BAB 2

54 6 0
                                    




BAB 2

Pemeriksaan sementara, Airin di nyatakan mengalami amnesia parsial. Artinya dia lupa ingatan sebagian. Meski menurut medis tidak ada gangguan berarti di kepalanya. Tapi, tidak ada penjelasan apapun tentang masalah yang dia ungkapkan terkait dirinya dan Ario. Kemungkinan dia hanya mengalami halusinasi akibat shock berat. Itulah yang Rendra katakan padanya usai kembali dari ruangan dokter.

Namun, Airin tetap belum memahami keadaannya saat ini. Dia mulai meragukan batas antara realitas dan mimpi. Sebab keduanya terasa sama nyatanya. Baik dengan Ario atau bersama Rendra sekarang.

Airin yakin kehidupannya dengan Ario bukanlah halusinasi semata. Emosi dari pertengkaran usai sarapan pagi itu masih begitu membekas. Dan Airin juga tidak menyangsikan kehadiran Rendra. Karena tadi, sebelum makan siang, wanita itu sudah mencoba mencubit keras lengannya, rasa nyerinya sangat nyata. Tapi, satu hal yang belum Airin laksanakan. Airin belum tidur.

Otak pintarnya mengatakan bahwa kehidupan yang dirinya alami sekarang adalah hal semu. Mungkin Airin yang asli sedang tertidur lelap dan koma. Lalu dia sekarang mengalami masa transisi, sebelum pulih. Seperti di drama entah apa.

Ya, mungkin, jadi saat ini Airin tak perlu mengambil tindakan apa-apa. Dibiarkannya Rendra meraih tangannya dan mengecup dengan mesra. Ini hanya ilusi, Airin tidak perlu merasa berdosa karena menghianati Ario. Ya, kan?

"Kamu jangan berpikir yang berat-berat dulu, ya, nanti kalo udah sehat, aku janji akan jawab semua pertanyaanmu," kata Rendra sambil mengusap dahi Airin yang terbalut perban putih.

Airin mengangguk pelan, masih bingung harus bagaimana bersikap yang benar. Tapi, segala perhatian Rendra membuatnya mau tak mau terkenang dengan masa ketika mereka dulu berpacaran. Airin tak bisa menahan untuk tidak tersipu. Lalu setiap detik, benaknya mulai meragu. Mimpi tidak mungkin senyata ini.

"Kamu harus janji, jangan pernah melakukan itu lagi, jangan pernah bahayain jiwamu sendiri." Rendra berucap lirih dengan nada menyedihkan. "Aku gak bisa lihat kamu dalam kondisi seperti itu lagi, aku bisa gila," bisiknya pilu.

Airin terenyuh, terlebih ketika Rendra mendaratkan kecupan ringan di dahinya. Airin buru-buru mengalihkan pandangan ke sudut ruangan untuk menyembunyikan wajahnya. Menetralkan degub jantungnya yang menggila.

"Yang lain mana?" Airin bertanya gugup sekaligus heran.

"Oh, mereka dalam perjalanan ke sini. Tadi semuanya pulang dulu karena gak mau ganggu tidurmu," Rendra menjelaskan.

Airin mengangguk paham. Keheningan kembali melanda keduanya, beserta rasa canggung yang melingkupi. Airin sadar betul bahwa sejak tadi Rendra terus memperhatikan dirinya. Hal itu membuat Airin merasa risih. Ada sedikit sesal yang menggerogoti jiwanya. Tentang Ario. Dan itu sangat menggangu pikirannya.

Airin memutuskan untuk tidur saat rasa kantuk akibat pengaruh obat yang baru di minumnya tadi datang. Rendra dengan sigap membantu merapikan bantal dan menyelimuti Airin agar tidur dengan nyaman. Kemudian, Airin memejamkan mata dan perlahan kesadarannya terenggut di iringi usapan lembut tangan besar Rendra di dahinya.


Entah berapa jam yang Airin habiskan dalam tidur lelapnya. Yang pasti, ketika dirinya ditarik dari kegelapan dan tersadar kembali, Airin masih tetap berada di rumah sakit. Terbaring di ruangan serba putih yang berbau obat, dengan dahi terbebat perban serta tangan yang terpasang selang infus. Itu sama sekali tidak membuat Airin kaget.

Namun, menemukan Rendra menjadi satu-satunya orang yang terduduk di sampingnya lagi lah yang menjadikan Airin terkejut. Ini tidak sesuai ekspektasinya, Airin kira dia akan kembali di kehidupan nyatanya bersama Ario. Sebab barusan dia benar-benar tertidur. Lalu apa ini? Jadi, sebenarnya yang mana yang mimpi dan nyata? Airin bingung.

Tampaknya keterkejutan Airin begitu kentara di wajah, sebab Rendra menegur dengan alis saling tertaut melihatnya. "Kamu kok kayak kaget gitu?"

Airin menggeleng cepat. "Nggak, aku cuma... haus?"

Lalu tanpa diminta Rendra mengambilkan segelas air di meja untuk Airin, yang menerima dengan senyuman tipis seraya meneguknya pelan-pelan. Selama itu Airin memastikan kewarasan mentalnya. Mulai berpikir apakah dia memang membutuhkan psikolog sekarang. Atau dia harus menunggu tidur lagi seperti sebelumnya.


Airin baru saja selesai menandaskan isi gelasnya begitu pintu kamar inapnya terbuka dari luar. Menampilkan dua orang wanita beda generasi yang replika wajahnya sangat mirip dengan Rendra. Airin masih memiliki ingatan yang Bagus tentang keluarga Rendra. Itu adalah tante Mia dan mbak Sarah.


"Hai, gimana keadaanmu sekarang?" tante Mia langsung mendekat dengan mata berbinar seraya mendekap sekilas tubuh Airin. Mbak Sarah menyusul setelah menaruh kantong belanjaannya di meja.

"Baik, Tan, cuma masih sedikit pusing," jawab Airin dengan senyuman.

Mata tante Mia terbeliak. "Kok manggilnya tante, sih, sayang? mama, dong!" ujarnya.

Airin meringis. "Maaf, Ma," katanya mengoreksi.

Rendra mengambil alih keadaan dan mejelaskan kondisi kesehatan Airin dengan detail tanpa ada yang terlewatkan. Meski ingin menyangkal karena merasa tidak mengalami Amnesia seperti yang di vonis dokter, Airin akhirnya diam saja dan membiarkan kedua wanita itu menelan bulat-bulat perkataan Rendra. Seolah memang begitulah keadaannya.

Sesungguhnya, Airin mulai meragukan dirinya sendiri sekarang.

Namun, walapun sakit di kepalanya semakin menjadi karena terus menerus di paksa berpikir, Airin tetap meladeni satu-dua pertanyaan yang di lontarkan mertua dan kakak iparnya itu. Merasa seperti berimprovisasi. Untungnya tidak terlalu sulit, karena dulu saat masih berpacaran dengan Rendra hubungannya dengan kedua wanita itu sudah lumayan dekat.

Sudahlah, anggap saja dia memang salah satu tokoh di novel yang di bacanya itu.


"Papa tadi juga datang, tapi pulang lebih dulu karena ada urusan mendadak di kantor," cerita tante Mia di sela-sela lamunan Airin. Papa yang beliau maksud adalah om Dani.

"Orangtuamu juga lagi dalam perjalanan ke sini, semuanya khawatir sama kamu."

Airin mengangguk-angguk saja untuk menanggapi setiap ocehan tante Mia ataupun mbak Sarah. Rendra menimpali bila di tanya.


"Kenapa bisa sampai begini, sih, sayang? gak biasanya kamu nyetir ngebut gitu? kalian pasti bertengkar, ya?" selidik tante Mia.

Airin bingung ingin menjawab apa, diliriknya Rendra yang malah menunduk dalam. Apa memang iya?

Sepertinya tante Mia paham dengan perubahan suasana yang terjadi usai pertanyaannya terlontar. Beliau berdehem dan segera mengubah topik pembicaraan dengan penuh pengertian. Inilah hal yang membuat Airin sedih saat memutuskan berpisah dengan Rendra. Tante Mia sangat baik, persis seperti ibunya.


"Ah, tadi mama sama Sarah abis belanja. Kamu mau apel? mama kupasin, ya?" tawar beliau riang.

Airin mengiyakan dengan senang hati. Mungkin ini adalah satu diantara sekian hal alasan dia merasa beruntung mengalami kejadian ganjil ini. Meski merasa berdosa harus bahagia di atas duka yang terjadi pada Ario.

Ario mungkin super cuek dan menyebalkan tapi dia mencintai lelaki itu bukan? dan wajar bila ada rasa sedih dan penyesalan yang menyusup diantara hatinya yang tengah tersenyum sekarang.


Kemudian, ketika Airin kembali tertidur dan bangun untuk ke sekian kalinya, ketika kedua orangtuanya datang dan menjenguknya, lalu menemukan semua hal tetap ada di kehidupan yang baru bersama Rendra. Airin mulai mengambil kesimpulan.

Walau di luar logika dan akalnya, serta masih tetap tak mampu menjelaskan atau mengerti keadaanya. Airin memutuskan bahwa inilah hidupnya yang nyata. Menikah dengan Rendra.

Dan apa yang telah Airin alami bersama Ario merupakan kejadian yang hanya ada di kepalanya saja. Selanjutnya biar alam yang membuktikan.

Jika Bukan Dia ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang