BAB 6

30 4 0
                                    



BAB 6





Airin melirik pada ponselnya yang bergetar di nakas samping kasur tempatnya terbaring, menampilkan nama Rendra yang menunggu jawabannya.

Nyaris tanpa berpikir Airin mematikan panggilan itu. Sejak kejadian di kantor sore tadi, entah sudah berapa ratus kali Airin mengulang hal yang sama. Rendra tidak pernah berhenti menghubunginya. Dan Airin sengaja mengabaikannya. Airin tidak peduli lagi.

Airin menelentangkan tubuhnya untuk menatap langit-langit kamar hotel yang dirinya tempati malam itu. Ingatanya tanpa bisa di kontrol mengulang lagi kejadian tadi. Rendra mengejarnya sampai ke lobi dan mencoba menahannya, tapi Airin enggan menggubris. Dia memilih kabur dengan taksi dan pergi sejauh mungkin untuk menenangkan kepalanya yang nyaris mau pecah.

Airin tidak bisa mengambarkan dengan jelas bagaimana perasaanya saat ini. Dia seperti orang linglung. Sebelum ini hidupnya begitu menyenangkan. Airin terlalu larut dalam kebahagiaan sampai lupa untuk menyiapkan antisipasi kalau hatinya bersedih kembali.

Namun, sudut hatinya masih memendam harapan meski sedikit.  Rendra yang Airin kenal tidak mungkin melakukan tindakan seburuk yang dirinya pikirkan. Tidak. Itu bukan Rendranya. Tetapi, sudut lain meragu karena wajah pias Rendra jelas kelihatan seperti seorang pelaku kejahatan yang tertangkap basah telah membunuh.


Airin lagi-lagi mendapati ponselnya bergetar hebat. Dia kembali me-reject panggilan Rendra. Lalu, memutuskan membaca salah satu pesan yang Rendra kirimkan.



Kamu kemana, sayang? angkat teleponku. Maafin aku. Aku janji akan jelaskan semuanya. Pulanglah. Jangan mencelakakan dirimu lagi.


Airin mendengus. Kemudian, kali ini memilih mematikan ponselnya lantas melemparnya asal hingga menghantam dinding dan berserakan di lantai dengan mengenaskan. Detik berikutnya Airin membenamkan wajahnya ke dalam bantal, terisak keras dengan segala tanda tanya yang melanda pikirannya.




Dan keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi di hari sabtu, Airin terduduk di salah satu kursi kafe terdekat dari hotel tempatnya semalam menginap. Secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas tersaji di meja di depannya. Sementara tatapan Airin terpancang pada kendaraan yang berlalu lalang di jalanan dari balik kaca di sampingnya.

Masih dengan pakaian hitam yang di kenakanya kemarin, penampilan Airin tampak kacau. Meski sudah membersihkan diri, raut pucat dengan mata membengkak karena terlalu banyak menangis tidak bisa menipu siapapun. Airin terlihat stress berat. Walaupun dia hanya melamun tanpa kata.


"Maaf, lama menunggu," ucap seseorang yang tiba-tiba mengambil duduk di hadapan Airin.

Airin menoleh tanpa minat, lalu mengangguk menanggapi. Airin melipat kedua tanganya di depan dada, pandangannya melayang pada sosok itu dengan seksama. Membuat Mila rikuh.


Semalam, Airin memang meminta untuk bertemu melalui pesan singkat dengan tambahan bahwa Rendra tidak perlu di libatkan, juga tak di beri tahu. Airin perlu mengklarifikasi melalui Mila. Sebab dia tak yakin Rendra bisa. Lagi pula mereka sama-sama wanita.

Mila sendiri tampak gusar di tempatnya duduk.    Pastinya wanita itu tahu persis apa tujuan Airin datang menemuinya, tentu bukan ingin menanyakan penyebab cuaca hari ini mendung segelap hatinya.


"Airin, kamu..."

"Langsung jelasin aja apa yang kamu sama Rendra sembunyikan dariku," potong Airin malas.

Mila terbungkam.

Apa mendadak dia bisu? batin Airin sinis.


"Well...?" pancing Airin berlagak bosan.

Jika Bukan Dia ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang