BAB 4

29 5 0
                                    




BAB 4



"Kopi?" ujar Airin menghampiri Rendra yang sedang menyiapkan beberapa arsip laporan yang ada di meja kerja pagi itu. Rendra sudah berpakaian rapi dengan stelan kantornya yang berupa jas dan kemeja biru laut. Beserta dasi bercorak garis yang terpasang di kerah dengan baik. Tidak seperti Ario yang selalu meminta bantuan Airin untuk hal sesepele dasi. Ario kurang trampil dalam menyimpulkan benda itu.

Airin menepis pikiran itu cepat-cepat dari otaknya. Serta merta wanita berambut cokelat tersebut menampilkan senyum manisnya saat Rendra menerima cangkir kopi yang di berikanya. Menyesapnya perlahan dengan senyuman terkulum.

"Nanti kita mau jalan kemana? aku usahain pulang cepat dari kantor hari ini," kata Rendra setelah menandaskan isi cangkirnya.

Mendengar ucapan Rendra, kening Airin mengernyit dalam.

"Aku lupa kalo kamu masih dalam masa pemulihan ingatan," gumam Rendra memberi jeda. "Biasanya kamu yang paling semangat ngerayain setiap tahunnya," sambungnya terkekeh pelan.

"Maksud kamu?" Airin masih bingung. "Aku atau kamu yang ultah hari ini?" tebaknya setelah memutar otak.

Airin memang selalu mengingat tanggal penting tertentu di reminder ponsel atau kalender dan lainnya. Pikirnya, bila kita saja melupakan hari istimewa kita, siapa lagi yang akan mengingatnya? hari ultah sama berharganya dengan hari kemerdakaan Indonesia. Menurut Airin yang sentimentil.

"Hari anniversary pernikahan kita," jawab Rendra dengan senyuman samar dan tatapan yang meneduhkan.

Airin tertegun lama.

"Aku lagi pegang proyek penting, ini menentukan nasib promosi jabatan yang bosku janjikan Bulan lalu. Dan aku gak mau keganggu cuma "Aku karena hal sepele semacam itu! kamu harus ngerti ini juga buat kebaikan kita!"

"Tapi, aku cuma minta perayaan kecil aja, gak lebih!"

"Jangan sekarang, Rin, please, denger, aku lagi malas berdebat. Aku capek!"

"Yaudah terserah kamu!"

"Jangan kekanakan, kamu bikin kepalaku sakit!"




Sekelebat ingatan tentang pertengkaran kecil antara dirinya dan Ario tiba-tiba saja datang memenuhi pikiran Airin. Membuatnya mau tak mau merasa sangat tidak nyaman. Dalam artian yang juga sulit di mengerti oleh Airin sendiri.

Ario selalu punya alasan untuk mendebatnya soal hari-hari penting yang menurut Airin perlu di rayakan. Ario tak suka hal-hal yang berlebihan. Tidak suka berada di keramaian pesta. Tapi, Rendra benar-benar berbeda. Atau mungkin lelaki ini pada dasarnya hanya terpengaruh oleh kebiasaanya?

Ah, Airin mendesah lelah ketika tersadar sudah membandingkan lagi kedua lelaki itu. Lagipula jika benar apa yang selama ini dia jalani dengan Ario hanyalah merupakan halusinasi semata, itu berarti perdebatan tentang perayaan hari jadi itu juga sebenarnya tidak ada, kan? Dan Airin juga tidak mengalami hal tak menyenangkan lain dalam poin minus selama menikah dengan Ario itu secara rill? Lalu kenapa pula dia harus memusingkan itu semua.

Airin semakin yakin dirinya memang membutuhkan psikolog, atau psikiatri? Dokter jiwa juga? ah, entahlah.

"Kok melamun, Sayang?" tegur Rendra seraya mengusap kerutan yang tercetak di dahi Airin.

Airin gelagapan. "Ah, aku... cuma pusing dikit, kok. Maaf?" katanya buru-buru.

"Apa kamu istirahat aja? kita tunda acaranya?" ujar Rendra mulai cemas.

Jika Bukan Dia ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang