Sarapan

60 9 0
                                    

Bumi hanya satu
Aku punya satu jantung
Kamu juga cuma satu
Kalau kamu hilang, lalu aku bagaimana?

.
.
.
.
.

Cahaya matahari pagi menyelinap sedikit dari balik tirai jendela sebuah kamar bernuansa cream. Sinar cerah itu menyapa wajah seorang perempuan, membuatnya terbangun. Dengan setengah nyawa, ia bangkit dari peraduannya menuju ke luar kamar.

Saat sedang menuruni tangga, ia mendengar suara dentingan sendok kepada piring dari arah dapur. Perempuan itu mengusap matanya dengan punggung tangan sambil berjalan menuju dapur.

Dari kejauhan, ia melihat seseorang dengan punggung lebar, mengenakan kaus berwarna broken white, sedang sibuk di area kompor. Entah sedang apa. Yang jelas, keberadaan orang itu membuat perempuan itu tersenyum.

"Selamat pagi," ucap si perempuan sambil memeluk orang itu dari belakang.

Orang itu terlonjak sedikit karena terkejut. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang perempuan bertubuh mungil sedang menenggelamkan wajahnya di punggungnya.

"Pagi," jawab orang itu, "Ingin sarapan apa?"

Perempuan itu menggeleng.

"Aku belum lapar."

"Bohong," balas orang itu.

"Kau tahu aku, kan, Deon?"

Perempuan itu tertawa ringan. Ia melepas tautan tangannya kemudian duduk di bar dekat dapur.

"Apa saja," ujar perempuan itu, "Apa yang kau sajikan akan kusantap."

Lelaki bernama Deon itu menghentikan aktivitasnya kemudian memutar posisinya menghadap si perempuan.

"Apa saja?" tanya lelaki itu.

Perempuan itu mengangguk.

"Ya, apa saja."

Deon tersenyum ㅡbukan, menyeringai. Ia melangkah maju menuju bar dan berdiri persis di depan perempuan itu sambil bertopang di meja.

"Bagaimana kalau ㅡaku?"

"OHOOOKK!!"

Si perempuan yang sedang meneguk air putih langsung tersedak begitu mendengar pertanyaan ㅡyang lebih terdengar seperti pernyataanㅡ dari Deon. Lelaki itu langsung tertawa keras sambil membantu membersihkan air yang tumpah.

"Bajingan," desis si perempuan.

Deon hanya terkekeh kemudian melanjutkan masak memasak yang tadi ia tinggalkan.

Perempuan itu menopang dagu dengan kedua tangannya, kemudian menatap Deon lamat-lamat.

Sungguhkah?
Dia; terindah dari yang paling indah
Dia; bersinar hingga matahari tak berani melawan
Dia; dengan hati tulusnya menjadikanku satu dengan hidupnya

Benarkah dia?

"Sudah matang!" seru lelaki bersurai cokelat gelap sambil membawa piring di kedua tangannya. Ia menaruh dua piring berwarna putih ke atas meja kemudian duduk berseberangan dengan si perempuan.

Perempuan itu memandang hidangan sederhana yang tersaji di hadapannya; roti panggang dengan telur mata sapi ㅡjuga memandangi lelaki tampan di hadapannya.

"Apa kamu kenyang hanya makan seperti ini?" tanya si perempuan.

Deon tersenyum, menampilkan geliginya yang rapi.

"Kamu yang bilang kemarin kalau tidak bisa sarapan dengan nasi. Jadi, aku siapkan roti. Tidak apa-apa, kan?"

Perempuan itu mengerutkan keningnya.

"Bukan aku, Gideon. Tapi kamu," balas si perempuan, "Apa kamu cukup?"

Lelaki itu mengangguk ringan.

"Apapun yang istriku makan, pasti cukup untukku," ujar lelaki itu sambil mengusap pipi perempuan di hadapannya.

"Jangan mulai," tutur perempuan itu sambil melirik tajam.

Deon mencubit pipi orang di hadapannya dengan gemas.

"Oh, jangan galak-galak gadisku," ucap Deon lucu, "Kamu tahu aku lebih galak darimu."

"Jangan sebut aku gadis lagi! Aku sudah dewasa."

"Dewasa, ya..,"

"Apalagi? Jangan berpikir macam-macam!"

Lelaki itu tersenyum lembut sambil mengusap pipi istrinya yang paling ia sayang.

Bahkan segunung berlian bertekuk lutut, tak mampu mengalahkan indah dan berharganya dirimu.
Aku, yang hanya seorang lelaki biasa, bisa-bisanya memeluk karya Tuhan yang paling indah?

"Sayang, makan dulu. Yang di dalam sana sudah menunggu," ujar Gideon sambil mengedikkan dagunya ke arah perut perempuan di hadapannya.

Baru saja sang istri hendak menjawab, suaminya langsung berdiri, mengitari meja dan menghampiri si perempuan dengan peluk di sekujur tubuh dan cium di puncak kepala.

"Perlu kusuapi?"

Perempuan itu menggeleng sambil membelai perutnya yang kian hari kian besar.

"Nanti saja jika sudah saatnya, suapi si kecil yang cantik ini," ujar perempuan itu.

"Cantik? Oh, tidak!" seru Deon panik.

"Kenapa?"

"Dia tampan, sayang," balas lelaki bersurai cokelat itu sambil menjawil hidung istrinya.

Si perempuan mendadak bangkit berdiri, membuat Deon terkejut dan mundur sedikit.

"Ada apㅡ"

Hangat.

Perempuan itu membungkam sang suami dengan bibirnya yang ranum, layaknya stroberi ketika musim panen.

"Terserah," ujarnya. Napas perempuan itu menerpa wajah Deon lembut, "Cantik, tampan, atau keduanya sekaligus. Tidak masalah bagiku."

Deon menaikkan kedua alisnya sambil merengkuh sang istri ke dalam pelukannya.

"Jika aku merawat dan membesarkan mereka bersamamu, tidak masalah bagiku," lanjut perempuan itu.

Gelungan tangan sang lelaki yang melingkari tubuh si perempuan semakin erat dan hangat. Tubuhnya yang tinggi besar melingkupi sang istri ㅡjuga anak merekaㅡ dengan nyaman.

"Terima kasih, sayang, sudah mempercayakan seluruh hidupmu padaku yang sangat biasa ini," tutur Deon.

"Tidak. Aku yang sangat berterimakasih. Seseorang seperti dirimu mau menerima tanggungjawab besar seperti aku."

Dengan manik mata yang saling bertubrukan, cinta mereka menyatu dalam ikatan, bersama buah cinta mereka.

.
.
.
.
.

Tuhan yang menggariskan semuanya
Kisahmu, kisahku, kisah kita
Tak ada yang tahu, jika kamu akan merasakan hangatnya cinta seperti yang telah kamu baca;

atau dengan manusia yang namanya kamu baca beberapa menit yang lalu?

JIVANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang