kecil di depan sana. Ekspresi anak itu tampak kecewa. Tapi, kenapa? Bukankah meraih juara dua dengan selisih nilai tipis sudah merupakan pencapaian yang hebat? Dinar menelan kembali pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di kepalanya saat acara selesai, para audience lain mulai berdiri dan beranjak meninggalkan gedung. Ia pun menarik dirinya berdiri, beralih keluar dengan membaur bersama kerumunan manusia yang lain.

                                      ***
          Malamnya sorotan Dinar memandang datar pada sosok bocah yang memunggunginya. Bocah itu duduk menghadap sebuah piano di sudut kamar, tengah menarikan jemarinya di atas tuts piano, memainkan lagu Butterfly Etude milik Chopin. Bukannya menunjukkan kehangatan saat memainkannya, Dinar malah menangkap kesedihan di dalam setiap lantunan lagu yang anak kecil itu mainkan. Alih-alih terdengar ceria seperti seharusnya, lantunan piano itu malah terdengar suram di telinga Dinar. Usai memejamkan mata sesaat, Dinar yang tak tahan mendengarnya pun beralih masuk. Ia menggeser pintu kaca di depannya yang menghubungkan balkon dengan dalam kamar itu. Begitu saja, membuat anak itu sontak menghentikan permainannya dan menolehkan kepala.
          Manis. Itulah satu kesimpulan Dinar mengenai sosok manusia di hadapannya ini. "Lagu yang ceria. Tapi kenapa kau memainkannya dengan begitu sedih?" Dinar angkat bicara setelah ia melangkah dan berdiri di samping piano, di dekat anak kecil manis itu. Dahinya berkerut samar. "Siapa kau?" Tanggap anak kecil itu, tak mengindahkan kalimat Dinar sebelumnya.
Sebuah pertanyaan yang wajar. Dinar mengulas senyum sebelum menjawab singkat. "Dinar Alamsyah." Sejenak menaikkan alis, bocah itu kemudian membuang muka dan beralih menghadap pianonya. "Aku tak mengenalmu!" Tukasnya, bersiap kembali memainkan sebuah lagu, tak menghiraukan Dinar. Baru satu tuts anak kecil itu tekan, kalimat Dinar kembali membuatnya berhenti dan mengalihkan seluruh perhatiannya pada pemuda tinggi yang tengah mencondongkan tubuh ke arahnya "Kau akan mengenalku, Rita Gempita~"
"Ba-bagaimana kau tahu namaku!?" Anak itu sedikit memundurkan tubuh mungilnya.
"Itu hal yang mudah bagiku." Tanggap Dinar kemudian, menjawab pertanyaan Rita. Menarik tubuh tingginya berdiri tegap, Dinar kemudian mengerling. "Mau memainkan satu lagu untukku?"
"Aku tak berkewa... Tunggu! Bagaimana kau bisa sampai sini?! Ini lantai lima!" Sergahan dengan berbagai nada meluncur begitu saja dari mulut anak kecil itu, yang mewakili setiap perasaannya. Malas, terkejut, dan heran.
     Rita segera menunjukkan ekspresi kesalnya saat telinganya menangkap tawa dari pemuda tinggi itu. "hhahahaha~" Dinar tak dapat menyimpan gelak tawanya kala mendapati anak kecil yang tampak dingin di depannya ini ternyata begitu ekspresif. Tentu saja bisa. Karena aku Malaikat, Tutur Dinar yang membuat bocah itu memandangnya lurus dengan pandangan bosan.
"Huh? Haha." Kini giliran Rita menyumbang tawanya. Sebuah tawa hambar. "Jangan bercanda! Mana ada yang seperti itu?" Tanggapnya sarkastik.
"Ada kok!" Seru Dinar tak mau kalah. Rita kemudian mendongakkan kepalanya, menatap pemuda yang menjulang di sampingnya itu lurus. "Buktikan!" Tuntutnya. "Perlihatkan sayapmu. Setiap Malaikat punya sayap, kan?"
Eh?! Dinar membuang pandangan, melirik sudut kamar, menghindari tatapan dari anak kecil itu. Ia kemudian mengulas senyum canggung. Dinar tahu ia tidak bisa. Ia tidak bisa memperlihatkan sayapnya begitu saja. "Maaf Anak yang manis, tapi aku tidak bisa." Lirih Dinar akhirnya.
Mendengarnya, anak kecil yang manis itu mendengus. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya, kembali menatap piano di depannya, kembali pada kesibukannya semula. Membalik-balik halaman score music di depannya, Rita kembali menarikan jemari panjangnya, membiarkan lantunan La Fille Aux Cheveux De Lin milik Claude Debussy mengisi kubikel kamarnya yang kembali sunyi.

Malaikat Penjemput RohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang