Hujan

94 10 8
                                    

Hidup itu indah bukan karena seluruh dunia berpihak padamu
Hidup itu indah, karena kamu bisa menaklukan dunia.

.
.
.
.
.

Langit terlihat mendung. Awan gelap menggantung di seluruh sudut langit. Terlihat kilat menyambar galak, disusul jutaan air tumpah ruah membasahi bumi. Aku berlari melewati gerimis sambil melindungi kepala dengan Gucci hitam favoritku.

Aku tiba di sebuah halte bus dan berteduh di sana. Kugoyangkan sedikit kepalaku untuk mengurangi beban air di rambut. Aku memeluk tubuhku sendiri, dingin. Beberapa orang juga berteduh bersamaku, menghindari rintik air yang sebenarnya tidak bersalah apa-apa.

Kira-kira pukul empat sore, satu jam sejak aku tiba di halte. Namun hujan tak kunjung reda, justru semakin deras dan berangin. Aku hanya pasrah, duduk di bangku sambil memandangi jalan. Sudah lima bus yang berhenti di tempatku berteduh dan semuanya penuh, tidak ada yang hendak turun. Orang-orang yang tadinya ikut berteduh denganku, sedikit demi sedikit berkurang karena tidak sabaran dan pada akhirnya nekad menerobos hujan.

"Hujannya deras sekali, ya." Seorang laki-laki bertubuh jangkung berbicara di sampingku sambil mengeratkan mantelnya. Aku tidak tahu sejak kapan orang ini telah duduk manis di sisiku.

Karena hanya ada kami berdua di sana, aku menduga bahwa dia berbicara padaku. Jadi, aku membalasnya dengan anggukan.

Canggung, aku memasukkan kedua tanganku ke kantung mantel merah marunku dan menghembuskan napas panjang. Lelaki itu menoleh ke arahku.

"Kedinginan?" tanyanya lembut.

"Tidak," balasku tanpa menoleh ke arahnya.

"Tapi kamu terlihat begitu."

Ia bergeser dari tempatnya, duduk di sampingku lebih dekat. Aku terkejut dan spontan menjauh sambil menatapnya aneh.

"Mau apa?" tanyaku ketus.

"Ah, maaf. Aku hanya berusaha membuatmu hangat," jawabnya sambil merunduk sedikit. Aku tetap berada di tempat yang berjarak antara aku dengan laki-laki itu, untuk berjaga-jaga.

Tidak ada yang bersuara di antara kami. Hanya ada suara hujan, mobil-mobil yang lalu lalang dan seruan orang-orang yang memanggil temannya. Kami berdua masih menjaga jarak.

"Eㅡeh, sebelumnya salam kenal. Aku Gideon," ujarnya memecah keheningan.

Aku menoleh ke arahnya dan mendapati senyuman yang manis dan hangat melekat di wajahnya. Lipatan kecil di pipi kanan dan kirinya yang muncul ketika ia tersenyum menenggelamkan aku pada kharismanya. Aku baru sadar jika lelaki di sebelahku adalah orang yang tampan.

"Aㅡah, aku Jivana. Saㅡsalam kenal juga," jawabku terbata. Senyumannya semakin lebar setelah aku memperkenalkan diri. Ia sedikit bergeser ke arahku, tetapi tidak sedekat sebelumnya.

"Mau menunggu atau menerobos hujan?" tanyanya tiba-tiba.

Aku hanya diam memandangi kedua tanganku yang berada di paha.

"Menunggu itu sesuatu yang hebat. Orang yang melakukannya adalah orang yang sabar dan setia. Tapi, menerobos adalah sesuatu yang luar biasa, tiada tanding. Orang yang melakukannya adalah orang yang berani mengambil langkah, tidak terpaku pada sesuatu. Ia mau merasakan sulitnya berjuang untuk meraih sesuatu."

Aku menoleh dan memandangnya lekat. Kenapa tiba-tiba ia berbicara seperti ini?

"Kalau begitu, tidak ada salahnya menunggu. Benar, kan?" balasku.

Gideon tersenyum lembut. Ia memejamkan matanya kemudian memandang ke langit.

"Memang tidak salah. Tapi, seandainya hujan terus turun dengan deras sampai besok pagi, apakah kamu akan terus menunggu?"

Pertanyaannya membuatku berpikir keras. Benar juga. Apakah aku akan terus menunggu hingga besok?

Aku menggeleng.

"Nah, seandainya menerobos hujan, kamu bisa saja sakit atau terpeleset saat berjalan. Tapi itu menandakan bahwa kamu bergerak. Kamu melakukan sesuatu untuk mencapai tujuanmu. Pilih yang mana?" tanyanya lagi.

Aku tak menyangka jika dua hal sederhana itu menjadi sesuatu yang sarat makna. Hujan semakin deras, obrolan semakin panas.

"Adakah pilihan yang tak memiliki resiko?" tanyaku penasaran.

"Ada."

"Apa?"

"Menghentikan hujan." jawabnya singkat.

Mendengar jawabannya, seketika aku tertawa. Tidak masuk akal.

"Kenapa tertawa?" tanyanya sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya.

"Bagaimana mungkin hujan bisa dihentikan oleh manusia? Ada-ada saja," tuturku setengah mengejek.

Gideon kembali tersenyum.

"Kamu tidak bisa melakukannya, kan? Maka dari itu tidak ada resikonya. Itu bukan tanggung jawabmu. Pilihanmu sejak awal memang hanya dua. Terima saja," jelasnya.

"Jadi," lanjutnya. "Menunggu atau menerobos?"

Aku tersenyum simpul sambil memandang lelaki bermata gelap itu, kemudian mengangguk.

"Menerobos."

.
.


.
.
.


Author's P.O.V

"Wah hujan." Seorang lelaki berkacamata frame hitam penuh memandang ke luar jendela. Sweater navy blue membungkus tubuh tingginya.

"Iya. Hujan pertama di bulan Oktober."

"Dan musim hujan kelima setelah di halte bus," ujar lelaki itu sambil menoleh ke belakang. Ia melihat perempuan berambut gelap yang sedang bertopang dagu di atas meja makan.

Perempuan itu tersenyum manis.

"Kamu menghitungnya."

"Tentu saja," balas lelaki itu sambil beranjak dari tempatnya kemudian duduk di samping perempuan itu.

"Ini adalah bukti bahwa menerobos itu membuahkan hasil lebih sempurna dibandingkan hanya menunggu," lanjutnya.

"Hujan mempertemukan kita. Dan kata menerobos yang telah menjadikan kita satu."

.
.
.
.
.

Dunia bisa saja menamparmu, tapi kamu bisa menaklukannya jika kamu mengerti bagaimana dan dengan siapa kamu melakukannya.

JIVANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang