BAB 1

111 6 0
                                    


BAB 1

"AIRIN BERHENTI!"

Airin berusaha menulikan telinganya. Mengabaikan serentetan panggilan yang Ario teriakan jauh di belakangnya. Dirinya saat ini benar-benar sedang di penuhi oleh amarah.

Airin menarik pintu mobilnya yang terparkir di basement. Baru saja hendak mendudukan diri di jok pengemudi ketika sebelah tangannya di tarik dari samping. Ketika menoleh, Airin mendapati seorang lelaki dengan stelan kemeja kantor rapi telah berdiri menjulang tinggi di hadapanya. Lelaki itu Ario, suaminya.

"Jangan kekanakan, kita bicara baik-baik sekarang. Ikut aku!" tukas Ario dengan wajah di penuhi emosi.

Airin menepis paksa lengan Ario yang membelitnya. Keduanya lalu bertukar tatap sekian detik dengan sengit. Tidak tahan dengan mata elang milik Ario, Airin membuang pandangan lebih dulu ke lain arah. "Gak perlu, aku gak mau peduli apapun lagi. Terserah kamu mau ngapain aja!" ujar Airin ketus seraya mengambil posisi duduk depan setir dan memasang seat belt.

Sebelum Ario bicara ataupun melakukan tindakan lain, Airin sudah lebih dulu menutup pintu mobilnya itu. Menguncinya. Dari luar Ario menggedor keras kaca Honda Jazz-nya itu. Tapi, Airin enggan peduli.

"Airin, dengarkan aku, keluar sekarang!" sergah Ario hilang kesabaran.

Tetapi, Airin terlalu keras kepala. Buru-buru wanita berambut cokelat gelap itu menstater mobilnya dan menjalankan kendaraan sewarna blouse-nya, lantas pergi menjauhi kawasan apartemen tempat mereka tinggal. Meninggalkan Ario yang berusaha mengejarnya dengan kalap. Seperti orang sinting. Tapi, sekali lagi, Airin sudah tidak mau peduli.

Airin membawa mobilnya tak tentu arah. Pikiran dan perasaannya sudah dikuasai oleh amarah. Yang dirinya inginkan sekarang pergi sejauh mungkin untuk menyelamatkan hatinya dari kehancuran. Mendinginkan kepalanya.

Honda jazz putih tulangnya sudah berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Sosok Ario tidak terlihat lagi di belakang sana. Tentu saja lelaki itu bukan superman yang bisa terbang dengan kecepatan di luar nalar manusia biasa.

Airin bergeming, sementara kepalanya dijejali berjuta pikiran yang membuat dirinya nyaris meledak oleh rasa sesak. Teringat lagi setiap ucapan Ario pada pertengkaran mereka tadi pagi, sebelum akhirnya ia memilih kabur.

"Kamu mau aku di pecat karena permintaan konyol kamu itu?!"

Apanya yang konyol dari merayakan hari anniversary mereka? Airin hanya meminta Ario meluangkan sedikit waktu agar mereka bisa berkencan atau sekedar jalan biasa. Bukan minta di belikan barang berharga tak masuk akal dan liburan ke maldives.

Sesimpel itu saja.

Dan Ario malah menolak mentah-mentah permintaannya. Lebih memilih berkutat dengan pekerjaan lantas lembur sampai malam seperti kesehariannya yang biasa. Tapi, ini hari special mereka, harusnya ada yang berbeda.

Airin tidak mempermasalahkan ketika Ario melupakan hari ultahnya. Dia juga selalu mencoba memahami kesibukan Ario di kantor, terlebih menjelang masa promosi jabatan yang lelaki itu harapkan sejak lama. Atau saat Ario lupa waktu ketika menghabiskan weekend bersama teman-temannya untuk bermain futsal sementara dirinya menunggu sendirian di rumah.

Sudah banyak yang Airin coba maklumi. Sudah banyak yang ia lepas ketika memutuskan untuk menikahi Ario Hutama setahun lalu. Meninggalkan perusahaan penerbitan tempatnya bekerja dulu, lantas mengikuti kelas memasak dan menjadi IRT sesungguhnya, sesuai keinginan Ario. Juga menerima segala sikap menyebalkan lelaki itu.

Airin pikir Ario akan mengubah sifat cueknya seiring dengan waktu pernikahan mereka ini. Nyatanya tidak. Ario masih saja berlagak seperti lelaki bebas yang punya banyak waktu bersama teman-temannya di luar.

Jika Bukan Dia ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang