BAB 5

23 4 0
                                    





BAB 5



Pada akhirnya Airin memang memutuskan mendatangi seorang psikolog yang notabene-nya juga merupakan teman Indah.


Airin menceritakan semua hal tanpa ada satu pun detail yang dia coba sembunyikan, tidak juga terlewatkan. Dan selama itu Dinda mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak menyela atau menghakimi melalui pandangan. Airin bersyukur tidak ada indikasi yang menunjukan seolah Dinda melihatnya dengan aneh, merasa pasiennya gila.

Dan dari segala perkataan panjang dokter Dinda kepadanya, Airin mengambil kesimpulan sesuai saran beliau bahwa seharusnya Airin mencoba membuka pikirannya. Menyelesaikan permasalahan apapun antara dirinya yang berkaitan dengan Ario. Meminta maaf. Airin tidak perlu terlalu stress menanggapi kisah peliknya. Cukup hadapi dengan tenang.

Namun, memang pepatah bicara lebih mudah di banding eksekusinya tidak pernah salah.

Airin benar-benar mengunjungi makam Ario di TPU kawasan pinggiran kota, seperti alamat yang Rendra berikan padanya. Lelaki itu sebenarnya menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi, Airin menolak dengan dalih tak mau menganggu kesibukan Rendra di kantor. Untungnya, Rendra tidak memperpanjang dan mengijinkan asal pak Maman lah yang menyupirinya. Untuk satu ini Airin setuju.


Dengan pakaian serba hitam Airin menyusuri areal pemakaman yang tampak sunyi di siang hari itu. Melintasi jalan setapak dan melalui puluhan nisan di sekelilingnya yang di penuhi tanaman hijau serta aroma yang familier. Tidak bisa menahan rasa gusar yang tiba-tiba di menyergapnya. Airin menghentikan langkah ketika matanya menangkap satu nama yang sudah di hapalnya di luar kepala. Mengambil langkah mendekat dan bersimpuh di samping gundukan tersebut.

Airin lantas membersihkan tanah makamnya dari dedaunan kering serta menyiraminya dengan air berorama bunga. Sejenak terdiam lama untuk berdoa. Di luar kendali satu airmata lolos ke pipinya. Airin menyekanya perlahan sembari menatap tanpa henti nisan itu. Yang tertera nama Ario Hutama

"Gue tuh cuma numpang nama besar Hutama aja," Ario berkata sambil melempar kerikil kecil yang di ambilnya jauh ke aliran sungai yang berada di hadapan mereka.

"Maksudnya?" Airin mengerutkan kening.

"Yaa... gue cuma anak angkat, bokap nitipin gue ke keluarga temannya sebelum dia meninggal. Bantuin gue nyelesain pendidikan sampai lulus dan bisa mandiri. Karena nyokap gue gak bisa di harapin. Dia terlalu sibuk sama pacar-pacarnya yang gak jelas."

"Keluarga baru lo baik?"

Ario diam beberapa saat. "Baik."

Airin menyimak cerita Ario dengan seksama. Matanya melebar penuh keingintahuan, bukan terhadap kisah hidup yang Ario alami, tetapi lebih pada air muka lelaki itu ketika bercerita. Tetap datar tanpa emosi berarti. Bagaimana caranya bisa setenang itu?

Batu karang yang berdiri gagah di tengah lautan memang kuat menahan terjangan badai. Tapi, jangan lupakan bahwa ia pun dapat terkikis oleh tajamnya air yang mendera seiring jaman. Bukan begitu? jadi, Airin tidak merasa aneh kalo preman berotot besar menangis di tinggal kekasihnya sekalipun.

Namun, Ario tidak. itu terlalu ganjil.

"Makanya gue bilang aja sama lo, lo itu masih beruntung. Ortu lo tuh sayang sama lo. Jangan cuma karena hal sepele lo anggap mereka jahat, dunia gak adil. Itu konyol namanya. Kalo lo berpikir dewasa. Lo harusnya paham, apapun yang lo miliki sekarang, gimanapun kondisi lo, itu udah yang paling terbaik."

Sekelebatan potongan ucapan Ario terngiang kembali di ingatan Airin. Jauh saat dirinya masih satu sekolah dulu di Sma. Saat Airin bertengkar hebat dengan mamanya karena menentang keinginanya, Airin tidak terlalu bisa mengingat dengan detail alasannya, yang pasti ketika dia menangis di dekat sungai yang tak jauh dari sekolah, Ario mendatanginya. Bukan menghibur dan menceritakan hal yang konyol sehingga dia tertawa. Tetapi, menyadarkan Airin dengan kata-kata bijak penuh nasehat dan bisa membuat Airin merasa lebih baik.


Jika Bukan Dia ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang