☆The End?☆

58 7 0
                                    

Aku dan kamu terhubung oleh seutas tali tak nampak,
saling terikat hingga seluruh sudut dunia merasakan betapa manisnya dirimu dalam setiap gerak mungilmu.

Kamu begitu dekat, sedekat nadi dengan jantung.
Kamu begitu jauh, sejauh aku dengan khayalku.

.
.
.
.
.

Langit sore ini terlihat anggun. Segurat awan bercengkerama menanti malam di antara ceruk langit senja yang gemerlap. Angin berhembus lembut memainkan rambut-rambut kecil di sekitar wajahku. Aku duduk di sebuah bangku di taman kota yang rindang.

"Mama, aku haus."

Aku tersenyum memandang gadis kecil yang merajuk padaku dengan mata bulatnya. Kubawa dia ke pangkuanku dan memberinya susu vanilla, kesukaannya. Anak manis ini jarang kuajak keluar karena cuaca yang tidak menentu, tetapi tidak untuk hari ini. Cuaca seindah ini tak akan kulewatkan untuknya.

"Nah, sekarang kamu bisa main lagi," ujarku sembari mengusap puncak kepalanya.

"Ma, ikut." Ia menarik ujung mantel abu-abuku yang menjuntai ke bawah, memintaku untuk ikut dengannya. Aku berjalan mengikuti langkah kecilnya.

Sesampainya di tempat bermain, ia melepas genggamannya dan berlari kecil menuju ayunan. Aku memperhatikannya sambil bersandar pada sebuah tiang. Ia terlihat begitu gembira. Dengan cepat, ia berlari lagi menuju kuda-kudaan. Aku tertawa melihat tingkahnya. Ia juga bersalaman dengan seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Ah, gadis itu. Kecil-kecil sudah bisa menarik perhatian lelaki.

Aku memperhatikan lagi. Setelah bersalaman, anak laki-laki itu berlari ke arah seorang pria yang kutebak adalah ayahnya. Ia menarik mantel si pria dan mengajaknya ke arah yang ditunjuk oleh anak laki-laki itu.

Jari telunjuk mungil itu mengarah pada anakku. Aku tidak khawatir. Pria itu terlihat baik, seperti suamiku. Pria itu berlutut di depan gadis mungilku, lalu tersenyum dan berbicara sesuatu. Gadisku menunjuk ke arahku, dan pria itu mengarahkan pandangannya padaku.

Apa ini?
Rasanya seperti mengulang sesuatu.

Pria itu beranjak, lalu berjalan ke arahku. Semakin dekat, semakin jelas siapa yang berjalan sambil menatapku.

"P-Park Ji-"

"Selamat sore," potongnya sembari menganggukkan kepala.

Aku terdiam.

Apa aku salah lihat?

"Ah, sudah lama sekali ya?"

Aku masih bergeming.

Kenapa? Kenapa seperti ini?

"Ternyata kau masih mengenaliku," sambungnya lagi.

"Tidak juga." Aku pura-pura mengelak, tertawa singkat.

"Sudah sepuluh tahun yang lalu, tapi kamu masih mengenaliku."

Aku tersenyum, memandang anakku yang sedang memeluk kakiku. Terlihat juga anak laki-laki tadi sedang berjalan ke arah pria yang berada di depanku.

Rasanya ingin membanjiri pipi. Tapi, di depan si kecil, mana mungkin?

"Oh iya, di mana suamimu?" tanyanya.

Aku hanya menggeleng.

"Kerja?"

Aku kembali menggeleng.

"Kata Mama, Papa ada di tempat yang indaaah sekali. Namanya surga. Papa bahagia di sana. Iya kan, Ma?" Gadisku yang pandai, terimakasih telah membantu Mama. Aku mengangguk sembari menggendong anakku.

"Ah, aku minta maaf," ucap pria itu sambil merunduk.

"Tidak apa-apa. Lagipula sudah dua tahun yang lalu." Aku menggeleng, lalu tersenyum.

Kami semua diam, menikmati angin sore dan suasana canggung yang diliputi rasa rindu. Aku mempererat pelukanku pada buah hatiku satu-satunya.

"Ehm- di mana istrimu?" Aku bertanya, memecah keheningan. Ia menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal.

"Istriku- tidak, sekarang bukan lagi. Dia pergi tanpa pamit beberapa minggu setelah jagoan kecil ini lahir," jawabnya.

Ah, senasib?

"Maaf."

Aku memandang anaknya yang sedang tertidur. Sepertinya baru beberapa menit yang lalu dia berlarian di taman.

"Tak apa, aku sudah melepasnya. Aku juga sudah mendapat surat cerai meskipun aku tidak mengikuti sidang sama sekali. Aneh ya?"

Aku merasa bersalah telah bertanya.

"Ma, laper," gerutu gadisku sambil menarik kerah mantelku.

"Iya, sayang, habis ini kita makan, ya?" Kemudian gadis mungil menenggelamkan kepalanya dalam pelukanku.

"Kamu sudah menemukan kebahagiaanmu sendiri. Terima kasih karena sudah bahagia," ujar pria itu lembut.

Terenyuh? Bukan.
Terharu? Tidak.

Perasaan ini, apa namanya?
Ketika dunia terasa senyap dan hanya ada suara dari seseorang yang seharusnya tidak sedekat ini.

Senyum itu, terus terukir. Aku memang mencintainya, tapi itu masa lalu. Kisah manis sepuluh tahun yang lalu.

"Aku juga, berterimakasih padamu. Jagoanmu itu pasti bangga memiliki seorang ayah seperti dirimu," jawabku sambil menganggukan kepala.

Ia tersenyum, lalu bergumam sesuatu. Ia menyebutkan namaku. Aku juga ikut tersenyum, menyebutkan namanya.

"Park Jimin."

Kami berjalan berlawanan arah. Ini adalah akhir dari segala awal. Punggung kami saling bertatapan dan buah hati kami masing-masing terlelap dalam dekapan kami.

ㅂ ㅌ ㅅ

Masa lalu tetap masa lalu.
Jika memang dia bukan cinta sejatimu, lalu kamu bisa apa?
Tuhan akan berikan kebahagiaan,
melebihi ekspektasimu mengenai kebahagiaan itu sendiri.

ㅇㅇㅇㅇㅇ

mungkin kalian bertanya; kenapa ada tanda bintang di judulnya?

hehe, cerita ini pernah gua ikutin lomba fiksi mini. and u know what? gua dapet juara 3 dari sekian banyak peserta, dengan umur yang jauh di atas gua dan sudah berpengalaman di dunia tulis menulis. jelas gua shock. tapi, ini satu pengalaman yang menyenangkan.

satu lagi, ceritanya sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen yang lolos seleksi. judul bukunya "Vermillion-Batu Lezat".

jadi, tanda bintang ini menandakan kalau cerita ini premium wkwk. gua ga bakal ngunci cerita ini, karena setiap orang berhak buat baca. dulunya, cerita 'The End?' ini juga dari wattpad gua (taun 2016) tapi iseng diikutin lomba. makanya gua unpublish waktu itu. tapi karena (tbh) buku itu yah, ga booming (tbh juga gua ga beli) gua mau publish ceritanya di wattpad. mengesampingkan perjanjian yang telah dibuat antara penulis dan penerbit, hak cipta cerita ini tetep ada di gua.

jadi,

HAPPY READING!

trima kasyi semua💜

JIVANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang