01

136 30 12
                                    

   Kamar berukuran empat kali empat itu terlihan cukup berantakan, kalau bukan karena pendingin ruangan mungkin takkan ada yang sanggup berada di dalam kamar itu lebih dari tiga menit.

      Sementara itu, tanpa memperdulikan keadaan kamar yang serancu itu. Izumi Murakami dan Nase Murakami beradu tatap di atas kasur, keduanya duduk berhadapan, wajah mereka terlihat serius.

   "Jadi..ada apa...?" tanya Nase Murakami santai, mata adiknya mendelik tajam.

   "Siapa yang bilang aku akan cerita padamu bodoh!" jawab Izumi ketus, ia menolak...namum wajahnya berkata lain.

    "Perlu kupeluk?..." Nase bertanya setelah Izumi terdiam cukup lama.

    "dasar!" Izumi beranjak turun dari kasur, berjalan beberapa langkah mendekati plastik putih berlogo minimarket yang tergeletak di atas meja kayu bulat sebelum mengambil dua kaleng kopi black dan melemparkan salah satu ke arah kakaknya.

    "Kemarin aku menyatakan perasaanku pada Azuki..." Izumi belum sempat menyelesaikan ucapanya saat Nase memotong datar.

    "Kau di tolak...aku tau itu..., teruskan..."

     'Cih!' Izumi terdiam, bola mata hitamnya menatap wajah Nase Murakami yang terbalut pony-tail hitam.

      "Jangan bilang hanya karena itu kau sampai seperti ini?" mendengar pertanyaan kakaknya Izumi terdiam sambil mengambil sebuah buku hitam dari bawah bantal.

    "Aku tidak selemah itu bodoh...lihat buku ini!..." balas Izumi sebelum menyodorkan buku hitam itu ke tangan halus Nase Murakami, salah satu alis tipis Nase terangkat naik.

    "Hmm...hebat juga..bagaimana kau bisa dapat diary Kunikida?" mata Izumi melebar kaget mendengar ucapan kakaknya, Kunikida Ayato!? Pacar kakaknya itu!?...bagaimana bisa!?? jelas-jelas tulisanya milik Azuki Narumi saat ia membacanya.

   "Apa maksudmu !?bukanya jelas disitu tertulis milik Azuki Narumi!~?" Izumi menyeringai, bola matanya menatap kesal kakak perempuanya yang masih membolak-balik lembaran diary di pangkuan sambil menyesap black kopi kalengan di tanganya yang bebas.

    "Hoo..jadi Kunikida sudah menyukaiku sejak dulu ya..hmm..." merasa tak dihiraukan Izumi baru hendak merebut diary itu sebelum pertanyaan Nase Murakami menyegel amarahnya.

   "Kau bilang saat kau membacanya nama Azuki tertulis disini?...coba jelaskan! lagipula bagaimana kau dapat memiliki diary Kunikida..ia tak pernah meninggalkan diarynya dan ia sudah dinyatakan meninggal dalam kecelakaan kapal satu setengah tahun yang lalu?"

    'Dasar!...kau pura-pura kuat lagi' batin Izumi saat kakaknya menutup diary itu dan menatap matanya fokus. Izumi menghela nafas panjang sebelum meneguk kopi sekali dan mulai menceritakan kejadian saat ia menemukan diary misterius itu hingga Azuki yang sampai pulang sekolah mengingkari kepemilikanya.

    "Begitu ya..." Nase Murakami meneguk habis kopi sebelum berdiri dan membiarkan diary hitam itu tergeletak di sisi kasur. Tatapanya berubah sendu.

    "Apanya yang...hmm begitu... bodoh!? kau tau sesuatu?.."tanya Izumi kesal.

    "Aku sudah dua bulan ini pacaran dengan Kobayakawa Matsune...aku menerimanya karena kupikir itu akan dapat menghilangkan perasaanku pada..."bola mata Izumi hanya menatap kesal punggung kakanya dari belakang.

    "Aku tak bertanya soal itu..."Nase murakami tak berbalik mendengar ucapan Izumi.

    "Bukanya sudah jelas..."nada bicara Nase berubah, dahi Izumi berkerut binggung.

     "Apa maksudmu?"

     "Diary itu...entah bagaimana..."

     "...akan menjadi diary orang yang dicintai oleh pembawanya..." tanpa berkata apa-apa lagi Nase Murakami berjalan keluar kamar meninggalkan Izumi yang masih terdiam.

     "Hoi!...kau tak apa?!..." Izumi berteriak menyusul kakaknya saat melihat pendaran air di tangan halus Nase Murakami yang tengah menutup pintu, namum saat Izumi hendak membukanya pintu itu sudah terkunci dari luar.

   Terdengar suara sesuatu yang merosot turun di luar pintu yang bergabung dengan suara tangisan sendu.

   'Ckk..dasar bodoh!...'

                            ***
     Perlahan beberapa warna buram mulai nampak keluar dari kegelapan, sebelum segala sesuatunya nampak jelas Izumi Murakami terpaksa menutup mata kembali saat kakaknya Nase Murakami membuka korden putih bermotif bangau di kamarnya dan membuat sinar matahari pagi menyeruak masuk.

   Bayangan dari guguran dedaunan di luar nampak terseret turun di tubuh kakaknya yang tengah tersenyum manis.

   "Pagi..., sarapanya sudah siap dua menit tiga puluh dua detik yang lalu...." Izumi menghela nafas mendengar ucapan kakaknya yang tengah bersandar di pintu kamarnya yang berwarna cokelat gelap.

    "Kau kerasukan kappa rumah tangga ya...? setahuku itu kata-kata yang wajib kau dengar setiap pagi sejak kita tinggal terpisah dari ayah dan ibu..." balas Izumi datar sambil menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, terdengar suara buku yang terjatuh.

    "Mengintip diary orang lain itu buruk lho...baiklah, akan kutunggu di bawah.." Nase Murakami baru hendak menutup pintu dan beranjak pergi saat ucapan Izumi menghentikannya.

     "Tunggu!..." suara Izumi terdengar parau.
     
      "Kemarin..." mendengar Izumi melanjutkan kata-katanya Nase murakami membuang wajah.

       "Cukup!...aku ingin tersenyum pagi ini izumi.." Nase Murakami berbicara saat menutup pintu itu pelan.

     "Kau masih mendengarku kan?!!" Izumi berteriak walau ia tak yakin Nase Murakami dapat mendengar suaranya.

      "kemarin setelah kau keluar diarynya terbuka dan aku belum menyentuhnya!...lalu kebetulan yang terbuka adalah halaman terakhir tulisan...tu..tulisanya bertambah seolah tertulis sendiri oleh hantu...itu berarti kunikida itu masih hidup kan!!?...oi baka!...kau masih disitu!?"

     Tak ada sedikitpun suara.

   'Cih...dia sudah turun...' batin Izumi sambil melangkahkan kakinya yang putih kurus ke kamar mandi.

    Sementara di balik pintu kayu cokelat itu Nase Murakami menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, satu tetes air mengalir turun sebelum menetes di atas lantai.
    
                          ***
          

MIRROR DIARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang